Connect with us

HEADLINE

Melawan dari ‘Jantung’ Meratus, Kisah Kampung Kiyu Menolak Kungkungan Tambang (2)

Diterbitkan

pada

: Julak Maribut, tokoh adat di Kampung Kiyu Foto: Mario

Kampung Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) mungkin tenggelam di tengah berbagai berita pembangunan. Tapi, suara dari sekitar 300 jiwa (jika digabung dengan jumlah penduduk Desa Hinas Kiri mencapai 700 jiwa, red), terus menggema terkait keberanian dalam melakukan penolakan kungkungan pengusaha tambang. Sebuah keberanian dan konsistensi, yang justru tenggelam di daerah-daerah lain.

Selama beberapa hari, jurnalis Kanalkalimantan.com, Mario Christian Sumampow, mengunjungi beberapa titik desa yang berada di kaki Meratus tersebut. Mulai Kampung Kiyu yang merupakan bagian dari Desa Hinas Kiri dan Desa Nateh. Berikut hasil liputan yang dituliskan secara berseri


Semua masyarakat di kampung Kiyu menganut agama leluhur, agama Balian. Kepercayaan ini mengajarkan warga Kampung Kiyu untuk selalu bersyukur dan berterima kasih dengan alam. Penolakan atas tawaran dari berbagai perusahaan kayu hingga tambang yang mencoba untuk membumihanguskan Meratus merupakan sebuah bentuk perlawanan masyarakat Dayak Meratus untuk menghargai kepercayaan leluhur mereka.

Salah seorang Tokoh Adat Kampung Kiyu, Julak Maribut menceritakan pengalaman masa lalunya, ingatannya masih bisa diandalakan. Ia memulai kisahnya mundur jauh ke tahun 1984. Kala itu sebuah perusahaan kayu bernama Daya Sakti yang mencoba untuk masuk dan menjalankan perusahaannya.

Sontak hal ini membuat Julak Maribut dan warga lainnya langsung meminta agar pemerintah HST segera mencabut izin tersebut. Bahkan Julak mengatakan bahwa mereka akan ‘menyumpit’ semua pihak yang menolak mengabulkan permintaan mereka. Perlu waktu tiga bulan hingga akhirnya izin tersebut dicabut.

“Jika bupati tidak mencabut, kami tidak menjamin keselamatan,” cerita Julak Maribut.

Dengan lantang ia menceritakan dan menyampaikan isi kepalanya bahwa hutan milik mereka tidak bisa dirusak. Bagi siapa saja yang merusak hutan tersebut, Julak Maribut mengatakan bahwa keselamatan dari si peruskan hutan itu tidak akan terjamin aman.

Pernah juga di kisaran tahun 90-an ada orang yang mengaku-ngaku sebagai suruhan dari Siti Raden Ayu Siti Hartinah, atau lebih dikenal sebagai Tien Soeharto, istri Presiden Indonesia Kedua. Ia bersikukuh sebagai arahan Tien Soharto untuk membangun sebuah perusahaan di wilayah Meratus. Kemudian Julak Maribut dan warga kampung meminta orang yang mengaku-ngaku tersebut untuk membuktikan omongannya. Hingga kemudian kabar ini terdengar oleh Tien Soeharto. Ia menyatakan bahwa orang tersebut sama sekali bukan suruhannya.

Tak hanya itu, Julak Maribut nampak menyimpan segudang cerita di kepalnya. Ia juga bercerita bahwa ada pernah pada suatu masa pihak kehutanan dari Banjarbaru datang untuk mematok sebuah tugu sebagai tanda batas administratif. Pun mereka langsung mendapatkan penolakan dari Julak Maribut. Ia mengancam bersama bahwa mereka tidak segan-segan memukuli orang tersebut jika masih berani memasang patok tersebut. Kemudian pemasangan patok itu pun tidak terjadi.

Julak Maribut Sendiri paham betul jika izin tambang tetap diberikan, tidak hanya kampung Kiyu, tapi seluruh wilayah di Kalsel akan terkena dari dampak bencana ekologi. “Kandangan, Rantau, Tanjung, habis,” tuturnya.

Bahkan dampak ini akan terasa lebih besar bagi warga Dayak Meratus. Mereka tidak bisa meneruskan budaya. Salah satu budaya Dayak Meratus yang begitu penting adalah Ritual Aruh Adat. Ritual ini adalah ritual untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas penganugerahan hasil panen padi ladang yang melimpah, dan sekaligus penghormatan terhadap arwah para leluhur yang diyakini senantiasa melindungi mereka dari malapetaka. Dalam perkembangan selanjutnya, upacara adat ini juga digunakan untuk merayakan keberhasilan usaha lainnya, seperti berdagang, beternak, melaut, dan lain sebagainya.

Proses berkebun Dayak Meratus pun tidak lepas dari ritual. Dengan wajah serius Julak Maribut menerangkan tahap-tahap sebelum mereka bisa melakukan proses berkebun. Ada doa-doa khusus yang mereka ucapakan untuk memohon izin kepada, Julak Maribut menyebutnya “yang tak terlihat”.

Permohonan ini merupakan sebuah izin kepada yang maha kuasa ihwal dibolehkan atau tidaknya mereka bercocok tanam di sebuah lahan yang mereka inginkan. Jawabnya akan mereka terima lewat mimpi.

Jika diperbolehkan, para masyarakat langsung bercocok tanam di lahan yang diperbolehkan itu. Namun jika tidak, mereka harus mencari lahan yang lain. Jika ada masyarakat yang bersikukuh bercocok tanam di lahan yang dilarang, maka orang itu akan menerima ganjaran seperti sakit bahkan hingga kematian.

Hal inilah yang Dayak Meratus Pertahankan. Jika proses penambangan dilakukan, alam akan rusak, masyarakat tidak bisa berkebun akibat lahan yang rusak, dan tentunya ritual tidak bisa dilakukan ritual. Kemudian budaya Dayak Meratus perlahan-lahan hilang menuju kepunahan.

“Jadi kalau membuka lahan tidak sembarangan. Kami memohon kepada yang kuasa, yang mengadakan bumi dan langit, tidak sembarangan,” tutur Julak Maribut. (bersambung)

 

 

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->