Connect with us

Religi & Budaya

Ironi Rumah-Rumah Banjar yang Kian Tersudut (1)


Dari Sejarah, Agama hingga Wadah Musyawarah

Sebagai daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan di era Kesulatanan Banjar, lumrah jika sampai saat masih dapat dijumpai rumah-rumah lawas dengan konstruksi khas Banjar. Di antaranya: Bumbungan Tinggi, Palimasan, Balai Laki, dan Bali Bini. Namun di tengah gerusan zaman dan berbagai permasalahan, termasuk hak waris atas rumah peniggalan, satu per satu rumah Banjar terbongkar dan hilang.


Diterbitkan

pada

Foto: Rudiyanto

Bersama puluhan anak seusianya, Amat Lamak yang kala itu berusia sekitar 7 tahun seksama memperhatikan pelajaran Tauhid yang disampaikan Syariat bin Haji Arsal bin Kai Basar, kakak kandungnya. Seperti malam-malam lainnya, meski hanya diterangi cahaya lentera, suasana belajar ilmu-ilmu agama di atas tiang-tiang kayu ulin raksasa penyangga rumah Banjar Bubungan Tinggi milik Haji Arsal, di Desa Bincau Muara, Martapura, Kabupaten Banjar itu tetap menyenangkan dan khusyuk.

Tak hanya sebagai rumah tinggal keluarga Haji Arsal, rumah  tradisional dengan anjungan di sisi kiri dan kanan khas rumah Banjar peninggalan Basar atau akrab disapa Kai Basar, ayah Haji Arsal itu, juga digunakan sebagai tempat menimba ilmu-ilmu agama. Tak hanya anak-anak, tapi juga kalangan pemuda, dan orangtua.

Di rumah Bubungan Tinggi berukuran sekitar 4 x 15 meter itu, berbagai pertemuan kalangan tokoh masyarakat dan tatuha desa acap kali digelar. Materi pertemuan tak pernah membahas urusan keduniawian.

Dulu, selain rumah milik Haji Arsal bin Basar, di Desa Bincau Muara ada lima rumah Bubungan Tinggi lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, satu persatu rumah tradisinoal Banjar itu punah dan hanya menyisakan satu, milik H Arsal bin kai Basar.

Kondisi bangunan yang kian lama kian rapuh dimakan usia karena tanpa adanya perawatan dan perbagian material bangunan yang rusak, menjadi salah sat penyebab hilangnya rumah-rumah yangmengadopsi rumah-rumah kawula kerajaan pada masa Kesultanan Banjar itu.

Ditambah lagi, permasalahan hak waris para keturunan yang menuntut pembangian sama atas harta warisan peninggalan orangtua dan pedatuan mereka, kian membuat rumah-rumah bahari bergaya khas adat Banjar tak mampu lagi dipertahankan. Setelah terjual, rumah-rumah itu tentu akan dibabak habis oleh penjual. Material bangunan, berupa kayu ulin menjadi incaran banyak orang ditengah kian susahnya regulasi mendapat kayu-kayu ulin dari tengah hutan.

Belum lagi incaran banyak kolektor benda antik, yang sering berambisi pada  model lawas rumah kuno, atau ornamen-ornamen berupa ukiran-ukiran tempo dulu yang biasa digunakan sebagai tawing halat pada rumah adat Banjar.

“Sejak sekitar tahun 1950-an, satu per satu rumah Bubungan Tinggi di Desa Muara Bincau hilang,” kata H Amat Lamak bin H Arsal bin Kai Basar (78).

Beruntung, Haji Arsal pernah berwasiat pada anak cucunya termasuk H Amat Lamak, untuk tetap membiarkan rumah itu tetap berdiri dengan  tidak menjualnya. Banyak sejarah yang terlanjur terjadi di dalam rumah itu. Bagi semua keturunannya yang belum bisa membangun tempat tinggal sendiri, H Arsal berpesan tetap menempati rumah itu. “Rumah ini umurnya sudah lebh dari 150 tahun. Karena yang saya ingat saat saya masih anak-anak rumah ini sudah dibangun oleh Kai Kadir, kakek saya sendiri. Dan sekarang umur saya suudah hampir 80 tahun,” kata H Amat Lamak. (rudiyanto)


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->