Connect with us

HEADLINE

Hantu Politik Uang dalam Pemilu, Keresahan yang Susah Dipenjarakan!

Diterbitkan

pada

Politik uang rawan terjadi pada setiap gelaran pemilu Foto : net

MARTAPURA, Seperti hantu, politik uang menjadi momok dalam setiap gelaran pemilu. Tapi sayangnya, kasus ini lebih sering menjadi cerita kosong yang sulit dipidanakan. Bawaslu sendiri mengakui adanya sejumlah celah pada UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang hanya mengatur larangan politik uang terbatas waktu dan obyek. Jadi, mengungkap kasus ini sesulit menangkap hantu?

Problem penanganan politik uang ini sempat menjadi perdebatan hangat pada sesi tanya jawab saat Rapat Kerja (Raker) Teknis Sentra Gakkumdu Kabupaten Banjar di Aula Guest House Sultan Sulaiman Martapura, beberapa waktu lalu. Nahrin Fauzi, seorang Lurah Tanjung Rema Darat, Kabupaten Banjar, menyampaikan uneg-unegnya. Ia mengatakan, bahwa faktor yang seringkali menjadi kendala dalam pembuktian politik uang ini adalah mendengarkan keterangan saksi.

“Begitu sulitnya mencari saksi yang bersedia membongkar adanya politik uang, sehingga kasusnya sering tidak tuntas,” ujarnya.

Fauzi berharap, penegak hukum dari Bawaslu dan sentra Gakkumdu benar-benar tuntas mengungkap kasus money politics  sehingga tidak berkembang masih pada Pemilu 2019 nanti. “Ini mudah-mudahan pihak Bawaslu dan Gakkumdu benar-benar mau tuntas mengungkap kasus money politics,” harapnya.

Menanggapi hal tersebut Komisioner Bawaslu Kalsel bagian Divisi Penindakan Pelanggaran, Azhar Ridani mengatakan, dasar hukum terkait politik uang tertuang dalam UU No 7 tahun 2017. Dimana fungsi Bawaslu adalah sebagai pengawasan/pencegahan, penindakan dan memutus sengketa proses pemilu.

Berkaitan dengan penindakan pelanggaran pemilu, kata Azhar Ridani, Bawaslu mempunyai kewenangan yang diawali dengan pencegahan seperti dengan pemetaan potensi pelanggaran, peningkatan partisipasi masyarakat dan koordinasi para pihak. Dalam mementukan dugaan pelanggaran, pihaknya menggolongkan dalam dua sumber katagori seperti temuan dan laporan. Yang mana sumber dugaan itu meliputi hasil pengawasan yang terdapat dugaan pelanggaran dan di plenokan oleh pengawas pemilu paling lama 7 hari kerja sejak ditemukan dan di tuangkan dalam formulir B.2 yang memuat paling sedikit seperti penemu, terlapor, batas waktu temuan dan uraian peristiwa.

“Dalam menentukan dugaan pelanggaran, dibagi dengan dua kategori seperti temuan dan laporan yang meliputi hasil pengawasan yang terdapat dugaan pelanggaran dan di plenokan oleh pengawas pemilu paling lama 7 hari kerja,” jelas Azhar yang akrab disapa Aldo ini.

Dijelaskan Aldo, kasus money politik paling gampang dibuktikan jika terjadi kaus tangkap tangan. Kasus money politik yang diatur undang-undang sebelumnya yang menerima dan memberi itu yang menjadi tersangka dan itu permasalahannya, akhirnya saksi tidak bersedia memberi keterangan karena takut jadi tersanga.

Hal ini juga diakui oleh anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo yang mengatakan, celah terdapat karena UU Pemilu hanya mengatur larangan politik uang terbatas waktu dan objek.  Aturan itu memungkinkan orang melakukan praktik politik uang selama mereka bukan bagian dari tim kampanye, peserta pemilu, atau pelaksana pemilu.

“Dalam UU 7/2017sanksi politik uang bisa dilakukan ke siapa saja tapi hanya dalam masa pemungutan dan penghitungan suara. Tapi dalam masa kampanye, selama politik uang tidak dilakukan peserta pemilu, tim kampanye, pelaksana kampanye masa unsur subjeknya tidak terpenuhi,” kata Ratna dilansir Tirto.id.

