Connect with us

Historia

38 Tahun Pembantaian Sabra-Shatila: Bisu, Tuli, dan Buta Dunia akan Kekejaman Israel

Diterbitkan

pada

Tumpukan jenazah korban pembantaian di Sabra-Sathila. Foto: ist

KANALKALIMANTAN.COM – Bulan September menjadi kenangan tersendiri bagi rakyat Palestina kala pembantaian Sabra dan Shatila terjadi, ketika tentara Israel yang dipimpin Menteri Pertahanan Israel, Ariel Sharon, mengepung Sabra dan Shatila lalu membiarkan para milisi Maronit Libanon yang dipimpin Kaum Falangis membantai pengungsi di dalamnya.

Pembantaian tersebut berlangsung selama tiga hari (16-18 September 1982). Sekitar 3.500-8.000 orang, termasuk anak-anak, bayi, wanita, dan orangtua dibantai dan dibunuh secara keji.

Tentara Israel yang dipimpin oleh Ariel Sharon dan kepala stafnya, Rafael Etan, memastikan pasukan mereka mengepung kamp pengungsi lalu mengizinkan Kaum Falangis menyerang dan membunuh ribuan pengungsi yang tidak bersalah.

Sabra adalah sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, Libanon, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA (Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) Shatila yang dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949. Selama bertahun-tahun penduduk dari kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga biasa disebut “Kamp Sabra-Shatila”.

Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menggunakan Libanon selatan sebagai pangkalan penyerangan mereka atas Israel, sehingga tentara Israel mengklaim bahwa pembantaian itu untuk mencari 1.500 personil PLO yang menurut mereka berada di kamp Sabra-Shatila.

Padahal sesungguhnya kelompok PLO sedang berada di tempat lain, skenario pencarian anggota PLO hanyalah karangan Israel.

Kelompok PLO sedang melawan serangan Israel di area lain, sehingga sebagian besar yang berada di kamp pengungsian saat pembantaian terjadi adalah perempuan tua dan anak-anak.

Perintah Sharon kepada para milisi Falangis menekankan bahwa militer Israel berkuasa atas seluruh pasukan di daerah itu. Militer Israel telah sepenuhnya mengepung dan menyegel kamp-kamp itu dan mendirikan pos-pos pengintaian di atap gedung-gedung tinggi di sekitarnya pada 15 September.

Hari berikutnya Israel mengumumkan bahwa mereka telah mengendalikan semua posisi penting di Beirut. Militer Israel bertemu sepanjang hari dengan pucuk pimpinan Falangis untuk mengatur rincian operasi. Selama dua malam berikutnya, sejak senja hingga larut malam, militer Israel menembakkan cahaya-cahaya suar di atas kamp-kamp itu.

Pada malam 16 September, 1982, para milisi Falangis di bawah komando Elie Hobeika, memasuki kamp-kamp itu. Selama 36 hingga 48 jam berikutnya, para milisi Falangis membantai para penghuni kamp pengungsian itu, sementara militer Israel menjaga pintu-pintu keluar dan terus-menerus menembakkan suar di malam hari.

Sebuah satuan yang terdiri atas 150 milisi Falangis (termasuk sejumlah pasukan SLA, menurut Saad Haddad, seperti yang dikutip oleh Robert Fisk, dan juga sumber-sumber lainnya) dikumpulkan pada pukul empat sore.

Para milisi ini dipersenjatai dengan senapan, pisau, dan kapak dan memasuki kamp-kamp itu pada pukul 18.00.

Seorang perwira Falangis melaporkan 300 pembunuhan, termasuk korban sipil, kepada pos komando Israel pada pukul 20.00, dan lebih jauh melaporkan bahwa pembunuhan-pembunuhan ini berlanjut sepanjang malam.

Sebagian dari laporan-laporan ini diteruskan kepada pemerintah Israel di Yerusalem, dan dibaca oleh sejumlah pejabat senior Israel.

