Connect with us

HEADLINE

UU di Indonesia: Terlalu Banyak, Tumpang Tindih dan Tidak Sinkron

Diterbitkan

pada

Tulisan "omnibus law lebih berbahaya dari COVID" tampak di tengah demo buruh memprotes Undang-Undang Cipta Kerja, di Bandung, Jawa Barat, Selasa, 6 Oktober 2020. (Foto: Antara via Reuters)

Produk hukum baru, biasanya muncul untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi pemerintah. Namun, ada kalanya munculnya regulasi tidak mampu mengatasi masalah dan justru menghadirkan persoalan baru.

Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor, mengambil contoh bagaimana pembagian kewenangan antara pusat dan daerah berkali-kali berganti. Daerah baru menjalankan satu undang-undang yang memberi mereka kewenangan di sektor tertentu, tetapi kemudian muncul undang-undang baru yang mengubah semaunya.

“Sepertinya, negara kita ini kayak uji coba. Berubah-ubah. Tetapi itulah bukti dinamika kondisi kebangsaan kita,” kata Isran Noor.

Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor. (Foto: VOA/Nurhadi)

Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor. (Foto: VOA/Nurhadi)

Dia memberi contoh, ada banyak kewenangan kabupaten dan kota yang diserahkan ke pemerintah provinsi melalui UU 23 tahun 2014. Namun dalam pengaturan sektor tertentu, seperti diatur UU 3 tahun 2020 tentang Minerba, kewenangan provinsi diminta oleh pemerintah pusat di Jakarta. Belum lagi kemudian muncul UU Cipta Kerja atau omnibus law, yang kemungkinan akan kembali mengubah berbagai hal.

“Dalam hal transisi perubahan undang-undang sekarang ini mengalami persoalan. Di Kalimantan Timur, kondisi perizinan batu bara dengan ditarik ke Jakarta, sekarang di lapangan terjadi ilegal mining. Pemda tidak punya payung hukum kewenangan dalam mengatur ini,” tambah Isran Noor.

Permintaan itu disampaikan Isran Noor, ketika membuka seminar nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), di Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (3/2). Ratusan anggota APHTN-HAN se-Indonesia menggelar Musyawarah Nasional VI, untuk membentuk kepengurusan baru. Dalam periode lama, Menkopolhukam Moh Mahfud MD menjadi ketua umum asosiasi ini. Munas kali ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda.

Seorang aktivis memprotes omnibus law pemerintah tentang penciptaan lapangan kerja, yang mereka yakini akan mencabut hak pekerja, Surabaya, 25 Agustus 2020. (Foto: AFP/Juni Kriswanto)

Isran bahkan menyebut sejumlah negara dengan sistem federal seperti Amerika Serikat dan Australia. Meski tidak menjadi negara federal, tidak ada salahnya Indonesia belajar dari negara tersebut, terkait pemberian wewenang kepada daerah.

Problem Hubungan Pusat-Daerah

Guru Besar Hukum Tata Negara, Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Ni’matul Huda yang menjadi pembicara diskusi, mengamini apa yang dikatakan Isran Noor. UUD 1945 sebenarnya telah memberikan dasar yang kuat mengenai pedoman hukum otonomi daerah. Masalahnya ada dalam undang-undang di bawahnya, yang secara khusus mengatur soal itu.

Guru Besar Hukum UII Yogyakarta, Prof Ni'matul Huda, dalam tangkapan layar.

Guru Besar Hukum UII Yogyakarta, Prof Ni’matul Huda, dalam tangkapan layar.

“Ini mungkin tadi yang oleh bapak gubernur disinggung, dalam praktiknya otonomi menjadi tidak jelas di lapangan, karena regulasi yang mengatur berikutnya, yaitu undang-undang, itu berubah-ubah,” kata Ni’matul Huda.

Menurut Ni’matul konstitusi Indonesia menjamin adanya pelaksanaan otonomi seluas-luasnnya bagi daerah. Namun, masih dipertanyakan jaminan konstitusional seperti apa yang diberikan pemerintah pusat. Dia menegaskan, diperlukan kebijakan untuk mengatur persoalan ini secara lebih rinci.

“Ada kekecewaan di daerah, kalau semua ditarik pusat, padahal daerah juga butuh hidup. Dalam artian misalnya, sumber alamnya ada, tetapi semua urusan diatur pemerintah pusat. Ini butuh keputusan yang tepat,” tambahnya.

