Connect with us

ACT KALSEL

Pembangunan Family Shelter dari ACT Disambut Riuh

Diterbitkan

pada

Rumah warga pasca gempa Lombok masih perlu perhatian. Foto : ACT

LOMBOK UTARA, Luas bangunan itu sekitar 3×7 meter, menampakkan lantai berplester semen yang dikotori serpihan beton. Tak beratap, tak berdinding, salah satu ruang di rumah Rumiyati (38) ini menganga lebar. Hanya tumpukan kayu balok yang mengisi sisi pinggir ruang ini.

“Ya ini, hancur semua sudah. Itu tumpukan betonnya ada di belakang ini. Baru kita rubuhin sisa-sisa betonnya,” kata Rumiyati, sambil menunjuk satu ruang rumahnya di bagian belakang. Tenda darurat berdiri di samping rumahnya yang tinggal lantai, bersebelahan dengan area ternak di mana tiga sapi miliknya berteduh.

Baru sepekan yang lalu Rumiyati pindah dari tenda pengungsian komunal tak jauh dari reruntuhan rumahnya di Dusun Sambik Jengkel Barat, Desa Selengen, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara. Sebelumnya, ia dan keluarga mengungsi di sebuah madrasah yang lebih jauh jaraknya dari rumah mereka.

“Sudah sebulan lebih mengungsi, dan sudah dua kali pindah. Ini baru pindah lagi kita ke rumah, bangun tenda di sini (rumah). Ndak betah kita di sana,” ungkap Rumiyati, Ahad (16/9) sore.

Ketidakbetahan itu ia ungkapkan dengan senyum tipis. Rumiyati acapkali harus menenangkan anak bungsunya, Ulfa, yang rewel. Melihat teman-teman seumurnya yang menikmati jajanan ringan, balita berusia 4 tahun ini kerap meminta dibelikan jajan oleh ibunya. Padahal, kata Rumiyati, kondisi keuangannya lagi pas-pasan.

“Kan suka ada anak-anak yang dikunjungi keluarganya dari wilayah lain, diberi jajanan. Dia (Ulfa) juga ingin. Jadinya saya harus cari cara untuk bikin dia tenang dan lupa jajan. Belum lagi kalau malam banyak orang yang masih ngobrol dan bunyikan HP. Jam tidur kita jadi terganggu,” tutur Rumiyati. Oleh karenanya ia memutuskan untuk kembali ke rumah dan mendirikan tenda darurat di dekatnya.

Rumiyati tidak terlalu khawatir untuk tidur di tenda darurat itu. “Ini cuma beberapa hari kok, sebentar lagi kan shelternya mau dibangun di ruang yang itu,” tunjuknya ke arah ruang utama berukuran 3×7 meter.

Ahad (16/9), memang baru 20 unit shelter yang tengah dibangun di Dusun Sambik Jengkel, wilayah pembangunan Family Shelter ACT. Pengerjaan pertama dilakukan di rumah-rumah warga di tepian jalan, tak jauh dari Masjid Al-Amin yang baru dibangun ulang oleh Aksi Cepat Tanggap.

Dede Abdul Rohman selaku Koordinator Pembangunan Family Shelter mengatakan, pihaknya sedang membangun 50 shelter tunggal berbahan dasar kayu di dusun tersebut. “Ini baru tahap pertama, insya Allah nanti akan ada pembangunan shelter lagi di masing-masing rumah warga yang sudah hancur. Di sini kan ada 149 KK, dan semua rumah mereka sudah tidak layak huni,” terang Dede.

Family Shelter tersebut berukuran 3×6 meter dan terdiri dari dua ruang utama. Shelter ini juga dilengkapi dua jendela dan satu pintu, dengan atap berbahan seng fiber go green. “Insya Allah tidak bocor pas hujan. Kita juga sedang mengebut pengerjaannya, warga juga ikut bantu. Soalnya kan dari kemarin di sini sudah terlihat mendung, biar warga langsung bisa berteduh di shelter ini kalau hujan,” tambah Dede.

Membangun dari Nol

Rumiyati masih ingat kapan terakhir kali rumahnya dibangun. Tiga setengah tahun yang lalu, ia dan suami perlahan tapi pasti membangun rumah mereka dari nol. Semua bermodal tabungan sang suami dan usaha sambilan Rumiyati.

“Itu hasil nabung kerja suami yang kerja di Malaysia selama sekitar empat tahun. Dia setiap bulan kirim uang hasil kerja, saya tabung dan gunakan untuk bangun rumah. Saya juga kerja di sawah untuk bantu-bantu. Saya beli sapi untuk dijual lagi sapinya saat siap potong. Keuntungannya buat nyicil bangun rumah. Saya juga sempat pinjam-pinjam uang agar rumah kami cepet jadi,” kisah Rumiyati.

Rumah yang mereka bangun pun belum sepenuhnya jadi. Ia dan suami berencana merampungkan pembangunan rumah saat ada simpanan lebih lagi. Namun, sebelum rencana itu terealisasikan, rumah mereka hancur diguncang gempa berkekuatan 7,0 SR awal Agustus lalu.

“Pas tahu rumah hancur waktu gempa, perasaan saya ikut hancur. Tapi namanya musibah, mau bilang apa. Mudah-mudahan kita bisa belajar dari nol lagi, buat rumah kayak dulu. Yah walaupun dulu saya belum ngerasain kayak orang-orang gimana tidur pakai springbed, orang tidur di rumah yang bagus. Rumah saya kan dulu belum jadi-jadi banget,” ujar Rumiyati pelan.

Pembangunan shelter disambut riuh

Mimik wajah Rumiyati beralih cerah. Ia dengan menggebu berkisah tentang hari di mana dirinya diberitahu akan memiliki shelter di rumahnya yang sudah hancur. “Pas dikasih tahu ACT mau buatkan kita rumah, uh warga di sini langsung riuh menyambutnya karena senang sekali,” kisahnya dengan semangat.

“Bagi saya, ACT itu nomor 1, perlu diacungi jempol. Kenapa? Kita dikasih masjid. Kalau kita bangun sendiri, habis biaya berapa itu. Ini kan dulu masjid dibangun secara swadaya. Pembangunan bertahun-tahun, warga ada yang kasih 500 ribu, satu juta, ada juga yang kasih hasil panen untuk dijual dan untuk membiayai pembangunan masjid. Sekarang ACT bangun masjid, habis itu rumah buat kita. Ada juga ini air bersih, kita dibuatkan sumur bor. Banyak sekali bantuannya, alhamdulillah,” imbuh Rumiyati penuh syukur.

Ditemui pada Kamis (20/9), shelter milik Rumiyati mulai menampakkan bentuk. Sementara itu, sudah ada total 50 shelter yang tengah dibangun. Pembangunan Family Shelter di Dusun Sambik Jengkel Barat diperkirakan rampung dalam beberapa hari ke depan. (ACT)


Reporter: ACT
Editor: Abi Zarrin Al Ghifari


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->