Connect with us

NASIONAL

FPI, Kiprah di Panggung Pergerakan Sebelum Dibubarkan Pemerintah (2-Habis)


Dari Razia Diskotek hingga Inisiasi Aksi Fenomenal 212


Diterbitkan

pada

Pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD resmi membubarkan FPI Foto: suara

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU– FPI adalah salah satu organisasi muslim yang hadir dengan memanfaatkan ruang gerak politik yang lebih luas setelah keruntuhan rezim Orde Baru Soeharto. Secara umum, setelah Reformasi 1998, Indonesia diwarnai maraknya perkembangan berbagai partai, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa, dan lain sebagainya.

Riset yang dilakukan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) menyebutkan FPI juga turut aktif terlibat dalam penggalangan Pam Swakarsa menjelang Sidang Istimewa 10-13 November 1998 yang melantik B.J Habibie sebagai presiden; mengamankan Sidang Umum MPR pada Oktober 1999; serta membantu aparat membendung demonstrasi mahasiswa yang menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya. Saat itu, FPI masih bernaung dalam Pam Swakarsa, sebuah organ paramiliter yang dibentuk militer untuk membendung aksi demonstrasi mahasiswa.

Momentum yang menjadi ajang unjuk kekuatan pertama FPI terjadi pada pertengahan Desember 1999. Saat itu, ribuan anggota FPI datang menggeruduk Balai Kota DKI Jakarta untuk menemui Gubernur Sutiyoso. Tuntutan mereka tegas: Sutiyoso harus menutup semua tempat “maksiat” seperti kelab malam, panti pijat, bar, dan diskotek, selama bulan puasa.

Dilansir Tirto.id, peristiwa penggerudukan FPI sukses membuat Sutiyoso meninjau ulang kebijakan jam operasi tempat-tempat “maksiat” tersebut. Dalam aksi ini, kelompok pimpinan HRS telah resmi memanggul nama FPI.

FPI kerap kali dituding sebagai kelompok yang mendapatkan perlindungan politik dari beberapa tokoh terkemuka atau bahkan dari aparat keamanan. Kecurigaan ini sering kali muncul karena FPI seakan-akan kebal dari hukum atas aksi-aksi main hakim sendiri yang pernah mereka lakukan.

Terkait hal ini, Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean dalam Politik Syari’at Islam: Dari Indonesia ke Nigeria (2004) mencatat FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekitar Soeharto, khususnya Prabowo Subianto yang merupakan menantunya sekaligus seorang perwira tinggi militer pada tahun 1998. Setelah Prabowo diberhentikan dari TNI terkait penculikan aktivis, FPI mengalihkan dukungannya kepada Jenderal Wiranto.

Dukungan FPI terhadap Wiranto terlihat dalam aksi ratusan milisi FPI ketika menyatroni kantor Komnas HAM untuk memprotes pemeriksaan terhadap Jenderal Wiranto dalam kasus Mei 1998. Sementara kedekatan dengan ABRI/TNI terlihat dalam aksi demonstrasi tandingan yang dilakukan FPI melawan mahasiswa penentang RUU Keadaan Darurat/RUU PKB yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada tanggal 24 Oktober 1999.

Beberapa tokoh yang diduga turut memberikan dukungannya terhadap FPI adalah Kapolda Metro Jaya tahun 1998-1999 Mayjen (Pol) Nugroho Djayoesman dan Pangdam Jaya (selanjutnya diangkat menjadi Pangkostrad) Mayjen TNI Djaja Suparman.

FPI juga kerap mengadakan pertemuan informal dengan para petinggi militer, seperti yang pernah dilakukan dengan Mayjen Djaja Suparman di Hotel Milenium Jakarta, menjelang pelaksanaan Sidang Umum MPR 1999. Para petinggi militer dan kepolisian, khususnya di tingkat Daerah Khusus Ibukota Jakarta, beberapa kali menghadiri apel siaga yang dilakukan FPI maupun ormas-ormas lain yang menyandang nama “PAM Swakarsa”.

Dukungan-dukungan kepada kubu-kubu tertentu yang memiliki pengaruh politik merupakan salah satu metode yang digunakan FPI untuk masuk ke dalam politik praktis. Meskipun FPI atau tokoh-tokohnya tidak terjun langsung menjadi politikus, namun kedekatan dengan aktor-aktor politik sangat berguna khususnya untuk melindungi sepak-terjang FPI.

Dalam peristiwa ini, FPI bergabung dengan ormas-ormas Islam seperti KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam), Gerakan Pemuda Kabah (GPK), Gerakan Pemuda Islam (GPI) dan lain sebagainya untuk mendukung presiden B.J. Habibie yang dianggap memiliki kesamaan ideologis dengan mereka.

Dukungan FPI terhadap figur politik nasional juga ditunjukkan saat pemilu 2004. Saat itu FPI kembali mendukung Wiranto sebagai calon presiden bahkan mengirimkan dai-dai ke daerah-daerah untuk mendiskreditkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pesaing terberat Wiranto.

Wiranto kala itu memang tak berhasil menang melawan Yudhoyono, tapi FPI sendiri terus berkembang. Mereka mampu menjadi amplifier isu sekaligus mengerahkan massa. Termasuk menginisiasi sejumlah aksi besar seperti 212. (Kanalkalimantan.com/tirto)

 

Reporter : Tirto
Editor : Cell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->