Connect with us

Kalimantan Tengah

Robohnya Paru-Paru Dunia dan Lumbung Pangan, Jika Masyarakat Dayak Abai Eksplorasi di Bumi Borneo

Diterbitkan

pada

Lokakarya Nasional (Loknas) 1 Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN) yang mengusung tema “Hutan dan Perempuan” pada Minggu (26/11/2023) di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Foto: lpdn

KANALKALIMANTAN.COM, PALANGKARAYA – Ragam eksploitasi hutan Borneo, mulai dari proyek pembangunan ibu kota baru, food estate, pertambangan, perkebunan sawit dan lainnya berdampak besar terhadap lingkungan, termasuk robohnya paru-paru dan lumbung pangan dunia, berkurangnya kawasan hutan, dan penurunan kualitas ekosistem.

Dalam situasi seperti itu, penting untuk memahami peran masyarakat dayak di Bumi Borneo dan khususnya perempuan dayak dalam pelestarian hutan dan bagaimana dapat berkontribusi dalam merancang rencana pembangunan yang berkelanjutan.

Pikiran dan ide besar tersebut diangkat dalam Lokakarya Nasional (Loknas) 1 Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN) yang mengusung tema “Hutan dan Perempuan” pada Minggu (26/11/2023) di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Loknas dihadiri oleh perempuan dayak se Kalimantan yang tergabung dalam lembaga Perempuan Dayak (LPD) Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan, juga LPD Kota Palangkaraya, Kabupaten Kapuas, dan Kabupaten Pulang Pisau.

Baca juga: Kampanye Dimulai, Politik Uang di Medsos Bermodus Give Away

Kegiatan Loknas 1 LPDN dibagi dalam empat sesi yakni pembukaan, diskusi sesi pertama dan kedua, ditutup dengan Pra Rakernas LPDN. Dalam dialog dan diskusi sesi pertama Loknas 1 LPDN menghadirkan narasumber Maria Goreti SSos MSi, anggota DPD RI Perwakilan Kalimantan Barat yang juga sebagai Wakil Ketua Umum LPDN, Menteri Negara Lingkungan Hidup 1999-2001 Dr Alexander Sonny Keraf, Neneng Ariani SP, Penyuluh Kehutanan Madya pada Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, dan Santi Marlina dari Tumbang Marikoi.

Sesi kedua Loknas 1 LPDN menghadirkan narasumber perwakilan dari Bapeda Litbang Provinsi Kalimantan Tengah, Kadis Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Palangkaraya. Kemudian ditutup oleh Kesbangpol Provinsi Kalimantan Tengah yang mengangkat isu tentang perempuan dan politik.

Ketua Umum LPDN Ir Nyelong Inga Simon mengatakan, LPDN tidak terikat dengan warna tertentu melainkan mengakomodasi semua warna untuk kepentingan perempuan dayak secara keseluruhan tanpa terkecuali, juga masyarakat dayak secara umum.

Baca juga: Bappedalitbang Banjar Hadiri Bussines Marching Sinergi Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Keberadaan LPDN adalah untuk menjawab segala tantangan menyongsong Indonesia Emas 2045 terkait daya tawar perempuan dayak dan masyarakat dayak dengan hadirnya IKN dan ragam eksploitasi hutan dan alam yang ada di Bumi Borneo.

“Dimana perempuan dayak memiliki tanggung jawab domestik keluarga yang menopang hidup dan kehidupan sebuah keluarga dan bumi dayak,” ujar Ir Nyelong Inga Simon.

“Hutan dan perempuan, menjadi pembahasan yang penting karena dalam tradisi dayak kita mengajarkan bahwa Tuhan yang pertama menciptakan langit dan bumi, maka inilah pentingnya hutan sebagai bagian dari bumi bagaimana perempuan bertanggungjawab di dalamnya, kenapa? karena perempuan dayak dan hutan ini sangat erat dan tidak bisa dipisahkan, jika hutan di Bumi Borneo habis bukan hanya terancam hilangnya paru-paru dunia melainkan pangan juga habis,” bebernya.

Bahkan, sebutnya, peradaban orang Dayak juga akan musnah. “Jika hutan habis maka punahlah semua dan terjadilah krisis moral, karena peradaban kami dihilangkan. Maka setop eksploitasi hutan di Bumi Borneo tanpa memikirkan sosial budaya dan hak masyarakat adat Dayak,” tegasnya.

Baca juga: Tok! Ongkos Naik Haji 2024 Rp93 Juta, Jemaah Bayar Rp56 Juta

Lebih jauh Ir Nyelong Inga Simon menjelaskan, peran LPDN menjadi sangat penting, karena memiliki kemampuan untuk mewadahi, menampung aspirasi dan menyampaikan ragam rekomendasi ke pemerintah pusat maupun daerah.

