Connect with us

HEADLINE

Cerita Relawan ACT Asal Banjarmasin, 2 Tahun Berada di Perbatasan Turki-Suriah


Firdaus Guritno : Alaram Subuh Disana Adalah Ledakan Bom


Diterbitkan

pada

Firdaus Guritno (tengah), Relawan ACT saat mengunjungi kantor redaksi Kanal Kalimantan. Foto : rico

BANJARBARU, Bagaimana rasanya menjadi seorang relawan di negara yang masih ada konflik berkepanjangan? Tentu bukan hanya mental yang diuji, namun keselamatan diri sendiri jadi taruhan. Terkadang dalam menjalankan tugas mereka harus dibawah ancaman ledakan bom dan peluru nyasar yang mengancam jiwa mereka sendiri.

Nah, Kanal Kalimantan mendapat tamu istimewa kedatangan seorang relawan ACT (Aksi Tanggap Cepat) yang bertugas di perbatasan Turki-Suriah asal Kalsel. Adalah Firdaus Guritno, putra kelahiran kota Banjarmasin mengabdikan dirinya di lembaga kemanusiaan yaitu ACT Cabang Turki (Middle East-Syam & Africa Desk Region) membantu para korban dan pengungsi konflik wilayah Timur Tengah dan Africa.


Masih sangat muda, baru berumur 27 tahun, Firdaus Guritno, asli anak Banua ini memilih menjadi relawan kemanusian selepas kuliah di Istanbul Technical University. Lulusan SMPN 6 Banjarmasin ini, sudah kurang lebih 2 tahun terakhir mengabdikan dirinya di perbatasan negara Turki dan Suriah.
Saat bergabung bersama ACT, Firdaus hanyalah seorang mahasiswa jebolan jurusan Kimia di Istanbul Technical University. Seiring berjalannya waktu pada akhir 2016, ia menjadi salah satu Staf ACT Cabang Turki. Masih muda kenapa berminat menjadi seorang relawan, padahal tawaran bekerja di kursi empuk terbuka lebar? Ternyata Firdaus menjawab sangat simpel, karena ia menyukai kegiatan sosial dan relawan baginya adalah lifestyle alias gaya hidup.

“Saya memang suka kegiatan sosial dan saya juga pernah menjadi ketua dalam aksi sosial di kampus saya, bagi saya relawan itu lifestyle,” ungkap penerima beasiswa jurusan Kimia Istanbul Technical University ini.

Menjadi relawan bukan perkara gampang, apalagi bertugas di wilayah-wilayah konflik, karena mahir berbahasa Turki, Inggris, dan Arab, modal awal ia bertugas untuk mendampingi tim ACT bertemu mitra lokal. Bekerja sama menyalurkan bantuan terhadap para korban pengungsi konflik kemanusiaan Suriah.

Ia menceritakan pada tahun 2016 merupakan puncak konflik kemanusian di Suriah, selama 7 tahun terakhir dari tahun 2011. Banyak kota terkena gempuran bom dan rudal, sehingga ribuan orang menjadi pengungsi memasuki negara Turki, tempatnya menuntut ilmu.

“Awal saya menjadi relawan pada tahun 2016 itu merupakan puncak konflik di Suriah. Banyak pengungsi masuk ke Turki dan hingga saat ini total pengungsi ada 3,5 juta orang ada di perbatasan Turki,” ungkapnya kepada Kanal Kalimantan.

Negara Turki merupakan satu-satunya tempat pilihan ribuan pengungsi yang aman, karena para pengungsi merasa lepas dari berbagai macam ancaman. Hanya saja, kata Firdaus, hingga kini masih terasa efek konflik, terutama bagi ribuan keluarga pengungsi kemanusian yang kekurangan sandang, pangan, dan papan. Mereka (pengungsi Suriah) masih ada di perbatasan Turki-Suriah menunggu uluran bantuan. Saat bertugas, Firdaus sudah sangat ‘familiar’ ketika mendengar ledakan bom di perbatasan Turki-Suriah, karena sudah menjadi santapannya saban hari.

“Wah kalau alarm subuh di sana adalah bom, tapi tahun 2018 ini sudah berkurang, puncaknya itu (ledakan bom) terjadi pada tahun 2016 dan 2017,” ceritanya.


Laman: 1 2

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->