Connect with us

OPINI

UU Perizinan Pertambangan Membuat Lemahnya Kontrol Daerah

Diterbitkan

pada

Annisa Tiara Anggriani, Mahasiswi Fakultas Hukum ULM. Foto: dok.pribadi

KANALKALIMANTAN.COM – Perizinan pertambangan yang ditarik ke pusat tanpa adanya kewenangan daerah membuat lemahnya kontrol daerah. Hal itu tercermin pada pasal 40 ayat 3 Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang mengubah pasal 6 dan 7 dalam UU No 4/2009 tentang mineral dan batu bara (Minerba). Sebelumnya, pasal tersebut mengatur kewenangan pemerintah provinsi mengelola pertambangan Minerba. Pada pasal 169A terkait perpanjangan izin otomatis tanpa harus mengembalikan ke negara dan melalui lelang lagi. Padahal, UU Minerba mengatur bahwa perusahaan harus mengembalikan kepada negara, jika izin mereka telah habis. Perusahaan juga harus menciutkan lahan mereka menjadi batasan maksimal yang diatur UU Minerba, yakni 15 ribu hektare.

UU Minerba baru pun dinilai sebagai pendorong pertambangan batu bara dan bakal makin menyulitkan pengembangan energi terbarukan. Masalah lainnya yang akan timbul ialah dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja itu bisa kontradiktif terhadap peningkatan nilai tambah. Di balik hal ini ada kepentingan pengusaha mineral dan batu bara menunggangi penyusunan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Adapun tujuh perusahaan yang dimaksud memiliki luasan lahan eksploitasi di kisaran 40-110 ribu hektare. Hal ini sama saja dengan menempatkan negara bukannya di atas entitas bisnis, melainkan di bawah. Hal ini juga melanggar konstitusi.

UU Omnibus Law Cipta Kerja akan semakin menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Pemerintah ingin memudahkan usaha pertambangan, padahal imbas kerusakan lingkungan yang ada saat ini pun tak dievaluasi. Ada 34 persen luas daratan Indonesia saat ini sudah di kapling izin pertambangan. Namun, UU Omnibus Law Cipta Kerja malah ingin mengubah ketentuan luasan konsesi pertambangan hingga tak terbatas.

Menurut Emil Salim, begawan ekonomi juga tokoh lingkungan Indonesia mengatakan, kebijakan-kebijakan yang ada saat ini tidak mengutamakan kesejahteraan masyarakat, misal soal pangan. Sektor pertambangan dan perkebunan skala besar sering kali dapat fasilitas terbaik, namun dalam pengelolaan pangan sering kali terhambat. Kondisi ini terlihat dari proses pengesahan UU Minerba yang berjalan sangat mulus.

 

Maxensius Tri Sambodo, peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan, upaya UU Minerba sebagai pendorong pertambangan batu bara justru bisa memperlambat pembangunan energi terbarukan.

Padahal, tren global justru mengarah ke implementasi energi terbarukan sebagai sumber energi. Tren global sedang bertransisi dari energi fosil ke terbarukan berdampak pada pasar batu bara yang harga terus menurun. Imbasnya, ekspor batu bara Indonesia pun cenderung menurun ke beberapa negara, kecuali Tiongkok dan India, pasar setia batu bara Indonesia.

Omnibus Law Cipta Kerja dinilai bakal mereduksi kewenangan pemerintah daerah. Sebab, kewenangan pusat akan makin mendominasi. Dengan kata lain, UU Omnibus Law Cipta Kerja bertentangan dengan prinsip otonomi daerah untuk melakukan penguatan dan kemandirian daerah. Seharusnya pembagian izin perizinan itu dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang ketat.

Bukan dihilangkan sama sekali, nantinya hubungan pusat dan daerah justru bisa berdampak pada hal yang membahayakan. Sebaiknya UU Minerba baru harus ditanyakan lagi ke Presiden dan DPR, karena tak menjawab masalah lingkungan sama sekali. Undang-Undang ini pun nyatanya tidak menjawab persoalan daerah yang selama ini bermasalah dengan pertambangan. (Penulis Annisa Tiara Anggriani, Mahasiswi Fakultas Hukum, Universitas Lambung Mangkurat)

Editor : KK


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->