Connect with us

Budaya

Merayakan Ide dan Perbincangan Sastra, Budaya, di Ajang UWRF 2018

Diterbitkan

pada

Berbagai kegiatan yang dilaksanakan di ajang UWRF 2018 Foto: istimewa

UBUD, 15 tahun lalu, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) diselenggarakan pertama kali sebagai upaya penyembuhan atas tragedi dari bom Bali. Kini, UWRF telah menjadi wadah bagi para penulis, seniman, sutradara, pegiat, dan cendekiawan dari seluruh dunia untuk merayakan gagasan, ide, serta kisah-kisah hebat mereka. Dari Indonesia ke Jepang, Pakistan ke Inggris, Spanyol ke Vietnam, lebih dari 180 pembicara dari 30 negara termasuk Indonesia berkumpul di UWRF untuk merayakan tahun ke-15 festival.

Pada tanggal 24-28 Oktober lalu, UWRF telah berhasil menghadirkan lebih dari 200 program acara mulai dari panel diskusi, lokakarya, acara spesial, pemutaran film, peluncuran buku, pameran seni, pertunjukkan musik, dan masih banyak lagi.

Dimulai pada hari Rabu (24/10/18) sore, UWRF menggelar Press Call di Desa Visesa Ubud bersama Founder Yayasan Mudra Swari Saraswati Ketut Suardana dan Co-Founder & Director UWRF Janet DeNeefe serta pembicara-pembicara utama UWRF 2018 seperti salah satu penulis terbaik dari Inggris Hanif Kureishi, penulis dan jurnalis pemenang penghargaan Reni Eddo-Lodge, penulis sekaligus arsitek Avianti Armand, dan penulis muda Indonesia berbakat Norman Erikson Pasaribu. Pembahasan mengenai feminisme, keberagaman, kebebasan berekspresi, sastra yang berkembang dan manfaatnya yang meluas terangkat pun dalam tanya jawab bersama para pembicara dan jurnalis yang hadir dalam Press Call tersebut.

Selain itu, Press Call ini juga menjabarkan penjelasan menarik mengenai ‘Jagadhita’ atau ‘The World We Create’ sebagai tema yang diangkat tahun ini, yaitu tentang pencarian manusia akan kebahagiaan di dalam dunia yang kita ciptakan. Janet DeNeefe juga menceritakan perjalanan festival hingga telah memenuhi salah satu misinya menjadi jembatan bagi para penulis Indonesia agar karyanya lebih dikenal dunia.

“Ketika kita merenungkan 15 tahun terakhir dan bagaimana festival telah berkembang, ketika kita melihat kembali interaksi antara para penulis dan pembaca Indonesia dan internasional, sekiranya ada satu hal yang cukup jelas. Sebagian besar peserta festival awalnya mengatakan bahwa mereka tidak tahu apapun tentang penulis Indonesia, tetapi sekarang telah berubah. Orang-orang duduk [di panel diskusi UWRF] dan benar-benar memperhatikan,” ujarnya.

UWRF resmi dibuka dalam acara Gala Opening pada Rabu (24/10/18) malam di Puri Agung Ubud. Menteri Luar Negeri Indonesia tahun 2009-2014 sekaligus penulis Does ASEAN Matter: A View From Within Marty Natalegawa hadir dalam acara tersebut untuk memberikan sambutan dan membuka perayaan sastra, seni, dan budaya terbesar di Asia Tenggara ini. UWRF juga menganugerahkan Lifetime Achievement Award kepada salah satu penulis paling dicintai di Indonesia yang masih berkarya hingga usia senja Sapardi Djoko Damono.

Penghargaan ini diberikan atas dedikasi Sapardi di dunia sastra Indonesia dan karya-karyanya yang luar biasa. Sapardi mengisahkan perjalanan sastranya dan mengungkapkan ucapan terima kasih kepada para penyunting buku-bukunya, yang baginya juga memiliki peran besar dalam karir kepenulisannya. Sapardi juga berharap UWRF menjadi festival sastra yang lebih besar dan dikenal. “Terima kasih atas penghargaannya dan saya berharap UWRF akan semakin besar dan dikenal di masa mendatang,” ujar penulis berusia 78 tahun ini.

Pada Kamis (25/10/18) di Neka Museum, UWRF dibuka dengan sambutan dari Susi Pudjiastuti. Kehadiran Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia ini dalam panel diskusi Sink It juga menjadi magnet tersendiri bagi UWRF 2018. Dimoderatori oleh Rebecca Henschke dari BBC News Indonesia, sesi ini membahas berbagai hal menarik mulai dari kasus kapal pemancingan ilegal, pentingnya kekuatan maritim di Indonesia, polusi dan limbah di laut Indonesia, hingga isu maritim internasional. Hari pertama UWRF juga semakin semarak dengan kehadiran Sapardi Djoko Damono, Warih Wisatsana, Gratiagusti Channaya Rompas, dan Andre Septiawan dalam panel diskusi Higher Self. Para penyair dari generasi berbeda ini mengungkapkan sumber inspirasi penciptaan puisi, penemuan jati diri lewat puisi, hingga isu-isu menarik yang bisa diolah menjadi sebuah puisi.

Pada Jumat (26/10/18), UWRF menghadirkan sesi Twenty Years Later bersama penyair sekaligus pegiat asal Bali Saras Dewi dan Presiden Direktur Mizan Group sekaligus penulis buku Islam: The Faith of Love and Happiness Haidar Bagir. Sesi ini secara khusus mendiskusikan mengenai hal-hal yang belum berhasil dicapai Indonesia dalam era reformasi, kebebasan politik di Indonesia, hingga tingginya tingkat intoleransi di negeri kita tercinta. Sesi Envolving Islam yang menghadirkan Janet Steele, Sidney Jones, Haidar Bagir, dan Dina Zaman juga cukup menyita perhatian. Pembahasan mengenai kemiripan dan perbedaan Islam di Indonesia dan Malaysia hingga kebijakan politik yang dibuat berdasarkan Islam didiskusikan secara mendalam oleh para pembiacara ahli tersebut. Di samping pembahasan politik dan agama, para pencinta film juga cukup dimanjakan dengan sesi mengenai film, yaitu sesi The Seen and Unseen bersama sutradara berbakat Kamila Andini. Sesi yang dimoderatori oleh Uphie Abdurrahman ini mengulik alasan Kamila membuat film yang emosional dan menyentuh hati, tema serta visualisasi film Sekala Niskala, hingga perjalanannya dalam mendanai film tersebut.


Laman: 1 2

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->