Connect with us

Kota Banjarbaru

Semangat LKP Bhakti Pertiwi Membentuk Masa Depan Negeri

Diterbitkan

pada

Suasana belajar mengajar di Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Home Learning Bhakti Pertiwi di Jalan Guntung Jingah, Kelurahan Loktabat Utara, Kecamatan Banjarbaru Utara, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Sabtu (12/8/2023). Foto: rdy.

Mereka yang Setia ‘Menyalakan’ Api Pendidikan di Tengah Keterbatasan, (Kisah LPK Bhakti Pertiwi Raih SATU Indonesia Awards)

 

Normal dibaca: 7 menit

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU – Jelang peringatan HUT Ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia, semangat kebangsaan juga bersemi dari wadah belajar sederhana siswa berkebutuhan khusus dan anak jalanan di Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Home Learning Bhakti Pertiwi di Jalan Guntung Jingah, Kelurahan Loktabat Utara, Kecamatan Banjarbaru Utara, Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan.

Sabtu (12/8/2023), saya secara khusus menemui Suprapti Ningsih, guru yang sekaligus penggagas sekolah non formal itu. Dan seperti hari-hari sebelumnya, Etty—panggilan akrab Suprapti Ningsih, sore itu masih telaten mengajari muridnya.

“Anak-anak, coba sekarang buatkan peta konsep sebelum Indonesia merdeka, kira-kira apa saja yang terjadi? Misalnya, siapa yang menjahit bendera merah putih,” ia mencontohkan.

Lana (18), Karin (17) dan Bibah (17), tiga peserta didik yang saat itu hadir, tampak kebingungan dan cengar-cengir, belum tahu apa yang harus mereka kerjakan.

“Boleh dilihat di HP, tapi kalau bisa yang setahu kalian saja,” tuntunnya, ketika melihat kebingungan anak didiknya.

Mereka pun lantas berdiskusi. Membahas kira-kira peristiwa yang terjadi sebelum kemerdekaan. Beberapa menit berlalu, namun buku tulis masih polos, belum terisi goresan-goresan tinta.

Karena tak mendapat jawaban pasti, akhirnya Bibah mencari referensi di HP miliknya. Diikuti Karin dan Lana, yang menyepakati ide pintas temannya. Perlahan tapi pasti, mereka mulai mengerjakan tugas yang sudah diberikan.

Mereka bertiga, adalah sebagian kecil murid yang hadir di kelas XII pendidikan non formal Paket C yang diadakan LKP Home Learning Bhakti Pertiwi. Sejumlah peserta didik lainnya tidak hadir, dengan alasan masing-masing. Jika lengkap, maka jumlah pesertanya didik mencapai belasan orang.

Latar belakang mereka yang memutuskan ikut sekolah informal cukup beragam. Banyak diantara mereka berhenti sekolah formal sejak usia dini. Mayoritas alasannya, karena rasa takut terhadap pengajar di lembaga pendidikan sebelumnya.

Anak yang bersekolah di Pondok Pesantren tanpa ada pendidikan formal atau sekolah Diniyah, dalam tata aturan Dapodik dianggap sebagai ATS. Total jumlah lulusan di 3 PKBM sejak tahun 2018, Paket A sebanyak 1.036, Paket B Sebanyak 3.649 dan Paket C sebanyak 3.761 orang anak. Infografis dan data Kanal Kalimantan.

***

Lana kecil, tidak lagi bersedia melanjutkan pendidikan formalnya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Banjarbaru. Saat masih berumur 9 tahun, setiap tiba di rumah usai sekolah, Lana selalu dengan kondisi yang tidak baik-baik saja.

“Lana selalu kejang ketika pulang sekolah. Ketimbang bertaruh nyawa, saya yang tidak bisa, lebih baik Lana istirahat saja bersekolah,” kata Mursidah (50), ibu kandung Lana, saat menceritakan kisah anaknya.

