Connect with us

HEADLINE

Sekolah Tanpa PR, Kenapa Tidak? Disdik Banjar Siap Dukung Wacana Mendikbud!

Diterbitkan

pada

Beban PR yang terlalu banyak bisa menyebabkan siswa stres dan kehilangan waktu sosialisasi. Foto : net/rendy

MARTAPURA, Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Banjar dukung wacana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) agar siswa bisa dibebaskan dari Pekerjaan Rumah (PR). Guru diminta menuntaskan pelajarannya di sekolah tanpa membebani siswanya lagi di rumah.

Beberapa waktu lalu, Mendikbud Muhadjir Effendy meminta seluruh guru di Indonesia untuk tidak lagi memberikan PR pada siswa. “PR itu sejatinya memang jangan dibebankan lagi ke siswa. Jadi sekolah-sekolah mengembangkan cara-cara belajar yang tuntas,” ujar Muhadjir.

Dia menyebutkan PR yang dianjurkan Presiden semisal di rumah siswa harus membantu orang tua, menjenguk temannya yang sakit. Jadi PR jangan dikaitkan dengan mata pelajaran, sebaiknya dituntaskan di sekolah. Kalau terpaksa (kasih PR), lanjutnya, harus diracik menunya agar sesuai dengan anak. Yang tujuannya untuk pengayaan maupun untuk penguatan atau pengulangan.

“Jadi PR itu ada tiga fungsi yaitu pengayaan, penguatan, dan pengulangan. Terutama untuk hal-hal yang sifatnya praktis itu memang dibutuhkan, kalau di sekolah tidak cukup ya dilanjutkan di rumah,” ucapnya.

Terkait hal tersebut Kadisdik Banjar Gusti Ruspan Noor mengatakan, jika pembelajaran di sekolah maksimal tidak ada PR juga tidak masalah. Pandangan guru atas pembelajaran yang kurang maksimal itulah kadang perlunya guru memberikan PR kepada siswa.

“Kalau di negara maju memang banyak sekolah yang tidak memberikan PR sebagai tugas tambahan di rumah. Namun syaratnya pembelajaran di sekolah harus sudah maksimal, ya tergantung pada pandangan guru masing-masing, jika itu dipandang perlu ya silahkan,”ujarnya.

Ruspan juga menjelaskan jika memang ada kebijakan itu dan harus diterapkan ya mau tidak mau diharus, dicontohkannya pembelajaran yang efektif itu jika anak senang walau sambil bermain pembelajaran tetap masuk itu yang diharapkanya.

Disinggungnya juga pembelajaran dari orang tua di rumah juga berperan penting untuk mendidik anaknya. “Pendidikan kepada orang tua juga sudah kita mulai, sehingga orang tua terlibat dalam hal Pendidikan kepada anaknya,” bebernya.

Sementara anggota Dewan DPRD Banjar  terkait hal tersebut dibidangnya yang membawahi Pendidikan Kabupaten Banjar Wakil Ketua Komisi IV DPRD Banjar Khairuddin kepada Kanal Kalimantan mengatakan sangat mendukung atas wacana tidak diwajibkan PR tersebut.

“Kita sangat mendukung jika ada wacana seperti itu, karena anak-anak itu hanya butuh waktu 8 jam untuk belajar dan sisanya bermain. Belajar sedikit tidak apa, karena daya tangkap anak itu jika terlalu dibebani maka ketika ke jenjang yang lebih tinggi lagi mereka dikhawatirkan akan terjadi stres,” ujarnya. (Lihat Grafis: Mengganti PR dengan Kegiatan Sosial)

Mengganti PR dengan Kegiatan Sosial

Presiden Jokowi sebelumnya menyampaikan usulan agar kurikulim pendidikan juga memasukkan kegiatan sosial sebagai bentuk pekerjaan rumah (PR) bagi siswa.

Bentuknya :
1)      Menengok tetangga atau teman yang sakit
2)      Memberi makan warga miskin
3)      Mengikuti kerja bakti di daerah masing-masing
4)      dll
Tujuan :
1)      Menumbuhkan sikap tenggang rasa
2)      Memupuk kerukunan di masyarakat
3)      Pengembangan Karakter
Riset Qualicare Ottawa :
Aktivitas sosial akan membantu anak untuk :
1)      Berinteraksi dengan orang lain
2)      Membangun persahabatan
Daftar Panjang Kurikulum Pendidikan
1)      Kurikulum 1947
2)      Kurikulum 1952
3)      Kurikulum 1964
4)      Kurikulum 1968
5)      Kurikulum 1975
6)      Kurikulum 1984
7)      Kurikulum 1994
8)      Kurikulum 2004 Berbasis Kompetensi
9)      Kurikulum 2006 Tingkat Satuan Pendidikan
10)  Kurikulum 2013

Sahutnya Khairuddin sebenarnya seharusnya dari tahun ini diwajibkan tidak ada PR yang diberikan kepada anak-anak terlebih sekolah-sekolah SD mengingat anak di usia itu masih masa-masanya bermain. “Anak-anak di masa sekolah SD jangan dihancurkan dengan terlalu banyak pelajaran nanti masa bermainnya hilang, anak-anak diusia itu adalah masa kecerdasan anak,” ujarnya.

