Connect with us

Kanal

Seni Ukir Banjar yang Kian Tergusur (1)


Pengukir ornamen rumah tradisional Banjar seperti Mansyur yang bekerja di bengkel kecilnya di Jl A Yani, Martapura, bernasib sama dengan rumah tradisional Banjar. Terjepit oleh modernitas yang congkak dengan warna tradisi.


Diterbitkan

pada


RUDIYANTO
Jurnalis Kalimantan View
Martapura Timur

Rumah tradisional Banjar selalu identik dengan hiasan ukiran. Baik rumah bubuhan tinggi maupun pada rumah tradisional lain, sentuhan ukiran terlihat pada pilis atau lisplang, mahkota bagian atap, serta dinding bagian depan. Namun, kini rumah tradisional semakin pudar.

Seiring waktu, keberadaan rumah-rumah berarsitektur lawas seni ukir Banjar itu hilang, digantikan bangunan beton di setiap ruang mukim. Kondisi ini pula yang kemudian menyebabkan para pengukir Banjar ikut tersingkir. Hanya tinggal sedikit yang mampu bertahan dengan orderan tak tetap pula.

Mansyur, warga Desa Antasan Senor Ilir, Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar mungkin satu dari kian sedikitnya urang Banjar yang dapat memahat ukiran tradisional Banjar. Namun pembuatan ukiran hanya dilakukannya jika ada pesanan.

Di antara riuh suara kendaraan di Jalan A Yani, Mansyur beraktifitas mengukir lembar-lembar papan ulin menggunakan pahat ukir berbentuk  V. Meski bising, konsentrasinya tak terpecah. Tatapan kedua matanya tak teralihkan dari ujung mata pahat sembari terus saja memukul gagang tatah, menggiring mengikuti garis pola daun yang sebelumnya ia gambar di atas papan ulin sepanjang sekitar 1,5 meter.

Dari caranya memegang dan merautkan mata pahat mengikuti garis di atas papan itu, terlihat Mansyur yang juga biasa disapa Ali ini, bukanlah pemula di bidangnya. Begitu pula dengan ukiran yang ia hasilkan. Meski bekerja di ‘bengkel’ mini, di samping kios penyedia jajanan miliknya, di pinggir jalan A Yani itu, hasil pahatan Ali tetap bernilai estetik.

Pesanan pembuatan ukiran yang ia kerjakan, biasanya datang dari para pemilik wantilan atau pemilik usaha pembuatan kusen rumah. Ukiran yang ia buat kebanyakan listplank atau pilis dan ventilasi rumah. Ada juga pesanan dari pemilik usaha rias pengantin untuk dekorasi pelaminan yang memang banyak menampilkan ukir-ukiran.

Mansyur pengukir ornamen tradisional pada rumah Banjar yang masih bertahan.

Tak kurang dari sepuluh tahun ini, Mansyur menekuni pekerjaan sebagai tukang pahat atau ukir kayu. Kegiatan memahat ia lakukan di sela-sela pekerjaan utamanya sebagai pedagang pemilik kios klontong dan penyedia jajanan.

Dalam sehari, ia  mengaku dapat menyelesaikan ukiran lisplang rumah maksimal hingga 4 meter. Untuk jasa ukirnya itu, Mansyur mematok harga Rp 35.000 per meter. “Dulu masih sering banyak pesanan. Tapi sekarang sudah kian jarang. Bahkan bulan lalu sama sekali tak ada pesanan ukiran yang saya kerjakan,” katanya.

Meski memiliki kemampuan memahat ukiran, ia mengaku tak pernah mempelajarinya secara akademis. Kemampuan mengukirnya ia peroleh dari hasil belajar secara otodidak kala ia masih menjadi pekerja di salah salah satu tempat pembuatan kusen yang juga menerima pembuatan ukiran untuk pintu, listplank, dan ventilasi. “Meski dapat dipelajari, bakat tetap menjadi modal utamanya,” katanya.

Mansyur memang tak mengetahui banyak seluk-beluk ukiran yang ia buat. Motif yang ia buat merupakan adopsi dari kebanyakan ukiran yang masih banyak terlihat di rumah-rumah bahari yang masih tersisa di sekitar tempat tinggalnya. Ia bahkan mengaku tak tahu banyak tentang filosopi yang ada dibalik ukiran yang dibuatnya. “Ukiran Banjar memang identik dengan bentuk daun-daunan,” katanya.

Halaman Selanjutnya


Laman: 1 2

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->