Connect with us

HEADLINE

Incinerator Terbatas, Limbah Medis Bisa Jadi ‘Bom Waktu’ di Kalsel

Diterbitkan

pada

Sampah medis menjadi bom waktu yang bisa menjadi masalah serius bagi Kalsel. (foto ilustrasi). Foto: net/tribun

BANJARBARU, Limbah medis dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di Kalsel bisa menjadi ancaman serius jika tak segara ditangani pemerintah. Mengingat, saat ini jumlah rumah sakit yang memiliki incinerator cukup terbatas. Di Kalsel, tercatat baru ada 4 rumah sakit yang memiliki incinerator sendiri. Salah satunya adalah RSUD Ulin, yang sejak beberapa waktu lalu memutuskan untuk tak menerima limbah medis dan limbah B3 dari fasilitas kesehatan, saat ini rumah sakit, klinik hingga puskesmas. Lalu, mau dikemanakan limbah berbahaya itu?

Imbasnya, tentu saja ditengarai terjadinya penimbunan limbah medis dan B3. Apalagi, saat ini jasa transportir limbah medis juga sangat sedikit. Disamping juga mahal harganya. Bayangkan saja, untuk jasa pembuangan jasa limbah medis melalui jasa transportir memerlukan biaya sebesar Rp 30-45 ribu per kilo. Angka tersebut lebih mahal daripada jasa yang diterima RSUD Ulin atas pemusnahan limbah medis yang hanya sebesar Rp 25.000 per kilo.

Tak hanya itu, keterlambatan pengangkutan limbah medis dan limbah B3 juga menjadi salah satu masalah tersendiri.

Wacana perlunya segera pemerintah turun tangan mengatasi masalah ini, tertuang dalam Workshop Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Medis yang digelar di Hotel Rodhita Banjarbaru, Senin (5/11).

Dilansir dari Tribunnews.com, anggota pengembangan SDM Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) Kalsel, Rachmad Arifuddin mengatakan, keterlambatan pengangkutan limbah medis juga disebabkan masih terbatasnya jumlah armada transportir. “Jumlahnya masih sedikit. Ditambah lagi rumah sakit klinik hingga Puskesmas juga terkendala biaya yang lebih mahal dibandingkan menitip dengan rumah sakit yang punya insinerator,” ungkapnya.

Saat ini di Kalsel diketahui ada tiga jasa transportir hingga pemusnahan limbah B3 dan medis yaitu Artama Sentosa Indonesia, Sinar Bintang Albar, dan Mitra Hijau. “Harusnya pengambilan dan pemusnahan limbah medis dan B3 maksimal 2 kali 24 jam. Tapi terbatasnya armada menyebabkan ditemukannya adanya pengangkutan yang tertunda,” katanya.

Alasan inilah, maka Rachmad memfasilitasi pertemuan puluhan tenaga sanitarian dari 22 fasilitas kesehatan. Tujuannya untuk mengupdate pengetahuan tentang pengelolaan limbah medis dan B3. “Mengingat aturan ini selalu berkembang dan berubah,” jelas Kepala Unit Sanitasi RSUD Ulin Banjarmasin ini.

Ia mengatakan, limbah medis dan B3 harus dikelola dengan baik benar dan sesuai aturan. Sebab hal tersebut akan berdampak pada rumah sakit, pasien, internal rumah sakit dan lingkungan sekitar. Apalagi saat ini di Kalsel hanya ada empat rumah sakit yang mengoperasikan insinerator yaitu RSUD Ulin, RSUD Ansari Saleh, RSU Ciputra, dan Rumah Sakit Balangan.

Sementara Ketua HAKLI Kalsel, Ahmad Wahyuni mengatakan telah memberi peningkatan pengetahuan pada tenaga sanitarian terkait pengelolaan limbah medis dan B3. Namun pengambil kebijakan dan keputusan dalam hal ini pemerintah dan kepala rumah sakit dan puskesmas lah yang menentukan pengelolaan limbah medis dan B3.

Idealnya, semua kabupaten dan kota harus memiliki insinerator. Fasilitas Kesehatan bisa menumpang ke rumah sakit Selama rumah sakit yang menerima memiliki surat izin atau dengan melakukan pemusnahan melalui jasa pihak ketiga pemusnah limbah medis dan B3.

“Salahnya saat ini tidak ada rumah sakit yang memiliki incinerator yang mempunyai izin menerima limbah dari luar mereka hanya memiliki izin memusnahkan limbah dari rumah sakit mereka sendiri. Selain itu juga masih ada yang punya insinerator namun belum mendapatkan Surat Izin juga ada yang masih dalam tahap penyediaan,” terangnya.

Saat ini sanitarian yang tergabung dalam HAKLI Kalsel ada sekitar 1000 orang. Tapi tak semuanya memiliki kemampuan dalam pengelolaan limbah.

Terkait hal ini, Ketua Komisi IV DPRD Banjarmasin, Faisal Hariyadi sebelumnya berjanji akan mendorong pemko untuk lekas memiliki incinerator sendiri. Tak lagi tergantung dengan Rumah Sakit Ulin. Dari pembahasan KUA-PPAS APBD 2019, diusulkan Rp5 miliar untuk pembangunan incinerator di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Basirih oleh Dinas Lingkungan Hidup. Yang menjadi fasilitas tambahan bagi Rumah Sakit Sultan Suriansyah.

“Dewan setuju dengan usulan itu. Lagi pula ini potensi pendapatan baru bagi daerah. Jika rumah sakit swasta juga membakar sampah medisnya di sini, bisa dipungut retribusi,” kata Faisal.(rico/trb)

Reporter: Rico/trb
Editor: Chelll


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->