Terkait nantinya jika ada pro dan kontra yang terjadi dimasyarakat wakil anggota komisi IV itu mengatakan ya harus dijalani saja mengingat sebelumnya sedari sekolah PAUD sudah dilakukan sosialisasi secara penuh terhadap orangtua muridnya.

“Kita tunjukan hasilnya antara anak yang banyak PR dan sedikit PR, perbandingan kecerdasannya nanti disaat anak  usai kelas 1 SMP nanti pasti perbedaan tingkat sertres pembelajarannya pasti kelihatan,” pungkasnya.

Kebijakan tanpa PR ini sebenarnya bukan hal yang baru. Sebab di Purwakarta, para guru sudah dilarang memberi PR akademis kepada siswa. Hal ini sudah menjadi kebijakan di zaman bupati Dedi Mulyadi. Menurut Dedi, semua urusan akademis lebih baik diselesaikan di sekolah.

“Pekerjaan rumah seharusnya yang bersifat aplikatif yaitu apa yang dipelajari di sekolah kemudian diterapkan di rumah. Sistem seperti itu dinilai akan mendorong siswa untuk lebih kreatif.  Jadi setiap siswa bisa saja mendapatkan PR berbeda-beda sesuai dengan minatnya masing-masing,” katanya kepada Antaranews.com.

Riset Tentang Efek PR

Para peneliti dari Duke University telah meninjau lebih dari 60 penelitian tentang PR dari 1987 hingga 2003, menyimpulkan bahwa PR dari para guru yang bersifat akademis tak memiliki dampak positif pada prestasi belajar seorang siswa.

Profesor dari Duke University, Harris Cooper, mengungkapkan bahwa PR dapat mendorong perkembangan pendidikan pelajar, tapi di sisi lain PR terkadang diberikan dengan jumlah yang banyak. Jumlah pekerjaan rumah yang banyak dapat menjadi kontra produktif bagi siswa.  “Bahkan untuk siswa sekolah menengah atas, dengan beban pekerjaan rumah tidak memiliki kaitan dengan nilai yang tinggi,” kata Cooper dilansir Tirto.

Penelitian lain oleh Denise Pope, dosen di Stanford Graduate School of Education, AS, menemukan tiga dampak bagi siswa sekolah yang mendapatkan PR dalam jumlah yang banyak. Pertama, akan menimbulkan stres. 56 persen pelajar mengungkapkan bahwa pekerjaan rumah menjadi sumber utama stres.

Kedua, mengganggu kesehatan. Banyak PR memaksa siswa untuk mengambil sebagian waktu untuk tidur guna menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut. Para pelajar pun mengaku kurang tidur yang kemudian dapat berdampak pada kesehatan mereka. Ketiga, banyaknya PR akan membuat pelajar memiliki waktu yang sangat sedikit untuk berkumpul bersama keluarga, teman atau mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Hal ini kemudian akan membuat mereka enggan melakukan hal yang mereka sukai atau hobi.

Ada juga ahli yang ingin agar pekerjaan rumah sebaiknya ditiadakan. Etta Kralovec dan John Buell, penulis The of Homework: How Homework Disrupts Families, Overburdens Childres, and Limits Learning, mengungkapkan pekerjaan rumah merupakan bentuk gangguan pada kehidupan keluarga karena akan menyedot waktu yang seharusnya digunakan untuk berkumpul bersama keluarga atau kegiatan sosial.

Pada dasarnya pemberian PR kepada siswa oleh guru tujuannya agar para pelajar lebih memahami materi yang telah disampaikan di sekolah. Juga agar dapat belajar membagi waktu antara belajar, mengerjakan tugas hingga berkumpul bersama keluarga. Namun jika pada akhirnya PR dianggap membebani siswa, memberi dampak negatif hingga mengganggu kesehatan, tentu ada yang perlu dievaluasi dari sistem PR di sekolah-sekolah. Qualicare Ottawa menyebutkan bahwa hal itu akan mendorong proses belajar mereka dalam hal berinteraksi dengan orang lain. Mereka juga akan belajar membangun hubungan pertemanan dengan anak-anak lainnya. (rendy)

Reporter : Rendy
Editor : Chell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->