Sebelum Mursidah memutuskan anaknya berhenti sekolah, ia sudah berusaha beberapa kali datang ke sekolah memberitahu kondisi anaknya. Berharap kepala sekolah memberikan teguran kepada sang guru, bersikap lebih sabar jika sedang mengajar di kelas.

Tapi permintaan sederhana itu tidak didengar. Ia malah dilempari pernyataan yang tidak mengenakan.

“Saya malah dikata-katain, saya sakit hati.” kenang Mursidah, sembari tangan kanannya mengelus dada.

Dua tahun absen dari sekolah, Lana kecil hanya menghabiskan waktunya di rumah. Tapi tak jarang juga, dengan inisiatifnya sendiri Lana turut membantu orangtuanya memulung untuk mengais rezeki kebutuhan keluarga.

Hingga pada suatu ketika, saat Mursidah dan Lana memulung di sekitar Jalan Guntung Jingah, Kelurahan Loktabat Utara, mereka melihat ada kegiatan belajar mengajar. Kegiatan tersebut melibatkan anak-anak usia dini dan para lansia, dan berlangsung di sebuah Pos Kamling.

Tertarik dengan apa yang dilihat, Mursidah kemudian mencari tahu lebih lanjut.

“Bisakah saya menyekolahkan anak saya di sini?” tanya dia.

“Oh bisa, silahkan,” jawab Etty.

“Kalau mamanya apakah juga bisa ikut?”

“Sangat bisa!” jawab Etty.

Ya, sejak belia, ternyata Mursidah juga tidak pernah duduk di bangku sekolah. Bahkan tingkat dasar sekalipun. Akibatnya ia buta huruf, bahkan mengeja nama jalan tempat hilir mudik keliling komplek saat memulung pun ia kesulitan.

“Saya itu bingung kalau ditanya orang, ada plang tulisan tapi saya tidak tahu membacanya, padahal nama-nama jalan itu setiap hari saya lalui,” jelasnya.

“Dulu kalau mulung sama bapaknya Lana aman, dia bisa membaca. Sekarang bapak sudah meninggal,” katanya lirih.

Tanpa ada persyaratan khusus dan biaya, Lana dan Mursidah pun akhirnya mendaftar di LPK Bhakti Pertiwi. Usai kegiatan memulung, setiap hari Mursidah bersama putranya, dengan tekun mengikuti program belajar setara tingkat sekolah dasar.

Dengan penuh sukacita, Mursidah kembali menyaksikan keceriaan Lana. Kejang-kejang yang dulu menghantuinya tak pernah lagi terjadi. Dia mengagumi kesabaran serta dedikasi Etty sang guru pengajar.

Seiring berjalannya waktu, Mursidah dan anaknya melampaui perjalanan pendidikan dalam Program Paket A. Namun, Mursidah memutuskan untuk tidak melanjutkan ke Paket B. Sementara semangat Lana tetap, perjuangannya berlanjut hingga kini, kelas XII setara Program Paket C.

“Setelah lulus bareng Lana waktu itu saya sampai di Paket A saja, saya bersyukur sudah bisa membaca itu bagi saya sudah cukup,” sebutnya.

“Lana kalau bisa sampai kuliah belajarnya di sini saja, saya sangat senang sekali bila bisa seperti itu,” pinta Mursidah.

***

Lana dan Karin sibuk mengerjakan peta konsep sembari mencari referensi di smartphonenya, Sabtu (12/8/2023). Foto: rdy.

Lebih dari satu jam berlalu sejak Etty menugaskan Lana, Karin, dan Bibah membuat peta konsep sebelum Kemerdekaan RI. Meski goresan-goresan mulai mengisi halaman buku mereka, namun tugas tersebut masih belum selesai dikerjakan sepenuhnya.

Sembari menunggu, Etty berbagi kisah inspiratif kepada saya. Ia menjelaskan sekolah non formal ini sudah ada lebih dari satu dekade lalu.

