Connect with us

Kota Banjarmasin

Terganjal Aturan, Dinkes Banjarmasin Ambil Alih Pembangunan Incinerator

Diterbitkan

pada

Dinkes Banjarmasin telah mengusulkan anggaran Rp 5 miliar untuk pembangunan incinerator Foto: net

BANJARMASIN, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banjarmasin Mukhyar mengatakan instansinya tidak menganggarkan untuk pembangunan incinerator atau tempat pemusnahan sampah medis yang rencananya dibangun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Basirih.

Mukhyar mengatakan, tidak menganggarkan pembangunan incinerator tersebut di TPA yang merupakan pengelolaan instansinya, karena terganjal aturan. “Karena incinerator itu bagian dari rumah sakit. Artinya RS Sultan Suriansyah nantinya yang membangun itu, bukan instansi kita,” terang Mukhyar.

Dikatakannya, soal tempat akan dibangunnya di mana, pihaknya pun tidak berhak menentukan, namun di TPA Basirih memang sudah disiapkan lahan. “Di TPA Basirih ada lahan beberapa hektare, bisa dibangun di sana, tapi kita liat nanti di mana boleh sesuai ketentuannya,” terangnya.

Awalnya DLH yang berencana membangun tempat pemusnahan sampah medis itu pada 2019. Mengingat potensi mendapat Pendapatan Asli Daerah (PAD) cukup besar, sebab banyak RS tidak hanya RS milik Pemkot nantinya yang menggunakannya.

Sebelumnya diperkirakan biaya pembangunan incinerator ini menghabiskan anggaran Rp 5 miliar. “Memang cukup besar biayanya, namun sangat besar pula manfaatnya, sehingga tidak ada lagi sampah medis yang dibuang sembarangan ke TPA,” ujarnya.

Sementara itu, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin Lukman Hakim mengatakan, pihaknya mengambil alih rencana pembangunan incinerator tersebut. Bahkan, lanjut dia, pihaknya sudah mengajukan anggaran Rp 5 miliar pada APBD murni 2019 untuk kegiatannya. “Saat ini sedang dalam pembahasan dengan dewan, moga didukung. Soal tempatnya kita kaji lebih lanjut,” demikian kata Lukman.

Limbah medis dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Kalsel bisa menjadi ancaman serius jika tak segara ditangani pemerintah. Mengingat, saat ini jumlah rumah sakit yang memiliki incinerator cukup terbatas. Di Kalsel, tercatat baru ada 4 rumah sakit yang memiliki incinerator sendiri. Salah satunya adalah RSUD Ulin, yang sejak beberapa waktu lalu memutuskan untuk tak menerima limbah medis dan limbah B3 dari fasilitas kesehatan, saat ini rumah sakit, klinik hingga puskesmas.

Imbasnya, tentu saja ditengarai terjadinya penimbunan limbah medis dan B3. Apalagi, saat ini jasa transportir limbah medis juga sangat sedikit. Disamping juga mahal harganya. Bayangkan saja, untuk jasa pembuangan jasa limbah medis melalui jasa transportir memerlukan biaya sebesar Rp 30-45 ribu per kilo. Angka tersebut lebih mahal daripada jasa yang diterima RSUD Ulin atas pemusnahan limbah medis yang hanya sebesar Rp 25.000 per kilo.

Tak hanya itu, keterlambatan pengangkutan limbah medis dan limbah B3 juga menjadi salah satu masalah tersendiri.

Anggota pengembangan SDM Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) Kalsel, Rachmad Arifuddin mengatakan, keterlambatan pengangkutan limbah medis juga disebabkan masih terbatasnya jumlah armada transportir. “Jumlahnya masih sedikit. Ditambah lagi rumah sakit klinik hingga Puskesmas juga terkendala biaya yang lebih mahal dibandingkan menitip dengan rumah sakit yang punya insinerator,” ungkapnya.


Laman: 1 2

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->