Persoalan lain, misalnya terkait peraturan daerah. Meski UUD 1945 mengatur bahwa daerah berhak membuat Perda, tetapi ada mekanisme juga yang memberi kewenangan pemerintah pusat untuk membatalkan Perda tersebut.

Ni’matul menyebut, prinsip hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah adil dan selaras. Harus diperhatikan pula, kekhususan dan keragaman yang ada di masing-masing daerah. Uniknya, hubungan pusat dan daerah ini diatur menggunakan UU 23/2014 yang masih baru. namun, penyelenggaraan keuangan daerah masih menggunakan aturan lama, yaitu UU 33/2004. Padahal, dua dasar hukum ini berbeda sekali dan membutuhkan penyempurnaan.

Ke depan, bahkan dengan UU Cipta Kerja, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali, bagaimana aturan di bawahnya agar sesuai. Pemerintah, ujar Ni’matul harus berhati-hati dalam mengatur hubungan antara pusat dan daerah. Jangan sampai, keresahan yang diutarakan Gubernur Kalimantan Timur, menjadi aspirasi juga dari seluruh gubernur lain di Indonesia.

Regulasi Tumpang Tindih

Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Prof Maria Farida Indrati, juga mengupas soal tumpang tindih dan ketidaksesuaian perundangan di Indonesia. Karena kondisi itu, kemudian keluarlah UU 15/2019 yang salah satu amanatnya adalah pembentukan badan atau lembaga legislasi nasional. Badan atau lembaga yang belum terbentuk ini diharapkan akan mengatasi persoalan itu.

Guru Besar Hukum dan mantan Hakim Konstitusi Prof Maria Farida Indrati. (Foto: VOA/Nurhadi)

Guru Besar Hukum dan mantan Hakim Konstitusi Prof Maria Farida Indrati. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Karena dianggap adanya berbagai macam peraturan perundang-undangan yang tidak tepat atau saling tumpang tindih, atau tidak sinkron, maka diperlukan suata lembaga atau badan ini. Tetapi kita tidak tahu sampai sekarang prosesnya seperti apa,” ujar Maria.

Posisi badan atau lembaga inipun, kata Maria, masih menyisakan persoalan. Apakah misalnya badan ini berada lebih tinggi dari kementerian, sebab dia juga harus melakukan sinkronisasi berbagai aturan dari menteri.

Prinsipnya, lanjut mantan Hakim Konstitusi ini, sebenarnya tidak perlu semua hal dijadikan undang-undang khususnya, aturan-aturan yang hanya mengikat ke dalam satu lembaga. Yang perlu diundangkan adalah peraturan yang mengikat keluar dan menjadi kewajiban seluruh masyarakat serta disertai  sanksi.

Kerumitan perundangan juga akan muncul terkait UU Cipta Kerja atau omnibus law. Setidaknya ada 79 undang-undang yang masih berlaku, yang dirangkum dalam UU Cipta Kerja ini. Karena pasal UU Cipta Kerja diambil dari pasal-pasal dalam 79 UU itu, maka menurut Maria justru dia tidak bisa menjadi UU payung bagi berbagai macam UU yang ada.

Maria mengambil contoh, UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. UU ini mencabut 6 Staatsblad yang disusun mulai tahun 1887 hingga 1949 dan 9 UU yang keluar sejak tahun 1951 sampai 2000. Dengan berlakunya UU Cipta Kerja, menjadi persoalan tentang penyebutan UU Ketenagakerjaan yang masuk di dalamnya. Maria mempertanyakan kemungkinan UU tersebut disebut sebagai UU 13/2003 yang telah diubah menjadi UU 11/2020.

“Bagaimana kalau terjadi pada UU 33/2014 masuk dalam UU Cipta Kerja. Apakah kita sebut UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal yang telah diubah menjadi UU 11/2020 tentang Cipta Kerja? ini aneh kan?” tambah Maria.

Karena saat ini UU Cipta Kerja sudah berlaku, tambah Maria, akan muncul pertanyaan bagaimana jika terjadi pertentangan antara UU yang ada dengan peraturan dalam UU Cipta Kerja.

Karena itulah, tandasnya, harus dibedakan mana yang betul-betul harus diatur dengan UU dan mana yang tau tidak.

“Semua pokoknya pengen kita jadikan UU. Kalau tadi dikatakan ada over regulation, ya karena banyaknya UU tetapi satu dengan lainnya tidak sesuai,” tambahnya. [ns/ab]

Editor : VOA

 

 

 

 

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->