Connect with us

HEADLINE

Mengenal ‘Lone Wolf’, Teroris di Balik Aksi Penyerangan Polsek Daha Selatan. Siapa Mereka?

Diterbitkan

pada

Aksi teroris perseorangan atau dikenal lone wolf sulit dilacak asal usul jaringannya Foto : jawapos/gatra

KANALKALIMANTAN.COM, KANDANGAN– Aksi penyerangan Mapolsek Daha Selatan yang diduga dilakukan sesorang terkait terorisme, pada Senin (1/6/2020) mengejutkan warga Kalimantan Selatan (Kalsel). Di tengah perjungan melawan pandemi Covid-19, aksi keji pelaku yang menyerang Mapolsek hingga menyebabkan seorang polisi meninggal dunia, patut dikecam sebagai tindakan brutal dan biadab!

Peristiwa penyerangan Markas Polisi Sektor (Mapolsek) Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) diduga dilakukan seorang pelaku terindikasi jaringan ISIS. Namun begitu, hingga kini belum diketahui secara pasti identitasnya. Kendati mengarah pada satu orang pelaku yang berhasil dilumpuhkan oleh kepolisian.

Dalam keterangan resminya pada Senin (1/6/2020) siang, Kabid Humas Polda Kalsel Kombes Pol Moch Rifa’i membeberkan kronologi penyerangan Mapolsek Daha Selatan yang mengakibatkan satu personel bernama Brigadir Leonardo Latupapua (30) gugur dalam tugas.

Lantas, apa maksud dan asal usul istilah lone wolf dalam aksi terorisme?

1. Pelaku terorisme lone wolf melakukan secara mandiri dan umumnya anak muda
Sesuai namanya “lone”, penyerangan jenis ini dilakukan atas inisiatif sendiri, tidak terikat jaringan atau kelompok teroris lain. Mereka menyerang dengan pemahaman sendiri, survei target sendiri, dan bahkan merakit bom atau alat penyerangan pun sendiri. Pelaku teror perorangan ini umumnya adalah anak muda.

Menurut pengamat terorisme Ansyaad Mbai mengatakan kelompok lone wolf berpikir bahwa aksi kelompok atau jaringan akan lebih mudah dideteksi aparat keamanan, dibandingkan melakukan aksi sendirian.

2. Pelaku teror lone wolf umumnya terbentuk dari internet
Para pelaku teror perorangan yang disebut sebagai lone wolf ini memiliki paham sendiri yang diperoleh dari internet, dengan berbagai propaganda kelompok radikal-teroris.

Ansyaad mengatakan kelompok radikal menjerat pengikutnya dengan doktrin atau meracuni pemikiran seseorang, seperti melalui tayangan video aksi yang menindas dan membantai kelompok radikal yang mengaku sebagai umat muslim. Dimulai dari timbul rasa empati, membuat seseorang menjadi radikal dengan sendirinya, dan termotivasi menjadi seorang lone wolf.

3. Pelaku terorisme lone wolf di Polsek Daha Selatan bukan yang pertama kali di Indonesia
Pelaku terorisme lone wolf di Polsek Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan (HSS) Kalsel, bukan pertama kali. Sebelumnya sudah beberapa kali dilakukan. Dari catatan Kanalkalimantan.com, sedikitnya ada empat aksi lone wolf yang pernah terjadi, yaitu penyerangan terhadap Mapolresta di Solo, penyerangan gereja di Medan, dan penyerangan polisi di Tangerang, dan teraakhir di Daha Selatan.

4. Istilah lone wolf dipopulerkan sejak akhir 1990-an
Kepala Departemen Pengetahuan dan Penelitian Akademi Kepolisian Belanda sekaligus Pakar Studi Terorisme di Universitas Leiden Profesor Edwin Bakker dalam tulisannya berjudul Mencegah Teror Lone Wolf menyebutkan, istilah lone wolf dipopulerkan pada akhir 1990-an oleh supremasi kulit putih Tom Metzger dan Alex Curtis sebagai bagian dari dorongan kepada sesama rasis, untuk bertindak sendiri karena alasan keamanan taktis ketika melakukan kejahatan kekerasan.

Seperti dikutip dari researchgate.net, Bakker menyebut lone wolf istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan bentuk kekerasan politik yang serupa atau sebanding meliputi “perlawanan tanpa pemimpin”, “terorisme individu”, dan “terorisme lepas”.

Definisi lain dari Burton dan Stewart dalam esai Stratfor mereka mendefinisikan satu-satunya pelaku sebagai “seseorang yang bertindak sendiri tanpa perintah dari atau bahkan koneksi ke suatu organisasi. Mereka menekankan perbedaannya dengan sel tidur, yang beroperasi menyusup ke masyarakat atau organisasi yang ditargetkan dan kemudian tetap tidak aktif sampai suatu kelompok atau organisasi memerintahkan mereka mengambil tindakan.

“Sebaliknya, lone wolf adalah seorang agen yang berdiri sendiri yang pada dasarnya tertanam dalam masyarakat sasaran dan mampu melakukan aktivasi diri kapan saja,” kata Bakker.

Namun, dengan menekankan tidak adanya koneksi dengan jaringan atau organisasi yang lebih luas, Burton dan Stewart mengabaikan hubungan ideologis yang mungkin dimiliki individu dengan jaringan atau organisasi lain, baik melalui kontak pribadi atau konten inspirasional di internet.

Meskipun beberapa lone wolf telah dikaitkan dengan jaringan yang lebih besar (bawah tanah), seperti Baruch Goldstein (yang telah dikaitkan dengan Kach) dan Timothy McVeigh (yang telah dikaitkan dengan beberapa kelompok sayap kanan), mereka memutuskan, merencanakan dan melakukan bertindak sendiri, alih-alih mengikuti instruksi dari beberapa struktur komando hierarkis.

“Dalam pandangan kami, definisi terorisme lone wolf harus diperluas untuk mencakup individu yang terinspirasi oleh kelompok tertentu, tetapi yang tidak di bawah perintah orang lain, kelompok atau jaringan. Mereka mungkin anggota jaringan, tetapi jaringan ini bukan organisasi hierarkis dalam arti kata klasik,” tulis Bakker, yang dibantu Sejarah Hubungan Internasional dan Tata Kelola Global di Universiteit Utrecht, Belanda, Beatrice de Graaf dalam tulisannya. (Kanalkalimantan.com/fikri/idntimes/berbagai sumber)


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->