Connect with us

HEADLINE

Masciani “Pahlawan” Anak Disabilitas, Modal Sendiri Antar Jemput ke SLBN 1 Pulpis

Diterbitkan

pada

Dipeluk murid, sosoknya yang lembut dalam mendidik murid disabilitas menjadikan Masciani disayangi murid-muridnya. Foto : sanjaya

PULANG PISAU, Pagi itu hari cerah, suhu masih dingin hingga berasa menembus kulit. Sayup-sayup mobil Isuzu Panther generasi ke-3 yang diproduksi sekitar tahun 2000-an keluar dari garasi, melaju ke desa Gohong, Pulang Pisau. Mobil jadul bewarna silver tersebut nampak beberapa kali berhenti halaman rumah warga, menjemput anak-anak penyandang disabilitas yang akan bersekolah. Jumlahnya pun tidaklah sedikit, idealnya satu unit mobil Panther itu hanya bermuatan 7 orang- tapi harus dijejali dengan 12 anak dalam sekali angkut. Ya, mereka adalah siswa-siswi Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 1 Pulang Pisau, sekolah yang dikepalai oleh Masciani SPd MM.

Saat mengunjungi sekolah untuk anak-anak disabilitas di Jalan Trans Kalimantan, Desa Mantaren I, Pulang Pisau, Kanal Kalimantan langsung disambut oleh sang kepala sekolah, Masciani.

Ia membuka cerita sejarah awal berdirinya SLBN 1 Pulpis, suka duka, misi dan harapan selama memimpin sekolah luar biasa, tempat anak-anak yang berkebutuhan khusus ini.

“SLB ini dibangun tahun 2006, awalnya hanya 3 ruang saja. Dibangun Dinas Pendidikan Provinsi Kalteng. Meski tahun itu (2006) sudah diserahterimakan, namun belum bisa beroperasi karena tidak ada guru yang mau merintis SLB ini. Baru pada tahun 2008 akhirnya saya memberanikan diri pindah dari SLB Kapuas untuk mengelola,” cerita perempuan asal Kalawa ini.

“Tidak mudah saat itu, belum ada listrik, akses jalan tidak sebagus sekarang, bahkan untuk menembus sekolah ini harus melewati semak dan rumput setinggi orang dewasa,” kenangnya menyambung cerita.

Pada tahun 2008 itu, disebut-sebut Masciani adalah masa paling sulit. Ia bersama 1 orang guru bantu rekrutan dituntut harus mampu menarik anak-anak berkebutuhan khusus, mulai cacat fisik (tuna daksa), bisu (tuna rungu), rendah kecerdasan (tuna grahita), tak melihat (tuna netra), autis untuk mau bersekolah. Apalagi posisi sekolah terpencil jauh dari kota, ditambah kekurangpahaman para orang tua akan pentingnya pendidikan semakin membuat dirinya harus berpikir keras agar sekolah bisa terisi.

“Saya sendiri harus turun langsung ke desa-desa saat itu. Mencari anak disabilitas untuk dididik. Saya datangi orang tuanya, saya coba yakinkan. Kebanyakan para orang tua merasa malu menyekolahkan anaknya. Mereka berpikir untuk apa anak cacat disekolahkan, dia bisa apa,” bebernya.

“Dengan diberi pemahaman bahwa anak itu titipan Tuhan, melalui sekolahlah hidup mereka akan berubah. Minimal mereka (anak-anak) nanti tidak akan banyak merepotkan orang tua lagi dan jaminan saya sekolah mereka gratis, akhirnya banyak yang mau,” ungkap Masciani terlihat sambil mengusap air mata haru.


Laman: 1 2

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->