Connect with us

HEADLINE

Menkumham Pertimbangkan Pembebasan 300 Napi Korupsi karena Covid-19

Diterbitkan

pada

Wacana Menkumham membebaskan koruptor ditengah kasus Covid-19 dikecam ICW Foto: gesuri

KANALKALIMANTAN.COM, JAKARTA – Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mempertimbangkan untuk turut membawa serta narapida narkotika dan tindak pidana korupsi dalam rombongan narapidana yang dibebaskan akibat pandemi virus corona Covid-19. Sejauh ini ada 30 ribuan napi yang bebas karena wabah virus corona.

Namun, untuk merealisasikannya masih terkendala dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Untuk itu, Yasonna berencana melakikam revisi atas aturan tersebut. Sebelumnya diketahui, Yasonna berencana membebaskan sebanyak 30 ribu narapidana dampak dari upaya pencegahan Covid-19. Tetapi tidak termasuk untuk narapidana kejahatan ekstraordinari (ordinary crime) semisal koruptor, teroris, narkotika, dan pelaku pelanggaran HAM berat.

“Tentu ini tidak cukup. Pekiraan kami bagaimana merevisi PP 99 Tahun 2012 tentu dengan kriteria ketat sementara ini. Pertama, narapidana kasus narkotika dengan masa pidana 5 sampai 10 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidananya akan kami berikan asimilasi di rumah. Kami perkirakan 15.442 per hari ini datanya,” kata Yasonna dalam RDP dengan Komisi III, Rabu (2/4/2020) kemarin.

Pertimbangan pembebasan dengan berdasarkan masa hukuman yang telah dijalankan juga berlaku untuk para narapidana tindak pidana korupsi dan tindak pidana khusus. Selain berdasar masa tahanan, pertimbangan dilakukan melihat faktor usia dan kondisi kesehatan masing-masing narapidana.

“Napi korupsi usia 60 tahun ke atas yang telah menjalani 2/3 masa pidana sebanyak 300 orang. Napi tipidsus dengan sakit kronis yang dinyatakan RS pemerintah yang telah menjalani 2/3 masa pidana 1.457 orang dan napi asing ada 53 orang,” ujar Yasonna.

Nantinya, kata Yasonna, dia berencana meminta persetujuan Presiden Joko Widodo lebih dulu atas usulam merevisi PP Nomor 99 Tahum 2012 sebagai jalan narapidana kriteria dia tas biaa ikut dibebaskan.

Perkiraan Yasonna, apabila hal itu bisa terealisasi maka jumlah narapidana yang dapat dibebaskan dampak dari pandemi Covid-19 bisa bertambah dari 30 ribu menjadi 50 ribu narapidana. “Kami akan laporkan ini di ratas dan akan kami minta persetujuan presiden soal revisi emergency ini bisa kita lakukan,” tandasnya.

Sebelumnya, anggota Komisi III Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari menilai kebijakan Menkumham Yasonna diskriminatif lantaran membeda-bedakan nar.apidana yang dapat dibebaskan. Ia kemudian meminta agar pemerintah dapat mencabut PP Nomor 99 Tahun 2012. Sebab, menurutnya, jangan sampai keinginan menyelamatkan nyawa narapidana di situasi pandemi corona malah terkendala dengan aturan tersebut.

“Maka saya usul kesimpulan dalam rapat Komisi III ini adalah meminta pencabutan PP Nomor 99 ini dalam waktu yang sangat dekat. Karena inilah yang akan menjadi masalah ketika kita ingin melakukan upaya-upaya menyelamatkan nyawa di dalam lapas,” kata Taufik dalam RDP Komjsi III dengan Menkumham, Rabu kemarin.

Protes ICW

Indonesia Corruption Watch (ICW) memprotes niat Menteri Hukum dan Hak Asasi Yasonna H Laoly untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 agar narapidana kasus korupsi yang telah berusia di atas 60 tahun yang telah menjalani 2/3 masa tahanannya dapat dibebaskan.

“Niat Menteri Hukum dan HAM untuk mempermudah narapidana korupsi terbebas dari masa hukuman semakin akan menjauhkan efek jera,” kata Peneliti Divisi Hukum ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Kamis (2/4/2020).

Sebelumnya Menkumham Yasonna H Laoly dalam rapat kerja virtual bersama Komisi III DPR pada Rabu (1/4) mengatakan ingin merevisi PP No 99 Tahun mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 sehingga berencana membebaskan 300 ribu narapidana dewasa dan anak.

Pada bagian Kedua huruf a dan b disebutkan bahwa asimilasi dan pembebasan bersyarat tidak berlaku bagi kejahatan yang diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012, termasuk napi korupsi. “Ini artinya Menkumham tidak memandang korupsi sebagai kejahatan luar biasa bahwa kejahatan korupsi tidak bisa disamakan dengan bentuk kejahatan lainnya. Selain telah merugikan keuangan negara, korupsi juga merusak sistem demokrasi, bahkan dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Mempermudah narapidana korupsi untuk terbebas dari masa hukuman bukan merupakan keputusan yang tepat,” tambah Kurnia.

Apalagi data Data ICW menunjukkan rata-rata vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bagi pelaku korupsi hanya menyentuh angka 2 tahun 5 bulan penjara. Belum lagi ditambah dengan situasi maraknya praktik korupsi di lembaga pemasyarakatan sehingga bila kebijakan tersebut terealisasi maka ke depan pelaku korupsi tidak akan lagi jera untuk melakukan kejahatan tersebut.

Jumlah narapidana korupsi juga tidak sebanding dengan narapidana kejahatan lainnya. Data Kemenkumham pada 2018 menyebutkan bahwa jumlah narapidana seluruh Indonesia mencapai 248.690 orang dan 4.552 orang diantaranya adalah narapidana korupsi.

Artinya narapidana korupsi hanya 1,8 persen dari total narapidana yang ada di lembaga pemasyarakatan sehingga akan lebih baik jika pemerintah fokus pada narapidana kejahatan seperti narkoba atau tindak pidana umum lainnya yang memang secara kuantitas jauh lebih banyak dibanding korupsi

“Tidak ada kaitannya pembebasan napi korupsi sebagai pencegahan COVID-19. Hal ini disebabkan karena Lapas Sukamiskin justru memberikan keistimewaan satu ruang sel diisi oleh satu narapidana kasus korupsi, justru ini bentuk ‘social distancing’ yang diterapkan agar mencegah penularan,” tegas Kurnia.

ICW pun mencatat bahwa pada periode 2015-2019 Yasonna Laoly telah melontarkan keinginan untuk merevisi PP 99/2012 sebanyak empat kali. Mulai dari tahun 2015, 2016, 2017, dan pada tahun 2019 melalui Revisi UU Pemasyarakatan. Isu yang dibawa selalu sama, yakni ingin mempermudah pelaku korupsi ketika menjalani masa hukuman.

Padahal PP 99/2012 diyakini banyak pihak sebagai aturan yang progresif untuk memaksimalkan pemberian efek jera bagi pelaku korupsi. “Kami mendesak Presiden Jokowi dan Menkopolhukam menolak wacana Yasonna Laoly untuk melakukan revisi PP 99/2012 karena tidak ada relevansinya dengan pencegahan penularan COVID-19. Presiden juga diminta untuk menghentikan pembahasan sejumlah rancangan peraturan perundang-undangan yang kontroversial saat bencana nasional COVID-19 berlangsung,” ungkap Kurnia.(Kanalkalimantan.com/suara)

 

Editor : Cell

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->