Soal politik uang di UU Pemilu terbagi ke sejumlah pasal. Beberapa pasal itu diantaranya Pasal 278, 280, 284, 515, dan 523. Aturan-aturan itu melarang politik uang dilakukan tim kampanye, peserta pemilu serta penyelenggara selama masa kampanye. Beleid yang sama juga mengatur larangan semua orang melakukan politik uang di masa tenang dan pemungutan suara.

Sanksi yang menunggu pelanggar bervariatif. Hukuman mulai dari sanksi pidana 3-4 tahun hingga denda Rp 36-48 juta. “Nah di situ memang sebenarnya jadi celah, tapi kami berharap ini tak dimanfaatkan untuk melakukan proses pemilu yang tidak jujur. Apapun itu kami terus maksimalkan fungsi-fungsi pengawasan,” katanya.

Candu Politik Uang

Pada Mei 2018, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte menyampaikan survei pra Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018. Salah satu yang diungkapkan Phillips ialah soal kecenderungan masyarakat untuk tidak menolak politik uang.

Survei CSIS di Jawa Barat mengatakan 40,5 persen responden menyatakan akan menerima uang/barang yang ditawarkan tim sukses kandidat yang akan dipilih. Sikap serupa juga dikatakan 48,7 persen responden CSIS di Jawa Tengah, 40,5 persen responden di Sumatera Utara, dan 43,9 persen responden di Sulawesi Selatan.

SUSAHNYA MENANGKAP ‘HANTU’ POLITIK UANG

Politik uang dalam pemilu nyata adanya. Namun seperti hantu, ia sulit dibuktikan keberadaannya jika tak tertangkap tangan. Beberapa hal menjadi kendala, termasuk aturan main yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 2017.

Celah Pelindakan :
1. UU Pemilu hanya mengatur larangan politik uang terbatas waktu dan objek.  Aturan itu memungkinkan orang melakukan praktik politik uang selama mereka bukan bagian dari tim kampanye, peserta pemilu, atau pelaksana pemilu.
2. Sanksi politik uang bisa dilakukan ke siapa saja tapi hanya dalam masa pemungutan dan penghitungan suara. Tapi dalam masa kampanye, selama politik uang tidak dilakukan peserta pemilu, tim kampanye, pelaksana kampanye masa unsur subjeknya tidak terpenuhi.
Pasal tentang Politik Uang :
Pasal 278, Pasal 280, Pasal 284, Pasal 515, dan Pasal 523.
Sanksi Penindakan :
Sanksi yang menunggu pelanggar bervariatif. Hukuman mulai dari sanksi pidana 3-4 tahun hingga denda Rp 36-48 juta.

Luky Djani menuliskan dalam Politik Uang dalam Demokrasi Elektoral Indonesia yang dimuat dalam buku Merancang Arah Baru Demokrasi (2014) bahwa politik uang diasumsikan terjadi karena pemilih, utamanya yang berasal dari kelas ekonomi bawah, mengalami kesulitan ekonomi sehingga mudah menerima uang atau barang yang ditawarkan politikus.

Namun, riset yang dilakukan Luky bersama Phillips J. Vermonte mengenai perilaku pemilih pada Pemilu 2014 di lima daerah (Aceh, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur) menggambarkan politik uang terjadi tidak sesederhana itu.

Selain faktor ekonomi pemilih, ada juga faktor ketergantungan struktural pemilih terhadap patron. Sejumlah pemilih yang bekerja di perkebunan atau pertambangan di Kalimantan Timur (Kaltim) atau yang berasal dari “kasta” bawah di Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak leluasa memilih kandidat yang tidak didukung patronnya.

Pun, ketika para pemilih cenderung leluasa, mereka menerima uang atau barang dengan dan memilih kandidat dengan mempertimbangkan momen pemberian uang/barang tersebut. Di Aceh dan NTT, pemberi pertamalah yang akan dipilih, sementara di Sulawesi Selatan (Sulsel), pemberi terakhir yang akan dipilih. Sedangkan di Kaltim dan Jatim, yang dipilih adalah kandidat yang memberi uang/barang paling banyak.

Broker suara atau tim sukses pun berperan untuk menyalurkan uang/barang si kandidat. Ini terjadi karena kandidat tidak mampu bekerja sendiri mengingat luasnya daerah pemilihan (dapil) yang mesti dijangkau. Kandidat pun cenderung menggunakan broker agar tidak ditangkap basah sedang berpolitik uang.

