Connect with us

Lingkungan

Keberadaan Burung Air Jadi Indikator Kelestarian Hutan di Kalsel

Diterbitkan

pada

Burung Enggang menjadi salah satu indikator pelestarian hutan. Foto : net/tribun

BANJARMASIN, Keberadaan sejumlah satwa seperti burung bisa menjadi bagian penting bagi pelestarian hutan di Kalsel. Bahkan, keberadaan burung air seperti Burung Enggag bisa menjadi indikator kelestarian areal hutan.

Hal ini terungkap pada talkshow dan launching buku yang digelar Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) Kalsel bekerja sama dengan tim penulis buku Konservasi Burung Air Perjuangan Melawan Kepunahan, yang digelar di Hotel Golden Tulip Banjarmasin, Senin (5/11).

Pada buku yang ditulis Prof Dr Ir Hadi S Alikodra, MS tersebut disebutkan bahwa burung air perlu dilestariakan keberadaannya. Ketua SBI Amalia Rezky mengatakan, burung air ini bisa dikatakan sebagai indikator tentang kelestarian kondisi hutan saat ini. “Termasuk di antaranya Burung Enggang yang ada di Kalimantan,” katanya.

Dia mengatakan, peluncuran buku ini dimaksudkan dapat menjadi sarana sosialisasi dan edukasi kepada masyrakat mengenai burung air.

“Tujuannya tentu saja menjadi sebuah sarana untuk sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Karena di dalamnya juga dipaparkan data mengenai populasi satwa liar burung air di Indonesia dan Kalsel khususnya,” terangnya.

Dilansir mongabay.co.id, populasi burung enggang gading atau rangkong gading (Rhinoplax vigil) kini memang kian terancam di alam akibat perburuan. Investigasi Rangkong Indonesia dan Yayasan Titian yang didukung Dana Konservasi Chester Zoo pada 2012 menunjukkan, sekitar 6.000 individu dewasa mati diambil kepalanya di Kalimantan Barat.

Di Indonesia, dari data yang dihimpun KLHK bersama Rangkong Indonesia dan Wildlife Conservation Society Indonesia Program, penegak hukum telah menyita 1.398 paruh rangkong gading. Sementara itu, lebih dari 2.000 paruhnya yang diselundupkan ke China, Amerika, dan Malaysia berhasil disita sepanjang 2012 hingga 2016. Angka-angka tersebut, meningkat dalam tiga tahun terakhir.

Data investigasi rangkong, memang sudah berumur. “Ini karena belum ada lain lagi,” ungkap Sulhadi, Direktur Yayasan Titian, belum lama ini. Penyusunan Rencana Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Rangkong Gading, yang dihelat akhir Oktober lalu pun, dinilainya masih sekadar mengisi capaian kementerian saja.

“Titian sebenarnya mengusulkan, peran pemerintah provinsi diperbesar mengingat enggang gading adalah maskot Kalimantan Barat (Kalbar). Porsi peran ini dengan mendorong peraturan daerah atau peraturan gubernur untuk perlindungan enggang. Dalam pelaksanaannya, pemerintah bisa merangkul komunitas adat terutama Dayak,” paparnya.

Hasil investigasi Titian di Kalbar beberapa waktu silam, belum menemukan adanya praktik perburuan enggang gading maupun perdagangannya. “Pada 2012 lalu, perburuan satwa ini memang cukup marak terjadi,” terangnya.

Yokyok Hadiprakarsa, peneliti dari Rangkong Indonesia mengatakan, berapa populasi rangkong sebenarnya tidak diketahui, karena sulit disurvei. “Penelitian terkait rangkong pun minim,” katanya, dalam Konsultasi Publik Regional Kalimantan SRAK Enggang Gading, 26 Oktober 2017 lalu. Perburuan yang masif pada 2012, dipicu karena menguatnya perekonomian China. Daya beli yang tinggi, menyebabkan paruh satwa yang menyerupai gading ini diburu untuk dijadikan aksesoris.


Laman: 1 2

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->