Connect with us

HEADLINE

Miris, Perkawinan Anak di Kalsel Pegang Rekor Tertinggi Nasional!


Penyumbang angka terbesar untuk perkawinan anak di Kalsel adalah Kota Banjarmasin, Kabupaten Tapin dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).


Diterbitkan

pada


BANJARMASIN, Angka perkawinan anak dengan usia dibawah 19 tahun di Kalsel ternyata memegang rekor tertinggi nasional. Hal ini menjadikan keprihatinan sejumlah pihak, mengingat perkawinan anak sangat beresiko secara sosial seperti tingginya angka perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), juga tingginye resiko kematian ibu dan bayi.

Data BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ) Kalsel menyebutkan,  usia perkawinan  anak di Kalsel mencapai  9,24  persen.  Persentase  itu merupakan  yang  tertinggi  di  seluruh Indonesia.  Melalui  data tersebut  juga  terungkap, bahwa perkawinan  usia  10-14  tahun  di Kalsel  sudah  mencapai  9,2 persen dari  jumlah  perkawinan  dan  usia  15-19 tahun  sebesar 46 persen  dari  jumlah  perkawinan.

Penyumbang angka terbesar untuk perkawinan anak tersebut adalah Kota Banjarmasin, Kabupaten Tapin dan Kabupaten Hulu  Sungai  Selatan (HSS).

Sementara berdasar data BPS dan UNICEF, tercatat indikasi pernikahan anak terjadi di hampir semua wilayah Indonesia. Beberapa provinsi tercatat memiliki angka pernikahan anak tinggi, di antaranya adalah Sulawesi Barat (34 persen), Kalimantan Selatan (33,68 persen), Kalimantan Tengah (33,56 persen), Kalimantan Barat (32,21 persen), dan Sulawesi Tengah (31,91 persen).

Menyikapi hal tersebut, sebanyak 400 orang mulai dari pelajar SMP, SMA, guru, ormas, forum anak dan tokoh agama berkumpul di Gedung Mahligai Pancasila, Rabu (13/12), untuk melakukan kampanye gerakan bersama stop perkawinan anak dengan melakukan penandatanganan petisi.

Acara yang disponsori Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kalsel, dihadiri pula Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Pembangunan Kalsel, Hj Gusti Yanuar Noor Rifai M. Si, dan Asisten Deputi Menteri Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rohika Kurniadi. (Baca : Perkawinan Anak Ternyata Sangat Beresiko, Ini Beberapa Dampak Buruknya).

Dari perss realese yang disampaikan, kegiatan ini telah berlangsung  di  lima  provinsi meliputi  Jawa  Barat, Jawa  Tengah, Jawa  Timur, Sulawesi  Selatan, dan  Nusa  Tenggara  Barat.  Deklarasi  Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak  ini  diluncurkan  pertama kali  oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan  dan Perlindungan Anak  Yohana Yembesi,  pada  tanggal  3  November  2017  di  Jakarta.

Acara tersebut juga turut menghadirkan testimoni kasus perkawinan anak, korban, fasilitator forum agama, dan peradilan agama.

Terkait tingginya kasus perkawinan anak di Kalsel, Gusti  Yanuar  Noor  Rifai mengatakan  pihaknya  terus  berupaya  menekan  angka perkawinan  anak  dengan  berbagai  upaya.

“Maraknya perkawinan anak  di  tiga kabupaten dan kota memang harus  dihentikan.  Peringkat tertinggi di  Kalsel ini bukanlah sebuah prestasi.  Kami sedang melakukan berbagai  upaya  perubahan cara  pandang  dan  budaya  masyarakat bekerja  sama dengan lembaga-lembaga terkait,  tokoh agama dan tokoh masyarakat,”  tegas Yanuar Noor.

Para pembicara yang mengisi acara gerakan stop pernikahan anak. Foto : achi

Sementara Asisten Deputi KPPPA Rohika Kuniadi, Indonesia versi UNICEF yang menempati posisi ke-tujuh tertinggi di dunia dan rangking kedua tertinggi di ASEAN dalam kasus perkawinan anak.

“Perkawinan anak merupakan bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap anak, serta pelanggaran terhadap hak anak. Padahal, mereka memiliki hak untuk menikmati kualitas hidup yang baik dan sehat, serta hak untuk tumbuh dan berkembang sesuai usianya,” tegasnya.

Tingginya  angka  perkawinan  anak  diiringi  dengan  tingginya  tingkat  perceraian.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  pengelolaan  rumah  tangga yang  baik  belum  dapat  dilakukan  oleh  anak.  Dampak  lain  dari  perkawinan  anak  yaitu kekerasan  seksual,  angka  kematian  ibu  saat  melahirkan,  angka  kematian  bayi, perdagangan  manusia,  eksploitasi  kerja,  dan  nikah  tanpa  pengesahan  negara  yang menyebabkan  ketiadaan  akte  kelahiran,  sehingga  berdampak  pada  hak  pendidikan dan  kesehatan  sang  anak.(achi)


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->