Connect with us

Historia

Kisah Intan Trisakti dan Janji Presiden Soekarno pada Pendulang di Cempaka

Diterbitkan

pada

Pendulangan intan di Cempaka dari tahun ke tahun yang memunculkan kisah masing-masing. Foto : net

Kamis 26 Agustus 1965, sekitar pukul 10.00 Wita sekelompok pendulang yang diketuai Matsam, tidak melakukan penggalian. Mereka hanya menggumpulkan tanah hasil penggalian sehari sebelumnya di desa Pumpung, Cempaka, Kabupaten Banjar (Sekarang masuk dalam wilayah Banjarbaru). Sebagian pendulang dari kelompok itu membasuh atau melinggang di sebuah danau kecil tak jauh dari lubang penggalian.

Syahran, salah satu pendulang menemukan sebuah batu berwarna putih kekuningan di dalam pelinggangannya. Awalnya mereka mengira batu yang didapat itu batu kecubung biasa. “Lebih besar dari telor puyuh, bentuknya seperti belah ketupat,” kata Salman.

Untuk memastikan, beberapa pendulang berusaha memecahkannya di atas batu. Namun usaha mereka gagal. Batu landasan justru pecah dan batu yang masih mereka yakini sebagai batu kecubung itu terpelanting masuk ke dalam danau. Seorang pendulang kemudian menyelaminya dan berhasil mendapatkannya kembali.

Tak lama, datang seseorang yang dikenal sebagai tetuha di desa tersebut. Orangtua itu banyak memiliki pengalaman tentang seluk beluk intan. Ia mengatakan kepada Matsam dan kawan-kawan bahwa batu itu intan. Percaya dengan perkataan orangtua itu, Syahran, salah satu pendulang langsung pingsan dengan intan masih digenggaman.

Kabar penemuan intan yang kemudian diketahui seberat 166, 75 karat itu cepat tersebar. Martapura gempar. Sepanjang jalan masuk ke lokasi pendulangan yang berjarak sekitar 500 meter dari jalan raya penuh dengan antrian warga yang ingin menyaksikan intan secara langsung. “Sekitar jam dua siang, intan itu kemudian dibawa rombongan Bupati Banjar H Basri BA dengan pengawalan ketat aparat kepolisian dan tentara,” kata Maslan.

Di pendopo rumah dinas Bupati, intan diletakkan dalam etalase kaca. Warga tak henti-hentinya datang untuk menyaksikan intan yang konon disebut-sebut sebagai intan terbesar di dunia yang ditemukan setelah Perang Dunia II.

“Karena termasuk intan berkualitas bagus dengan berat mencapai ratusan karat, perintah daerah menyarankan intan tersebut dihibahkan kepada pemerintah pusat sebagai salah satu benda berharga dan aset negara,” kata Maslan.

Dua hari kemudian, empat orang berangkat ke Jakarta. Mereka adalah Bupati, camat Martapura, kepala kepolisian dan salah satu keluarga dari H Matsam, ketua kelompok pendulang. “Tidak ada pendulang yang ikut ke Jakarta. Awalnya, H Matsam yang akan ikut berangkat ke Jakarta. Tapi urung karena dengan alasan tak kebagian tiket kapal laut,” kata Salman.

Beberapa kemudian, rombongan kembali ke Martapura. Di Jakarta, kata H Salman, oleh Presiden Bung Karno, intan itu kemudian dinamai Trisakti. Sebagai bentuk penghargaan dan timbal balik hibah itu, pendulang dijanjikan akan dibuatkan rumah, dinaikkan haji dan diberikan santunan hidup tiap tahunnya hingga tujuh turunan. “Padahal niat kami dari awal ingin menjualnya,” katanya.

Sebulan setelah itu, semua pendulang yang berjumlah 24 dinaikkan haji. Sepulang dari berhaji, masing-masing menerima uang sebagai santunan bagi pendulang seperti yang pernah dijanjikan. “Jumlah uangnya saya sudah tidak ingat, tapi setelah itu kami tidak ada menerima lagi. Hanya itu yang kami terima dari intan yang sebenarnya berharga hingga triliunan rupiah. Selebihnya kami harus berjuang lagi untuk sekadar menyambung hidup,” kata Salman.

Salman mengaku, setiap tahun pada bulan Ramadhan ia selalu mendengar kabar bahwa ada dana dari pemerintah pusat untuk para pendulang penemu intan Trisakti. “Kabar itu selalu saya dengar tiap tahunnya, tapi dananya tak pernah kami terima. Entah benar atau tidak kami juga tidak tahu,” katanya.


Laman: 1 2 3

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->