Connect with us

HEADLINE

Kendala Pencairan Dana Desa, dari Kasus Hukum hingga Desa Dibeli Perusahaan!

Diterbitkan

pada

Pencairan dana desa masih menjadi tantangan ditengah sejumlah masalah pelaporan Foto : net

BANJARBARU, Hingga memasuki triwulan IV, dana desa di Tahun 2018 belum tersalurkan sepenuhnya. Adanya sejumlah faktor mempengaruhi suntikan dana dari pemerintah pusat ini ke beberapa desa di kabupaten di Kalsel. Mulai dari Kepala Desanya terjerat masalah hukum dan ada juga wilayah desanya yang dibeli oleh perusahaan sehingga anggarannya tak tersalurkan.

Dari Rekap penggunaam Dana Desa akhir Desember lalu, dijelaskan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kalsel,  Zulkifli bahwa ada 1.864 desa dari 11 Kabupaten Kota di Kalsel yang mendapat suntikan dana besar tersebut. Adapun total Dana Desa yang diberikan kepada Provinsi Kalsel pada tahun 2018 sebanyak lebih Rp 1,3 triliun.

“Untuk penyaluran tahap satu, dua dan tiga dari RKUN ke RKUD sudah 100%, namun RKUD ke RKD tahap 2 dan 3 belum 100,” ungkapnya kepada Kanalkalimantan.com.

Zukifli menjelaskan ada lima Kabupen yang belum tersalurkan Dana Desa 100% yaitu Kabupaten Tanah Laut, Kota Baru, Hulu Sungai Selatan (HSS),  Batola dan Balangan. Ia mengatakan hal ini disebabkan ada 2 faktor yang mempengaruhi.

“Ada beberapa Desa yang Kepala Desa nya terjerat masalah hukum dan ada juga wilayah Desanya yang dibeli oleh perusahaan sehinga Dana Desa tidak tersalurkan ke desa tersebut,” lanjutnya.

Meski begitu, Zukifli mengatakan pada proses desa yang mengalami kendala tersebut tengah tahap pengajuan pencarian.

Di sisi lain, ada juga Kabupaten yang pencairan 100% paling cepat yaitu Hulu Sungai Tengah,  Hulu Sungai Utara,  Banjar,  Tabalong,  Tapin,  dan Tanah Bumbu.  Dari dana desa yang sudah tersalur digunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa sebesar 10,67 %, penyelenggaran pemerintah desa 0,01 %,   pembinaan kemasyarakatan 0,13 %,  dan 89,19 % untuk membiayai kegiatan di bidang pembangunan Desa khususnya infrastruktur Desa.

Sedangkan untuk Tenaga Pendamping Profesional (TPP) di Provinsi Kalsel rupanya belum memenuhi kuota pada tahun 2018. Jumlah pendamping sebanyak 966 pendamping dari total kuota sebanyak 977 pendamping atau sebesar 98,8%.

Perlu diketahui, tahun 2019 ini Kalsel mendapat tambahan untuk dana desa. Dari tahun 2018 yang hanya mendapatkan Rp 1,3 triliun. Maka di 2019 ini mendapat Rp 1,506 triliun atau naik dari tahun sebelumnya. Jika melihat kenaikan angka tersebut, juga melebihi  tahun 2017, dimana alokasi dana desa saat itu mencapai Rp 1,4 triliun.

Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Kalsel, Usdek Rahyono, menjelaskan penambahan itu merupakan wewenang pemerintah pusat. “Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik 2019 untuk Kalsel juga naik di angka Rp 1,592 triliun, atau naik 23, 4 persen dari sebelumnya. Adapun realisasi DAK mencapai 92,3 persen dari Pagu Rp 1,29 triliun” ujarnya.

Kadis PMD Zulkifli mengatakan saat ini masing-masing pemerintahan desa sedang menyusun laporan pertanggungjawaban.  Dikatakannya,  untuk pencairan dana desa 2019 masih menunggu pemerintah pusat. ” Mudah-mudahan di awal tahun ini sudah bisa dicairkan,”  bebernya.

Dalam empat tahun terakhir, pemerintah telah menggelontorkan dana desa dengan total anggaran sebesar Rp 187 triliun. Namun, senyatanya program ini belum bisa menekan jumlah pengangguran di pedesaan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di desa pada Agustus 2018 justru naik tipis dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menjadi ironis lantaran pemerintah terus menggenjot kucuran dana desa, yang awalnya hanya Rp 20,77 triliun pada 2015 menjadi Rp 60 triliun pada 2018.

Di luar ironi itu, dana desa ternyata tak luput dari praktik korupsi. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto menyebut korupsi masih jadi salah satu problem utama pengelolaan dana desa. Dalam 6 bulan pertama 2018, ICW sudah mencatat 27 kasus korupsi dana desa yang sudah naik ke tahap penyidikan. Demikian dilansir tirto.id.

Sementara sepanjang 2017, kata Agus, ICW mencatat ada 98 kasus. Angka ini tentu hanya sebagai puncak gunung es dari penyelewengan dana desa yang terjadi selama empat tahun terakhir. Ini ditunjukkan dengan peningkatan jumlah kasus dari tahun ke tahun.  Menurut Agus, aktor yang terlibat korupsi dana desa biasanya kepala desa atau perangkat desa. Modus yang digunakan cukup beragam, mulai dari mark-up hingga penyalahgunaan anggaran.

“Misal, seharusnya untuk pembelian barang, tapi digunakan untuk studi banding, padahal sebenarnya wisata,” kata Agus.

Kondisi ini diperburuk dengan belum optimalnya peran warga dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan dana desa. Selama ini, kata Agus, dana desa kerap jadi bancakan lingkaran terdekat kepala desa. Beragam masalah ini tak lepas dari minimnya pembinaan yang dilakukan pemerintah. Ini tampak dari sedikitnya jumlah pendamping desa.

Untuk itu, Agus merekomendasikan pemerintah perlu membuat regulasi yang melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan dana desa. Selain itu, penggunaan dana desa harus dipertanggungjawabkan dalam laporan yang akuntabel. (rico)

Reporter : Rico
Editor : Chell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->