Lokakarya Nasional (Loknas) 1 Lembaga Perempuan Dayak Nasional (LPDN) yang mengusung tema “Hutan dan Perempuan” pada Minggu (26/11/2023) di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Foto: lpdn

“Jadi melalui LPDN, kami berharap eksistensi perempuan dayak dan masyarakat Dayak di Kalimantan melalui keterlibatannya diberbagai ranah kebijakan baik pusat maupun daerah, serta dilintas sektoral mulai dari sektor pendidikan, sumber daya manusia, UMKM, dan lainnya juga termasuk akan dibentuknya sekolah lapangan oleh LPDN yang ditujukan guna mencetak SDM lokal Dayak yang handal,” jelasnya.

Sehingga mendapat kesempatan dan prilaku yang profesional dari berbagai stakeholder baik swasta maupun pemerintah yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi yang mengakibatkan deforestasi hutan dan alam di Bumi Borneo. “Selaku Ketua Umum LPDN tentu saya akan berjuang untuk mendorong adanya Undang-Undang masyarakat adat Dayak,” tegas Nyelong.

Baca juga: Explore Karts South Borneo II MPAF di Gua Baramban, Eksotisme Kawasan Karts yang Terhimpit Konsesi Tambang  

Maria Goreti SSos MSi, anggota DPD RI perwakilan Kalimantan Barat menyampaikan tentang bagaimana masyarakat Dayak khususnya perempuan Dayak mendapatkan pembekalan tentang kepemimpinan dan hak mereka dalam menyikapi berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Menteri Negara Lingkungan Hidup 1999-2001 Dr Alexander Sonny Keraf menyampaikan kerangka dasar social forestry dari aspek ekonomi, sosial, budaya, dan religi menggarisbawahi tentang isu social forestry dan robohnya lumbung pangan Dayak Kalimantan dan secara khusus Kalimantan Tengah. Melalui pelaksanaan social forestry yang didukung dengan adanya peraturan yang memihak pada hak masyarakat adat akan tanah atau lahan yang ada, kemudian diangkatnya masyarakat adat tidak hanya sebagai buruh, namun SDM yang memiliki skills sesuai kebutuhan perusahaan, maka ini menjadi sangat penting dan krusial.

“Tanpa itu semua itu hanya akan merugikan masyarakat adat di sekitar wilayah eksploitasi atau eksplorasi, baik itu pembangunan IKN, food estate, perkebunan sawit atau lainnya,” ujar Sonny Keraf.

Melalui program social forestry atau perhutanan sosial diharapkan terwujudnya ekonomi keberlanjutan bagi masyarakat yang diakibatkan oleh berbagai faktor termasuk perubahan iklim, pemanasan global, juga deforestasi. Para pelaku perhutanan sosial yakni masyarakat adat harus ditujukan untuk keberlanjutan ekonomi guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, untuk mengatasi kemiskinan, keterbelakangan, kelaparan, penyakit dan seterusnya.

Baca juga: Cegah Stunting, Kolaborasi Stikes Intan Martapura-PLN Gelar Lomba Kosas

“Jadi melalui perhutanan sosial ini kemajuan ekonomi didorong secara betul dan dipastikan berkelanjutan,” jelasnya.

Lebih jauh Sonny Keraf menjelaskan, jangan sampai prediksi yang ditulis oleh media yang berjudul robohnya lumbung pangan Dayak ini benar-benar terjadi. Untuk itu, kehadiran LPDN menjadi sangat penting sebagai perwalian dan perpanjangan tangan secara khusus perempuan Dayak dan masyarakat Dayak dalam memperjuangkan hak hidup,  hak atas pengelolaan lahan, dan hak atas tanah serta lingkungannya di atas hak investor dan lainnya.

“Jadi perlu ada sebuah perwalian yang dapat mewujudkan serta melindungi mimpi masyarakat adat Dayak dalam hal hak atas pengelolaan lahan, sehingga ketika ada investor yang mendapatkan hak atas lahan tersebut, masyarakat dayak tidak terusir atau diusir dari wilayah yang telah lama mereka tempati, kelola dan pelihara,” bebernya.

“Perwalian ini bisa melalui LPDN, atau melalui tokoh perempuan yang memang mewakafkan dirinya untuk menjadi tempat masyarakat dayak mencurahkan impian dan harapannya, dan juga yang memperjuangkan hak-hak mereka melalui produk hukum yang melindungi dalam bentuk Undang-Undang masyarakat adat Dayak,” tegasnya. (Kanalkalimantan.com/rls)

Reporter : rls
Editor: kk


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->