Connect with us

Historia

Kisah Intan Trisakti dan Janji Presiden Soekarno pada Pendulang di Cempaka

Diterbitkan

pada

Pendulangan intan di Cempaka dari tahun ke tahun yang memunculkan kisah masing-masing. Foto : net

BANJARBARU, Pendulangan Intan Pumpung yang ada di Kelurahan Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, Kota Banjarbaru menjadi satu-satunya ikon pendulangan intan tradisonal. Tak hanya di Kota Banjarbaru dan Kabupaten Banjar, tapi juga Kalsel.

Ditemukannya intan dengan berat ratusan karat di tahun 1965 silam, menjadi salah satu pengukuhnya. Intan yang oleh Presiden Soekarno dinamai Trisakti itu diserahkan kepada negara saking bernilainya. Sebagai pengenang, dan untuk pada pendulangnya, pemerintah menjanjikan beberapa hal. Satu diantaranya, negera menanggung hidup semua pendulang penemu Intan Trisakti hingga tujuh turunan.

Sayangnya, janji menanggung hidup keluarga para penemu Intan Trisakti itu tak pernah terealisasi hingga kini. Sebaliknya, nasib mereka tetap saja sama. H Hamsyi, salah seorang pendulang yang ikut dalam kelompok pendulang penemu Intan Trisakti, masih harus bersusah payah mencari uang dengan melakoni pekerjaan sebagai makelar penjualan intan. ‘Ngempet’, begitu sebutan bagi para pembelantikan intan ini.

Kepada Kanaklaimantan.com pada April 2017 silam, usai menunaikan shalat dzuhur di Masjid Agung Al Karomah, Martapura, pria sepuh yang sudah berusia kepala tujuh ini ketika itu mengatakan, hanya berharap ada seseorang datang untuk membeli intan atau berlian.

Di Pasar Intan Martapura, di bawah tangga penginapan ‘Mutiara’, atau di emper belakang toko itulah, H Hamsyi kerap menghabiskan waktu. Bekerja sebagai makelar intan sejak tahun 1970-an silam. Saban hari, sekitar pukul 10.00 Wita ia berangkat dari rumahnya di Kampung Keramat, Martapura Timur, Kabupaten Banjar menggunakan sepeda ontel. Ia baru kembali ke rumah setelah pukul 15.00 Wita.

Ngempet tak selalu menghasilkan rupiah saban harinya. Sering ia pulang tanpa membawa uang sepeser pun. Tapi H Hamsyi tak lekas patah semangat dan meninggalkan pekerjaan sebagai makelar intan.

Ngempet sekarang ini dirasa H Hamsyi begitu berbeda dengan tahun 1970-1980-an. Kala itu setiap hari ia masih bisa mendapat uang rata-rata Rp 100 ribu setiap harinya. Semakin susahnya para pendulang mendapatkan intan, membuat makelar intan atau pembelantikan bagai hidup segan mati tak mau. “Barang ada, tapi pembelinya yang tidak ada, sama saja,” katanya ketika itu.

Di Pasar Intan Martapura, H Hamsyi sudah sangat terkenal. Selain karena sudah puluhan tahun ngempet di sana. H Hamsyi adalah salah satu pendulang intan penemu yang menemukan intan Trisakti tahun 1965 silam. Padahal, setelah intan itu diserahkan pada pemerintah pusat, semua pendulang akan diberi santuan hidup hingga tujuh turunan. Mereka juga dijanjikan akan dibuatkan rumah dan dinaikkan haji.

Keadaan tak jauh berbeda juga dialami pendulang penemu intan trisakti yang lain. H Salman. Warga Jalan Sasaran, Kampung Keraton, Kelurahan Keraton, Martapura ini masih harus bersudah payah mencari rupiah, menyasah pasar berjualan pakaian dari pasar ke pasar.

Tak jarang, ia harus pulang hingga larut malam karena pasar yang yang harus didatangi terlalu jauh dan biasanya buka pada sore hingga malam hari. “Kalau tidak sedang menyasah pasar biasanya saya hanya berjualan di pasar Baluran, depan pasar Batuah Martapura,” kata H Salman.

Janji manis pemerintah yang akan memberikan jaminan hidup hingga tujuh turunan untuk semua pendulang penemu Intan Trisakti pun tak pernah ia rasakan. “Kami dinaikkan haji memang benar, tapi janji dibuatkan rumah dan akan diberikan jaminan hidup hingga tujuh turunan tak pernah kami rasakan. Jangankan tujuh turunan untuk saya sendiri saja tidak ada,” kata H Salman.


Laman: 1 2 3

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->