Perantara mana yang dipilih kandidat di Indonesia, menurut Luky, akan bergantung pada komposisi masyarakat di dapil. Studi di Taiwan dan Filipina menunjukkan hanya broker berstatus sosial tertentu yang diterima pemilih. Sedangkan di Indonesia, utamanya di wilayah yang komposisi etnisnya beragam, para kandidat mendekati kelompok-kelompok berdasarkan etnis sebagai perantara dan mobilisator dukungan pemilih dari etnis tertentu. Di sinilah faktor asal daerah, latar belakang etnis, dan hubungan kekerabatan berperan dalam politik uang.

Yang jelas, jual-beli suara antara politikus, broker suara, dan pemilih dilaksanakan tanpa kontrak tertulis. Adanya kontrak tertulis rentan digunakan sebagai bukti si kandidat melakukan tindak politik uang.

Mengapa Ada Politik Uang?

Politik uang sejatinya tidak hanya terjadi di Indonesia. Para peneliti pun berbondong-bondong menelaahnya lebih dalam. Pandangan para peneliti tersebut, secara umum, terbagi menjadi dua mazhab.

Mazhab pertama, model core-voters, mengatakan bahwa partai politik (parpol) atau politikus memberikan sejumlah uang atau barang kepada para pemilih pasif mereka. Para pemilih tersebut sebenarnya akan memilih kandidat, tetapi tidak semua dari mereka mau hadir dan memberikan suara di TPS. Toh, mereka tidak wajib memberikan suaranya di Pemilu. Politikus memberi uang kepada mereka supaya mereka mau hadir ke TPS dan memilihnya.

Sebaliknya, mazhab kedua, model swing-voters, mengatakan bahwa parpol atau politikus mendistribusikan sejumlah uang atau barang kepada swing voters, orang-orang yang berpindah pilihan parpol atau kandidat dari satu Pemilu ke Pemilu berikutnya, alih-alih kepada pemilih pasif.

Meskipun ada perdebatan cara pandang, dua mazhab tersebut, menurut peneliti politik Burhanuddin Muhtadi, sama-sama didasarkan pada kedekatan ideologis pemilih dengan kandidatnya. Selain itu, dua model tersebut juga mengasumsikan bahwa pelaku politik uang adalah parpol.

Dalam disertasi berjudul Buying Votes in Indonesia: Partisans, Personal Networks, and Winning Margins (2014), Burhanuddin menyimpulkan bahwa politik uang di Indonesia dilakukan kandidat secara individu, bukan parpol.

Sistem proporsional terbuka yang diterapkan dalam Pemilu legislatif (Pileg) mengharuskan seorang kandidat calon anggota legislatif (caleg) berkompetisi tidak hanya dengan caleg dari parpol lain tetapi juga caleg dari parpol sendiri. Kompetisi yang intens di antara banyaknya kandidat juga berarti bahwa mereka hanya memerlukan sedikit suara agar bisa menjadi anggota legislatif.

“Kehendak untuk mengalahkan pesaing dari parpol sendiri membuat para kandidat menghindari risiko saat memilih target calon pemilih yang akan beri (uang/jasa). Hasilnya, sebagian besar politikus dan tim sukses mengatakan mereka lebih menarget pemilih yang partisan atau pemilih loyal,” ujar Burhanuddin.

Namun, yang ditemukan Burhanuddin justru sebaliknya. Alih-alih menarget pemilih loyal, politik uang malah banyak didapat pada undecided voters. Menurut Burhanuddin, temuan ini juga terkait tingkat kedekatan masyarakat yang rendah di Indonesia. “Hanya 15 persen orang Indonesia merasa dekat dengan parpol,” sebut Burhanuddin.

“Dengan demikian, temuan saya menunjukkan bahwa meskipun politisi cenderung menargetkan konstituen yang mereka anggap benar-benar loyal, kebanyakan tim sukses akhirnya mendistribusikan (uang/jasa) kepada pemilih yang menerima manfaat tetapi tidak membalas dengan suara,” ujarnya.(rendy/berbagai sumber)

Reporter : Rendy/berbagai sumber
Editor : CHell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->