Connect with us

HEADLINE

‘Mission Possible’ Sahbirin Sodorkan Tanbu ke Jokowi sebagai Ibukota Baru

Diterbitkan

pada

Jakarta sudah sangat berat menanggung beban sebagai ibukota negara Foto: net

Anggaran Rp 466 Triliun

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, menyatakan proses pemindahan ibu kota negara akan meminimalkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN hanya akan dipakai untuk membiayai infrastruktur dasar yang proyeknya tidak bisa dikerjakan swasta atau pihak lainnya.

“Dari segi pembiayaan, kita tidak akan menggunakan APBN. Kalaupun pakai, akan diminimalkan jumlahnya untuk membiayai infrastruktur dasar,” ungkapnya dalam Konferensi Pers di Jakarta, Selasa (30/4) lalu.

Diperkirakan, pembiayaan pemindahan ibu kota negara akan bersumber dari APBN, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan swasta dan KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha).

Untuk rencana anggaran sendiri akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah ada keputusan dari Presiden. Menteri Bambang menyatakan, proses pemindahan ibu kota tentu harus melewati proses politik dan perlu disiapkan undang-undang khusus. (Baca: Belajar Pengalaman Brasil dan Malaysia Pindahkan Ibu Kota Negara, Red).

Pemindahan ibu kota negara menelan biaya yang tidak sedikit. Ada dua skema pemindahan yang diusulkan Bappenas, yaitu skema rightsizing dan tidak. Dengan skema rightsizing, biaya yang diperlukan sekitar Rp 323 triliun dan untuk skema non-rightsizing sekitar Rp 466 triliun.

Menteri Bambang Brodjonegoro menyatakan sumber dana pemindahan berasal dari APBN, BUMN, perusahaan swasta dan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). “Adapun untuk APBN akan kita minimalkan hanya untuk membiayai infrastruktur dasar. Kami upayakan agar tidak memberatkan APBN,” ujarnya.

Dari Soekarno hingga Jokowi

Jokowi menyebut ide pemindahan ibu kota negara sudah ada sejak masa pemerintahan Presiden RI pertama Soekarno. Menurut Wikipedia.id, Soekarno menyiapkan Palangkaraya sebagai calon ibukota Indonesia pada 1957. Ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah tersebut dinilai memiliki wilayah yang luas dan secara geografis tepat berada di jantung khatulistiwa.

Namun, rencana tersebut tidak terwujud. Soekarno malah membangun berbagai monumen dan patung di Jakarta hingga awal 1960-an. Sebut saja Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, Gelora Bung Karno (GBK), hingga Monumen Pembebasan Irian Jaya di Lapangan Banteng. Pada 1966, Jakarta mendapatkan status Daerah Khusus Ibukota (DKI). Sejak saat itu, Jakarta berkembang menjadi metropolis modern.

Pada masa pemerintahan Presiden RI kedua Soeharto, Jakarta semakin berkembang sebagai pusat ekonomi dan politik Indonesia. Pesatnya pembangunan kota ini membuat angka urbanisasi dari wilayah lain di Indonesia ke Jakarta terus meningkat. Perkembangan pusat pemerintahan diikuti dengan pembangunan gedung-gedung bertingkat, khususnya di kawasan komersial dan finansial sepanjang Jalan MH Thamrin, Sudirman, dan Kuningan.

Populasi penduduk Jakarta pun meningkat signifikan sejalan dengan pembangunannya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk ibu kota Indonesia ini mencapai 4,58 juta pada 1971. Angka ini melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 9,61 juta penduduk pada 2010. Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan jumlah penduduk di DKI Jakarta mencapai 10,2 juta jiwa. Survei ini juga memproyeksikan jumlah penduduk Jakarta akan mencapai puncaknya pada 2040, yakni 11,28 juta orang. Jakarta juga menghadapi masalah kemacetan akibat pertumbuhan jalan raya tak mampu mengejar pertumbuhan jumlah kendaraan. Pemerintah membangun infrastruktur dan sarana transportasi massal sembari mengedukasi masyarakat untuk menggunakan transportasi publik demi mengurangi kemacetan. Banjir yang melanda Jakarta juga menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara.

Di era Presiden RI keenam Susilo Bambang Yudhoyono, kajian tentang pemindahan ibu kota negara berlanjut. Ibu kota yang baru harus dipisahkan dari pusat ekonomi dan komersial, artinya menjauh dari Jakarta. Pemerintahan Jokowi pada April 2017 kembali memunculkan wacana ini, termasuk mengkaji kota-kota mana saja yang akan menjadi alternatif ibu kota baru. Nama Palangka Raya kembali disebut oleh Bappenas. (rico)

Reporter: Rico
Editor: Chell


Laman: 1 2 3

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->