Connect with us

HEADLINE

Terdesak Korporasi Perkebunan Sawit, Petani Nagara Kehilangan Lahan


Screening Film & Diskusi Isu Agraria Kalsel Menuju AFK 2018


Diterbitkan

pada

Konflik agraria Foto : net

BANJARMASIN, Acil Asran, seorang petani di Nagara, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, kini harus kehilangan segalanya. Dulu, dengan 4 hektare lahan, ia mampu menyekolahkan anak, memondokkan anak ke pesantren sampai lulus. Petaka muncul di tahun 2010, lahannya ditabrak oleh perusahaan, akhirnya lokasi lahan milik Acil Asran terputus oleh perusahaan. Akses ke lahan pertaniannya pun terputus, hasil panen terganggu. Kemudian, lahan dijual dan Acil Asran tidak mempunyai tanah lagi untuk bertani.

Begitulah kondisi sepenggal kisah dari scene film yang diputar terkait isu agraria di sektor kelapa sawit di Kalimantan Selatan berjudul “Yang Bertahan di Tapal Batas”.

Pemutaran film dokumenter menuju malam anugerah Aruh Film Kalimantan (AFK) 2018 program lestari, screening film & diskusi berlangsung di Auditorium UIN Antasari, Senin (5/11/2018) malam.

Film pendek “Yang Bertahan di Tapal Batas” ini menceritakan masyarakat Kalsel yang masih bertahan hidup dan kian terdesak oleh korporasi besar perkebunan kelapa sawit.

“Ada beberapa scene di film menampilkan wilayah-wilayah yang masih bertahan, walaupun Hak Guna Usaha (HGU) memang sampai ke situ. Namun masyarakat masih bisa bertahan karena mereka tidak mau perkebunan sawit masuk ke desa mereka,” jelas Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel yang tampil sebagai pembicara.

Adanya pemutaran film, Kisworo mencoba mengapresiasi mereka yang masih bertahan, sekaligus mengajak penonton kritis menanggapi perihal kehidupan masyarakat di tapal batas yang makin hari makin terancam, karena mereka sudah bercocok tanam di sana dari dulu.

“Di Nagara contohnya, ada banyak hasil panen yang melimpah dan berpotensi. Itu belum dimaksimalkan, kenapa kok pemerintah selalu mendatangkan investasi industri ekstratif,” tuturnya di sela obrolan setelah acara selesai.

Pemaksimalan yang ia maksudkan adalah dengan melimpahnya hasil panen, misalnya semangka yang bisa dijual dalam bentuk seperti minuman atau ikan haruan yang bisa dijual dalam bentuk kerupuk, tepung, pentol dan masih banyak lagi.

“Ini yang masyarakat belum paham dengan budidaya. Kenapa kok selalu didatangkan yang baru? Jadinya kan rentan, karena masyarakat harus mulai dari nol lagi,” ujar Kisworo.

Secara tegas Walhi Kalsel meminta agar izin baru untuk tambang dan kelapa sawit segera dihentikan. Karena dari 50 persen lahan di Kalsel sudah dikuasai, yaitu 3,7 juta hektare, ada 33 persen tambang dan 17 persen sawit.

Sementara itu di lapangan, masyarakat yang masih bertahan selalu diintimidasi, berjuang menghadapi aparat, pejabat, dan preman. “Izin yang sudah ada saja yang dikelola. Maksimalkan kearifan dan potensi lokal. Jangan selalu mendatangkan investasi yang akan selalu mengancam ruang hidup rakyat,” ucapnya.

Bakrie, salah satu petani semangka dari Nagara, HSS, yang diajak Kisworo menghadiri pemutaran film berbagi sedikit cerita mengenai Acil Asran. “Dulu, dengan 4 hektare lahan, mampu menyekolahkan anak, memondokkan anak ke pesantren sampai lulus. 2010, ditabrak oleh perusahaan, akhirnya lokasi lahan beliau terputus oleh perusahaan. Akses terputus, hasil panen terganggu. Lahan dijual dan Acil Asran tidak mempunyai tanah lagi untuk bertani,” bebernya.

Kisworo merasa miris dengan kondisi masyarakat saat ini yang tidak bisa dikatakan baik. Ada permasalahan-permasalahan yang perlu didorong dan dibantu sehingga para petani ke depan bisa sejahtera tanpa tambang dan sawit. “Pesan dari film ini agar masyarakat umum yang tidak pernah ke lapangan, minimal ada gambaran sekilas,” tambahnya.

Program Lestari, Screening & Diskusi ini berlangsung selama dua hari. Dilanjutkan pada hari Selasa (6/11) di Pondok Pesantren Darul Istiqomah Barabai. (mario)

Reporter : Mario
Editor : Abi Zarrin Al Ghifari


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->