Setelah menempuh pendidikan kuliah di STIKIP-PGRI Banjarmasin jurusan Bahasa Inggris tahun 2011, didorong tekad dan dukungan ayahnya yang seorang purnawirawan Polri, Etty dan beberapa teman lainnya, berupaya membantu warga sekitar, terutama anak-anak dan lansia untuk meningkatkan pengetahuan.

Awal mula merintis, ia gunakan pos keamanan lingkungan yang berlokasi di depan rumahnya sebagai tempat belajar. Kondisi pos kamling pada saat itu jauh dari kata layak. Bangunan sederhana itu terkesan seperti gubuk dengan atap yang hanya ditutupi daun rumbia. Kondisinya semakin merana jika hujan tiba.

“Nah, disitulah dulunya lokasi pos kamling itu, sekarang sudah dibongkar. Disanalah dahulu kami melaksanakan proses belajar mengajar,” Etty menunjuk dari depan halaman rumahnya, memberitahu.

Pada mulanya, wadah masih belum terbentuk, jumlah murid yang mengikuti proses belajar pada tahun itu hanya 10 orang. Terdiri dari peserta didik usia dini dan para ibu rumah tangga, namun jumlahnya terus bertambah seiring waktu.

Melihat antusias yang begitu tinggi, Etty lalu mengajak beberapa temannya yang memiliki latar belakang pendidikan guru untuk menjadi pengajar. Mereka bersedia membantu dengan ikhlas dan sukarela, tanpa harus dibayar.

Berjalan satu tahun, aktifitas belajar mengajar di pos kamling setiap hari padat, tidak lagi dapat menampung kehadiran para peserta didik dan pengajar.

Hingga akhirnya di tahun 2012, pos kamling ditinggalkan. Mereka memutuskan pindah tempat ke teras rumah orangtuanya yang hanya berseberangan.

Di teras rumah sang ayah tempatnya cukup nyaman dan luas, meski hanya diteduhi pepohonan, namun sudah dilengkapi beberapa meja belajar duduk. Begitu juga statusnya, wadah belajar mengajar itu disepakati diberi nama Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Home Learning Bhakti Pertiwi.

“Jadi nama Bhakti Pertiwi itu, almarhum bapak saya yang berikan, ia ingin kami berbakti pada Ibu Pertiwi,” ucap perempuan kelahiran 1988 itu.

Di tengah keterbatasan-keterbatasan itu, setiap tahun Bhakti Pertiwi berhasil mencetak anak didik berprestasi. Ada yang menjuarai berbagai lomba, seperti Marsya Noor Intan yang meraih juara 1 Olimpiade IPA nasional tingkat SD, hingga si Lana yang sudah beranjak remaja, ia kini pandai menghafal beberapa surah Al Qur’an berkat menekankan nilai agama pada kegiatan ceramah dan membaca Al Qur’an yang rutin dilakukan setiap hari Jumat sore.

Atas semangat dedikasi Etty dan para tenaga pendidik yang saat itu sudah berjumlah 11 orang, dengan 50 orang peserta didik yang tanpa henti menabur semangat belajar, LKP Home Learning Bhakti Pertiwi pun mendapat Apresiasi SATU Indonesia Awards tingkat provinsi tahun 2018 di bidang pendidikan.

Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards adalah wujud apresiasi Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok, yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan untuk berbagai dengan masyarakat sekitarnya di bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori Kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.

“Alhamdulillah, bersyukur sekali mendapat apresiasi dari Astra, kami juga tidak mengira,” ucapnya bangga.

Dana apresiasi yang diberikan oleh Astra lantas digunakan Etty membangun kanopi di halaman rumah untuk aktivitas belajar mengajar, terutama ketika menghadapi cuaca yang tidak menentu. Dengan adanya kanopi ini setidaknya mereka tidak perlu lagi merasa khawatir saat hujan.

“Kanopi inilah kenangan dari Astra,” sebutnya.

