Connect with us

Historia

20 Tahun Reformasi, Cita-cita dan Nasib Pergerakan Usai Tumbangnya Soeharto

Diterbitkan

pada


SEJUMLAH demonstrasi mahasiswa menolak kepemimpinan Presiden Soeharto yang semakin besar pada 1998 memang menjadi penanda dimulainya gerakan reformasi pada 20 tahun silam. Gerakan ini sendiri semakin berani saat mahasiswa menolak terpilihnya Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.

Kondisi ekonomi yang memburuk membuat mahasiswa mulai berdemonstrasi di luar kampus. Namun, demonstrasi mahasiswa kemudian berubah menjadi tragedi pada 12 Mei 1998. Saat itu, aparat keamanan bertindak represif dalam menangani demonstrasi mahasiswa di kampus Universitas Trisakti. Penembakan dan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan mengakibatkan empat mahasiswa Trisakti tewas. Selain itu, 681 orang juga menjadi korban luka dalam Tragedi Trisakti.

Tidak hanya itu, kerusuhan bernuansa rasial yang terjadi setelah Tragedi Trisakti, pada 13-15 Mei 1998, seakan berusaha mengalihkan perhatian mahasiswa dalam berjuang menuntut mundurnya Soeharto sebagai penguasa Orde Baru. Namun, gerakan mahasiswa tidak terhenti dengan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan dalam Tragedi Trisakti atau kerusuhan 13-15 Mei 1998. Dilansir dari buku Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, Kisah yang Tak Terungkap (2016), berbagai elemen aksi mahasiswa kemudian menyatukan gerakan.

Dua kelompok mahasiswa Universitas Indonesia misalnya, Senat Mahasiswa UI dan Keluarga Besar UI, sepakat untuk bergerak bersama. Pada 18 Mei 1998, para mahasiswa UI ini memutuskan bergerak menuju DPR untuk melebur dengan kelompok mahasiswa lain yang sejak pagi mengepung gedung DPR/MPR.

Sejumlah tokoh yang tergabung dalam Gerakan Reformasi Nasional juga mendatangi kompleks parlemen. Dilansir dari arsip Harian Kompas, tokoh yang datang antara lain Subroto, YB Mangunwijaya, Ali Sadikin, Solichin GP, Rendra, dan Sri Edi Swasono. Tidak hanya itu, para tokoh itu bahkan sempat berorasi di dalam gedung DPR. Salah satunya adalah Dimyati Hartono, yang menuntut reformasi bidang politik, ekonomi, dan hukum; serta tuntutan mundurnya Soeharto-Habibie.

Di tengah audiensi, perwakilan FKSMJ masuk. Mereka memanfaatkan audiensi itu untuk menuntut dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR. Selain perwakilan UI dan FKSMJ, gedung DPR/MPR saat itu sebenarnya juga sudah didatangi perwakilan Institut Pertanian Bogor yang dipimpin Rektor IPB Soleh Salahuddin. Mereka menemui Fraksi Karya Pembangunan (Golkar) dan Fraksi Persatuan Pembangunan. Tuntutannya pun sama, reformasi di segala bidang. Dalam waktu yang bersamaan, Ketua PP Muhammadiyah Amien Rais juga sedang mengadakan pertemuan dengan Komisi II DPR. Dalam pertemuan, Amien Rais menyatakan bahwa Sultan Hamengkubuwono X siap memimpin long march pada 20 Mei 1998 di Yogyakarta untuk menuntut digelarnya Sidang Umum Istimewa MPR dengan agenda penggantian kepemimpinan nasional.  Semakin besarnya tuntutan di gedung DPR/MPR pada hari itu membuat Soeharto dan Orde Baru semakin terdesak.

Sekitar 15.20 WIB, mahasiswa dan aktivis yang ada di dalam gedung DPR/MPR pun mendapat kejutan besar. Saat itu, pimpinan DPR/MPR yang diwakili Harmoko membuat konferensi pers menyikapi tuntutan reformasi. Bagai petir di siang bolong, saat itu pimpinan DPR/MPR yang diwakili Harmoko meminta Soeharto untuk mundur. Pimpinan DPR yang terdiri dari Ketua Harmoko, Wakil Ketua Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur dan Fatimah Achmad (tidak nampak) di Gedung DPR, Senin (18/5/1998), membuat pernyataan mengimbau Presiden Soeharto mengundurkan diri.

“Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko.

Akan tetapi, pernyataan pimpinan DPR itu disanggah Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Pernyataan pimpinan DPR dinilai Wiranto sebagai pendapat pribadi. Pernyataan pimpinan DPR itu juga dianggap tidak mewakili suara fraksi-fraksi yang ada di DPR/MPR.

Meski Harmoko membuat pernyataan mengejutkan, para mahasiswa tetap tidak beranjak meninggalkan gedung DPR/MPR. Mereka tidak percaya begitu saja pernyataan Harmoko dan tetap akan menuntut pelaksanaan Sidang Istimewa untuk mengganti Soeharto. Aksi memang terus berlanjut.

Sebab, pada esok harinya, 19 Mei 1998, jumlah mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR semakin banyak. Ini menyebabkan Soeharto semakin terdesak. Dinamika politik yang ada saat itu pun tidak menguntungkan “Jenderal yang Tersenyum” itu. Hingga kemudian, Soeharto mundur pada 21 Mei 1998. Agenda pertama reformasi, yaitu mundurnya Soeharto, menuai hasil.