Menurut laporan Komisi Kahan (berdasarkan laporan seorang agen Mossad), Kepala Staf itu menyimpulkan bahwa kaum Falangis harus

Infografis: kanalkalimantan/andy

“melanjutkan aksi, menyapu bersih kamp-kamp yang kosong di selatan Fakahani sampai besok pukul lima pagi; pada saat itu mereka harus menghentikan aksi mereka karena adanya tekanan dari Amerika.

Ia mengklaim bahwa ia “tidak merasa bahwa sesuatu yang tidak lazim telah terjadi atau akan terjadi di kamp-kamp itu.” Pada rapat itu, ia pun setuju untuk memberikan milisi itu sebuah buldozer, yang konon dimaksudkan untuk merubuhkan bangunan-bangunan.

Pada hari Jumat, 18 September, sementara kamp-kamp itu masih disegel, beberapa pengamat independen berhasil masuk. Di antara mereka adalah seorang wartawan Norwegia, diplomat Norwegia, Ane-Karine Arvesen, yang mengamati kaum Falangis pada operasi-operasi pembersihan mereka, yang menyingkirkan mayat-mayat dari rumah-rumah yang dihancurkan di kamp Shatila.” [Harbo, 1982]

Pasukan-pasukan Falangis tidak meninggalkan kamp-kamp itu pada pukul 5.00 pagi hari Sabtu, seperti yang diperintahkan. Mereka memaksa yang masih tersisa untuk berbaris keluar dari kamp, dan secara acak membunuhi mereka, sementara yang lainnya dikirim ke stadion untuk diinterogasi.

Hal ini berlangsung sehari penuh. Milisi akhirnya meninggalkan kamp pada pukul 8.00 pagi pada 18 September.

Wartawan-wartawan asing pertama yang diizinkan masuk ke kamp pada pukul 9.00 pagi menemukan ratusan jenazah yang berserakan di seluruh kamp itu, banyak di antaranya yang terpotong-potong. Berita resmi pertama tentang pembantaian ini disiarkan sekitar tengah hari.

Jumlah korban sebenarnya diperdebatkan. Ada kesepakatan umum bahwa jumlah yang pasti sulit ditentukan, karena kondisi yang kacau pada saat dan setelah pembantaian, penguburan, dan penghitungan awal para korban. Selain itu, hal ini juga sangat sensitif secara politis bahkan hingga hari ini.

Diperkirakan bahwa sekurang-kurangnya seperempat dari para korban adalah orang Libanon dan sisanya Palestina.

Pembantaian ini membangkitkan kemarahan di seluruh dunia. Pada 16 Desember 1982, Sidang Umum PBB mengutuk pembantaian ini dan menyatakannya sebagai suatu tindakan genosida. Namun tidak ada tindakan, baik nasional maupun internasional, yang dilakukan terhadap komandan Falangis, Elie Hobeika, yang terbunuh oleh sebuah bom di Beirut pada 2002.

Setelah pembantaian tersebut, Mahkamah Agung Israel membentuk Komisi Cahan untuk menyelidiki kejahatan terhadap ribuan pengungsi tersebut. Pada tahun 1983, Komisi Cahan mengumumkan hasil “penyelidikan” pembantaian tersebut dan memutuskan bahwa Sharon “tidak langsung bertanggung jawab”.

Maka Sharon pun melanjutkan karir politiknya, menjadi Perdana Menteri Israel dan memegang berbagai posisi penting sampai ia menderita stroke pada 4 Januari 2006 lalu berada dalam keadaan koma sejak saat itu.

Pembantaian Sabra-Shatila bukanlah yang pertama atau terakhir dilakukan tentara Israel. Pasukan Zionis melakukan banyak pembantaian terhadap rakyat Palestina di tempat-tempat berbeda, di antaranya Jalur Gaza, Deir Yassin, Qibya, Tantour, Jenin, Al-Quds, Hebron, dan lainnya. Hingga kini tidak pernah ada satu pun komandan atau tentara Israel yang secara resmi bertanggung jawab atas kejahatan dan pembantaian terhadap rakyat Palestina.(kanalkalimantan/dari berbagai sumber/andy)

 

Reporter: Andy
Editor: Cell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->