Di sisi lain, tantangan yang dihadapi pada masa kritis saat awal merintis, termasuk dalam hal memberikan insentif bagi para pengajar yang telah bekerja dengan ikhlas, juga telah menemukan solusi.

Selain memberikan bimbingan belajar untuk anak-anak usia dini dan lansia, Bhakti Pertiwi juga membuka khusus bagi siswa sekolah formal. Insentif para pengajar disesuaikan dengan jam pelajaran dan dibiayai melalui iuran bulanan sebesar Rp100 ribu.

Keikhlasan para pengajar dalam berbagi ilmu dan semangat belajar tinggi dari siswa itu telah menjaga keberlangsungan untuk tumbuh dan berkembang dari tahun ke tahun hingga kembali melahirkan program-program baru. Seperti pelatihan komputer, kewirausahaan, tata boga, tata rias, kerajinan, menjahit, bimbingan belajar, pertanian, pertamanan, jurnalistik hingga menulis kreatif.

Seluruh program itu termasuk Bhakti Pertiwi kini tergabung di tempat pelaksanaan pelatihan program Sadar Informasi dan Teknologi Informatika (SANTIKA).

Hingga di tahun 2023, Etty akui, tidak terhitung lagi jumlah peserta didik yang lulus dari selusin lebih program yang ada. Yang luar biasa dari semua program pendidikan yang diterapkan oleh SANTIKA semua gratis.

Program pelatihan komputer yang perangkatnya didukung oleh Pemerintah Kota Banjarbaru, kini menjadi yang terfavorit sebagai pilihan.

“Jika dihitung dari 2011 sejak Bhakti Pertiwi ya ribuan yang sudah lulus hingga sekarang. Pesertanya bahkan ada yang dari kabupaten kota tetangga,” terang Etty.

Dalam hal tenaga pendidik yang mendukung proses belajar mengajar dalam setiap program, khususnya dalam menghadapi lonjakan peserta yang semakin besar, sekarang ada belasan mantan murid yang sebelumnya telah lulus dari program pelatihan yang bersedia ikut serta membantu dalam proses belajar mengajar, tentu dengan ikhlas dan sukarela.

Belakangan diluar SANTIKA, di tempat terpisah masih di Kelurahan Loktabat Utara, Etty juga mendirikan Rumah Limbah Bonkla Borneo yang juga melahirkan belasan program di dalamnya. Ada pengolahan berbagai kerajinan ramah lingkungan, seperti pembuatan kursi meja dari bahan botol bekas dan limbah kain, hingga produksi jamu serbuk berbahan kencur.

Para pengrajin memberdayakan warga di lingkungan sekitar. Alhasil sejumlah penghargaan lain sesudah Astra tidak pernah absen setiap tahun mereka terima. Ada yang dari Kementerian hingga terbaru dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Panjang lebar Etty bercerita, tidak terasa waktu sudah jelang Maghrib. Suasana belajar mengajar di kelas XII Bhakti Pertiwi hampir berakhir. Sebelum Etty menutup kelas ia meminta Lana, Karin, dan Bibah mengumpulkan tugas.

Buku sudah penuh catatan, Lana membuat peta konsep dibentuknya BPUPKI dan PPKI. Karin menuliskan tentang penyusunan naskah Proklamasi, dan Bibah soal peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki ketika Jepang menyerah kepada Sekutu.

“Nah berarti kalian sudah memahami apa yang terjadi sebelum Indonesia merdeka, semuanya sudah benar,” kata Etty puas.

“Hari ini belajarnya cukup sampai di sini. Sebelum pulang mari kita berdoa dahulu.”

Dan mereka pun berdoa bersama, sebelum proses belajar mengajar benar-benar berakhir kemudian pulang ke rumah masing-masing. (Kanalkalimantan.com/rdy).

#SemangatUntukHariIniDanMasaDepanIndonesia #KitaSATUIndonesia

Reporter: rdy
Editor: Cell & Bie


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->