HARI-HARI TERAKHIR JATUHNYA SOEHARTO
18 Mei : Gedung DPR/MPR diduduki mahasiswa. Ketua DPR Harmoko ketika itu meminta Presiden Soeharto mundur.
19 Mei : Soeharto berjanji mengadakan pemilu secepatnya dan tidak akan mencalonkan lagi.
20 Mei : Muncul isi akan ada pawau aksi mahasiswa dari Gedung DPR/MPR ke Monas untuk memperingati Kebangkitan Nasional.
21 Mei : Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden. BJ Habibie naik menjadi Presiden RI ke-3.
22 Mei : Mahasiswa berangsur meninggalkan gedung DPR/MPR. Sementara isu akan adanya kudeta militer berembus.
23 Mei : Kabinet Reformasi Pembangunan dilantil oleh Presiden Habibie

Nasib Gerakan Mahasiswa

Gerakan mahasiswa pernah mengukir sejarah dengan mengawal rezim-rezim yang dianggap tidak berpihak terhadap rakyat. Namun saat ini mereka yang disebut sebagai agen perubahan mulai kehilangan arah tujuannya.

Mantan aktivis pergerakan 98, Fahrianoor mengatakan, pasca reformasi dia melihat perubahan pergerakan mahasiswa yang semakin tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya.”Meskipun tak ditampik, masih ada pergerakan-pergerakan mahasiswa yang masih berjuang pada jalurnya.

Namun, yang terjadi saat ini  pergerakan mahasiswa seakan kehilangan isu serta momentum.  “Akhirnya, mereka dengan mudah terbawa arus dan digiring oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kepentingan,” katanya.  Banyak hal menjadi sebab, selain kebijakan kampus maupun pengaruh budaya saat ini. Dimana mahasiswa sekarang lebih cenderung individualistik dan pragmatis.

Hal sama disampikan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNISKA Banjarmasin, M Agus Humaidi. Menurutnya, menuturkan semangat gerakan mahasiswa makin memudar di tengah padatnya jadwal kuliah dan rutinitas kampus.

Ia berasumsi ada beberapa faktor yang memicu pudarnya pergerakan mahasiswa era milenial, yaitu beban mata kuliah semakin banyak, tuntutan orang tua agar dapat IPK tinggi, cepat lulus, dan berkurangnya budaya diskusi. ”Itu yang menjadi faktor utama merosotnya pergerakan mahasiswa,“ ujarnya.

Agus menilai pola-pola semacam ini bentuk intervensi pemerintah untuk melemahkan pergerakan mahasiswa di Indonesia. Satu dekade lalu, kata Agus, kurikulum strata-1 sekitar 140 SKS. Tapi kini, pemerintah menetapkan 155 SKS untuk meraih titel S1.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat, Muhammad Aldi Fachrisaldi Putera, mengatakan pergerakan mahasiswa 1998 sebagai bentuk kesadaran intelektual dan sosial di tengah tekanan rezim otoriter Presiden Soeharto.

Setelah itu, kata dia, pergerakan mahasiswa cenderung muncul dan berkembang sesuai pola demokratisasi yang sudah berhasil diwujudkan. Namun, Aldi mengakui ada dilematis pergerakan mahasiswa karena berada di titik jenuh. ”Sekurang-kurangnya ada empat alasan yang mendukung pernyataan demikian,” kata Aldi.

Pertama, kata Aldi, melihat ada kebebasan berpendapat dan berekspresi untuk seluruh warga negara yang seluasnya-luasanya, namun tetap terkontrol. Aparat tetap bisa bertindak represif kepada mahasiswa yang melenceng dalam mekanisme penyampaian aspirasi.

Kedua, liberalisasi pendidikan membuat anggaran pendidikan melambung tinggi, sehingga mahasiswa menuju dilematis baru. Tingginya biaya kuliah ditambah naiknya beban SKS, menuntut mahasiswa lebih berorientasi ke parameter nilai akademis dan ingin cepat lulus. “Cukup jadi cobaan berat bagi para aktivis dan mahasiswa untuk kemudian memilih lebih terjun ke akademik,” katanya.

Persoalan ketiga, akses informasi yang sangat cepat lewat media sosial turut mereduksi kekritisan penyampaian pendapat mahasiswa. Semua warga bisa meluapkan keluh-kesah lewat linimassa media sosial. “Siapapun dan dimanapun, semua orang bisa berpendapat sehingga mahasiswa tidak lagi penyalur aspirasi dan rakyat untuk pemerintah,” katanya.

Dan keempat, mahasiswa seolah terlena pada sebuah organisasi yang berafiliasi ke haluan politik dan kental terhadap kepentingan penguasa. Aldi berkata, mahasiswa sebagai agen perubahan mestinya memegang teguh semangat representasi dan lidah penyambung suara rakyat. Mahasiswa era kekinian mesti kembali ke khitah dan menjaga marwah pergerakan mahasiswa.

“Mahasiswa mesti mengevaluasi pola gerakan, apakah sudah bermanfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia. Sebabsejarah reformasi sebagai cerminan fundamentalis mengembalikan semangat gerakan mahasiwa kekinian yang berkelanjutan,” harapnya.(ammar/kum/pro/berbagai sumber)

Reporter : ammar/kum/pro/berbagai sumber
Editor : Chell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->