Connect with us

Budaya

Merayakan Ide dan Perbincangan Sastra, Budaya, di Ajang UWRF 2018

Diterbitkan

pada

Berbagai kegiatan yang dilaksanakan di ajang UWRF 2018 Foto: istimewa

Pada Sabtu (27/10/18), UWRF menggelar sesi The Pledge di Taman Baca bersama peraih Online Indonesian Language Reviewer Award dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Ivan Lanin, penulis esai berbahasa Inggris In The Hands Of a Mischievous God Theodora Sarah Abigail, penulis sekaligus pendiri Comma Books Rain Chudori, penulis Myth, Magic dan Mystery in Bali Jean Couteau. Sesi ini mengulik penyebab kesalahan berbahasa hingga banyaknya generasi muda Indonesia yang kini lebih memilih untuk bercakap dalam bahasa asing di kehidupan sehari-hari mereka.

“Akan sangat tepat jika di Indonesia ini diterapkan perencanaan bahasa. Karena tanpa perencanaan bahasa, membiarkan orang berbahasa seenaknya seperti membiarkan orang mengemudi seenaknya, ujar Ivan Lanin.  “Para milenial menganggap rendah bahasa Indonesia dan bahasa daerah karena mereka tidak tahu apa yang bisa dibanggakan dari bahasa tersebut. Untuk itu, kita harus mengingatkan kembali bahwa bahasa kita pantas untuk dicintai. Tidak hanya membuat mereka peduli pada bahasa kita tetapi yang juga kepada negara kita,” sambung Theodora Sarah Abigail.

Yang juga menjadi highlight dari UWRF 2018 adalah hadirnya lima penulis emerging yang dipilih dari Seleksi Penulis Emerging Indonesia yang datang dari beberapa kota di pelosok Indonesia, untuk tampil dalam sesi-sesi diskusi bersama pembicara-pembicara terkenal dunia dan meluncurkan buku Antologi 2018. Andre Septiawan dari Pariaman, Reni Nuryanti dari Aceh, Rosyid H. Dimas dari Yogyakarta, Darmawati Majid dari Gorontalo, dan Pratiwi Juliani dari Rantau hadir dalam sesi UWRF Indonesian Emerging Writers 2018 pada Minggu (28/10/18). Pada hari terakhir, UWRF 2018 juga menghadirkan Against All Odds bersama Yenny Wahid. Tingginya antusiasme dan banyaknya pertanyaan dari para peserta festival yang hadir membuat sesi tanya jawab dengan Yenny Wahid dilanjutkan di Green Room Neka Museum. Panel diskusi penutup yang digelar di Indus Restaurant menghadirkan Fifteen Years of UWRF sebagai perayaan tahun ke-15 UWRF. Janet DeNeefe menjadi panelis sesi, ditemani oleh Ketut Suardana, Kadek Purnami, dan I Wayan Juniarta. Dengan dimoderatori oleh Alistair Speirs, sesi ini mengungkapkan bagaimana perjalanan UWRF sejak 15 tahun yang lalu, bagaimana program-program diolah sebelum disajikan untuk para pencinta sastra dan penggemar seni, bagaimana orang-orang di balik festival bekerja keras untuk menghadirkan festival agar dapat diterima oleh semua kalangan dan generasi.

“Kami menghadirkan panel untuk melihat bagaimana efek dari sosial media terhadap lanskap sastra. Jika kalian melihat buku program kami tahun ini, kalian bisa melihat meningkatnya jumlah penulis muda dan penulis wanita dari yang sudah mendapat nama maupun yang masih merintis karir kepenulisannya. Meski orang-orang di balik festival ini menua, tetapi festival ini sendiri justru semakin muda. Kita mengadaptasi demografi baru para peserta festival. Festival ini pun tidak akan selamanya menjadi festival sastra, seni, dan budaya saja. Suatu hari nanti, bisa saja Ubud Writers & Readers Festival menjadi sebuah festival multidisiplin yang paling dinantikan di dunia,” ujar I Wayan Juniarta selaku Indonesian Program Manager UWRF.

“Bagi saya festival ini lebih dari sekedar festival kepenulisan. Ini juga merupakan festival yang membahas isu global seperti hak asasi manusia, festival yang juga menampilkan kesenian. Di sini, ada banyak hal yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Kami semua berharap festival ini akan semakin besar dan berkembang dengan program-program yang lebih kaya dan beragam,” tutup Janet DeNeefe selaku Co-Founder & Director UWRF. (cel/rls)

Reporter: Cel/rls
Editor: Chell


Laman: 1 2

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->