Connect with us

NASIONAL

Intoleransi dan Kegamangan Negara Menemukan ‘Formula’ Membendungnya!

Diterbitkan

pada

Intoleransi masih menjadi problem besar yang dihadapi, foto : Net

BANJARBARU, Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin mengatakan intoleransi menjadi salah satu tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Hal tersebut disampaikan saat menghadiri puncak peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) di halaman Kantor Pemprov Kalsel, Jumat (20/12). Lalu, seberapa serius masalah ini?

Beberapa waktu lalu, Imparsial mencatat ada 31 kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia sejak November 2018 hingga November 2019. Mayoritas kasus intoleransi tersebut yakni pelarangan ibadah.

Koordinator Program Penelitian Imparsial Ardimanto Adiputra mengatakan, 31 kasus tersebut meliputi pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama atau intoleransi di Indonesia. “Bentuk beragam yang paling banyak dan dominan adalah pelarangan atau pembubaran ritual pengajian ceramah atau pelaksanaan ibadah agama atau kepercayaan, ada 12 kasus,” katanya.

Disusul kemudian 11 kasus pelarangan beribadah. Dan kasus ketiga terbanyak terkait perusakan rumah ibadah dan dua kasus pelarangan kebudayaan etnis tertentu. Kasus lainnya, terkait aturan tata cara berpakaian keagamaan, imbauan mewaspadai aliran tertentu, hingga penolakan bertetangga dengan agama lain.

Ardimanto menyebut pelaku intoleran paling banyak didominasi oleh kelompok masyarakat. Mereka menggerakkan masyarakat sekitar untuk melakukan tindakan intoleransi. “Nah melihat dari ke-31 kasus ini memang pelaku dominan dari pelanggaran kebebasan beragama didominasi kelompok masyarakat sipil yang mereka mengorganisir masyarakat sekitar,” ucapnya.

Selain itu, kata Ardimanto, pelaku lainnya ialah aparat penegak hukum dan pemerintah. “Aparat negara masih sumbang sebagai pelaku pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di mana seharusnya mereka pihak yang melindungi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengungkap intoleransi yang terus berulang lantaran peraturan yang membatasi kebebasan beragama dan hukum yang belum tegas. Karena itu, dia mendorong pemerintah untuk mencabut beberapa peraturan dan mempertegas hukum terhadap pelaku intoleran.

“Pemerintah segera mencabut atau merevisi peraturan perundang-undangan dan kebijakan baik di tingkat nasional dan lokal yang membatasi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan mendorong penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap para pelaku intoleran,” ucap Gufron.

Sementara pengamat terorisme, Al Chaidar mengatakan, intoleransi dan terorisme terjadi karena dipengaruhi wacana keagamaan atau ideologi yang berlebihan. Dia menyebut hal itu terjadi di semua agama dan penganut ideologi. “Hal itu disebabkan pemahaman keagamaan yang ekstrem, berlebihan. Dan itu tidak hanya terjadi pada penganut agama Islam tapi juga penganut agama lain bahkan ada juga penganut sekularisme dan kapitalisme, dan liberalisme, dan ateisme. Karena mereka sudah bersifat fanatik, merasa diri paling benar. Sehingga intoleran dan teroris,” jelasnya.

Untuk menangani hal tersebut, Al Chaidar mengatakan pemerintah mesti membuat program kontrawacana intoleransi dan terorisme. Dia meminta pemerintah membuat penelitian soal wacana yang diperbincangkan sehingga memicu masyarakat menjadi intoleran dan menjadi teroris.

“Pemerintah harus survei dan pemetaan yang jelas terhadap wacana apa saja yang diperbincangkan orang saat ini seperti mesianisme atau akhir jaman, tentang pasukan dajjal, tentang Imam Mahdi, tentang ramalan-ramalan yang akan terjadi. Itu kan banyak beredar dari ustaz atau pemuka agama lain yang sifatnya konfliktual. Karena hal konfliktual tersebut akhirnya memicu intoleran dan terorisme,” kata dia.

“Hal tersebut harus di-counter. Pemerintah punya banyak ilmuwan, profesor yang menguasai tema tersebut. Tema tersebut harus disebar di masyarakat agar dapat pandangan monolistik dari pelaku teroris. Seperti wacana khilafah, baiat, Imam Mahdi, jihad. Harus ada pendisiplinan penafsiran yang harus dilakukan pemerintah,” sambungnya.

Sebelumnya diberitakan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Perlindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan diterbitkan. PP yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu mengatur langkah-langkah mencegah terorisme. Salah satu isinya adalah mencegah orang dari bahaya terpapar radikalisme.

“Kontra Radikalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme,” demikian bunyi Pasal 22 ayat 1 PP Nomor 77 Tahun 2019.

Reporter : andy
Editor : Chell

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->