Connect with us

Kopi Sastra

Mengenang Wiji Thukul dan Janji Pemerintah yang Tak Pernah Ditepati

Diterbitkan

pada

wiji thukul Foto: grafis yuda

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU – Hari ini, 57 tahun lalu, tepatnya 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah, lahir seorang penyair, sekaligus pejuang, bernama Wiji Thukul. Ia adalah satu dari 13 orang hilang pada 1997-1998 menjelang tumbangnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.

Wiji yang juga seorang buruh pabrik, bukan hanya bekerja, tetapi juga berjuang untuk kesejahteraan rekan-rekannya sesama kelas pekerja. Itu pula yang akhirnya membuat puisi-puisi tajam yang mengkritik rezim penguasa!

Kata-kata puitisnya kerap menjadi penyemangat para aktivis ketika memperjuangkan kebenaran sejak perlawanan atas rezim Orde Baru yang tumbang pada 1998 silam setelah sekitar 32 tahun berkuasa. Salah satunya pada puisi berjudul Peringatan yang menjadi puisi wajib bagi demonstran hingga kini.

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

Perjuangannya sebagai aktivis itulah yang kemudian membuat Widji menjadi ‘musuh rezim Orde Baru’. Namanya identik dengan simbol perlawanan akar rumput terhadap penguasa Orde Baru, Soeharto, terutama lewat puisi dan syair-syairnya di banyak surat kabar dan mimbar-mimbar bebas.

Salah satunya, dalam sebuah mimbar perayaan hari kemerdekaan 1982, Widji dalam puisinya menyindir kemerdekaan hanya bisa dirasakan segelintir orang saja di negeri ini.

Sebagai penyair, Wiji Thukul mendapatkan hasratnya akan kata-kata itu bukan dari kemapanan bacaan buku di tengah keluarga berada. Dia justru lahir sulung dari ayah seorang tukang becak, dan ibu yang kadang membantu mencari nafkah dengan berdagang ayam bumbu.

Bahkan, Wiji harus merelakan dunia pendidikan formalnya berhenti di tengah jalan saat sekolah menengah, mengalah agar biaya sekolah buat adik-adiknya tercukupi.

Dikutip dari berbagai sumber, Wiji diketahui mulai gemar berdeklamasi sejak sekolah dasar, dan makin terasah di tingkat SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah mengamen puisi keluar masuk kampung dan kota.

Jejak perlawanan Widji sebagai aktivis dan penyair banyak terlihat. Sempat dalam suatu aksi ia ditangkap serdadu karena dianggap sebagai dalang dan diberi hadiah pukulan. Dalam penangkapan itulah Wiji merasakan pukulan bertubi-tubi dari militer sehingga satu di antaranya meninggalkan bekas pada bagian mata kanannya.

Kekerasan itu membekas bukan hanya di tubuh, tetapi juga batin Wiji. Hingga akhirnya dia mencurahkannnya dalam Maklumat Penyair yang penggalannya sebagai berikut:

Pernah Bibir pecah ditinju
Tulang rusuk jadi mainan tumit sepatu
Tapi tak bisa mereka meremuk: kata-kataku!

Wiji Thukul. Foto: @wahyu susilo

Wiji pernah menjadi pimpinan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Jakker adalah organisasi yang bergerak melawan pemerintahan represif Orde Baru melalui jalur kesenian rakyat. Sedangkan di struktural PRD, ia menjabat sebagai Ketua Divisi Propaganda dan editor Suluh Pembebasan, suplemen kebudayaan partai.

Janji Kosong Pemerintah!

Hingga kini, 22 tahun pasca tahun gelap yang menyelimuti negara ini, kabar kejelasan soal kehilangan Wiji Thukul dan 12 lainnya tak mendapat titik terang. Pemerintah sempat membentuk Panitia Khusus (Pansus) Orang Hilang DPR. Pansus menghasilkan rekomendasi penting terkait kasus 13 orang hilang pada 1997-1998.

Namun, sejumlah janji pemerintah untuk mengungkap kasus tersebut dalam beberapa kali dan lintas rezim selalu berujung gelap. Tidak ada satu pun dari rekomendasi Pansus maupun upaya lainnya yang dijalankan pemerintah, bahkan di bawah pemerintahan Presiden Jokowi. (Kanalkalimantan.com/cnnindonesia/berbagai sumber)

Editor: Cell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->