Connect with us

Hukum

Semua Raperda Harus Lolos ‘Sensor’ Kemenkum HAM

Diterbitkan

pada

Semua Reperda kini harus lolos sensor Kemenkum dan HAM Foto : net

JAKARTA, Kementerian Hukum dan HAM membuat langkah ‘menyensor’ Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) agar harmonis dan tumpang tindih. Aturan yang akan ‘disensor’ itu untuk semua peraturan di bawah UU.

Hal di atas diatur dalam Perturan Menteri Nomor 22/2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk di daerah oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan. Demikian dilansir detik.com.

“Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya disebut Pengharmonisasian adalah proses penyelarasan substansi rancangan peraturan perundang-undangan dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi peraturan perundang-undangan yang merupakan satu kesatuan yang utuh dalam kerangka sistem hukum nasional,” demikian penjelasan Permenkum yang dikutip dari peraturan.go.id, Senin (27/8).

Pengharmonisasian yang dimaksud yaitu: a. rancangan Peraturan Daerah Provinsi;  b. rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; c. rancangan Peraturan Gubernur; d. rancangan Peraturan Bupati/Wali Kota; e. rancangan Peraturan Desa atau yang setingkat; dan f. rancangan Peraturan Kepala Desa atau rancangan peraturan yang setingkat.

“Tujuan menyelaraskan dengan Pancasila, UUD 1945, peraturan perundang-undangan yang setingkat atau yang lebih tinggi dan Putusan Pengadilan,” bunyi pasal 5 ayat 1 huruf a angka 1.

Materi pengharmonisasian yaitu membahas isu krusial. Serta dihadiri kepala daerah, pimpinan DPRD, Sekda, pimpinan tinggi pratama di daerah. “Kepala Kantor Wilayah mengoordinasikan dan memimpin rapat Pengharmonisasian.”

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia sudah over regulasi, salah satunya karena UU kerap dibuat dengan sponsor. Oleh sebab itu, perlu dilakukan langkah-langkah konkrit untuk merampingkannya. Lalu, Bagaimana caranya?

“Pertama, Presiden mengoptimalkan peran Kementerian Hukum untuk menseleksi termasuk kewenangan menolak usulan RUU yang diajukan oleh kementerian yang tidak dibutuhkan,” kata ahli perundang-undangan Dr Bayu Dwi Anggono.

Peningkatan peran Kementerian Hukum ini penting mengingat selama ini banyak kementerian bahkan Direktorat Jenderal yang kurang percaya diri jika urusan mereka tidak diatur oleh Undang-Undang. Sebagai contoh di Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan umum mayoritas unit kerja Direktorat Jenderalnya memiliki satu Undang-Undang tersendiri.

“Padahal hakikat keberadaan Undang-Undang seharusnya mengatur urusan lintas kementerian yang berpengaruh terhadap pelaksanaan hak dan kewajiban rakyat,” ujar Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.

Kedua, Presiden memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 untuk menolak membahas RUU yang diajukan oleh DPR. Sederhananya jika RUU yang diusulkan oleh DPR menurut Presiden tidak dibutuhkan atau terlalu ‘mengada-ada’ maka Presiden tidak perlu menanggapi apalagi mengirim wakil Pemerintah untuk membahas RUU tersebut.

“Praktik selama ini tidak selalu RUU yang diajukan oleh DPR adalah benar aspirasi anggota DPR sendiri, namun terkadang bagian dari pemerintah sendiri jika kesulitas mendapatkan persetujuan Presiden atas RUU yang mereka ajukan, maka meraka mengajukan lewat DPR dan dibuat seakan-akan sebagai keinginan DPR,” ucapnya.

Ketiga, bila Presiden menengarai pembahasan telah jauh menyimpang dari tujuan awal dibuatnya RUU tersebut maka dapat saja menarik diri untuk tidak melanjutkan pembahasan. Selama ini ‘keberanian’menarik diri tersebut belum terlihat. Sehingga seringkali atas dasar kompromi politik pihak Pemerintah menuruti keinginan DPR untuk mengesahkan RUU tersebut menjadi UU.

“Akibatnya kemudian UU tersebut dalam waktu tidak terlalu lama setelah diundangkan akhirnya diuji ke MK dan kemudian dibatalkan oleh MK,” cetus Bayu.

Namun harus diingat, langkah menertibkan pembentukan UU ini pada dasarnya hanya sebagian dari upaya mewujudkan tertib regulasi di Indonesia. Mengingat di samping UU jumlah regulasi di bawah UU yang tidak dibutuhkan dan mengandung masalah justru jumlahnya lebih banyak.

“Untuk itu komitmen menertibkan pembentukan RUU juga harus dibarengi menertibkan pembentukan peraturan di bawah UU seperti Rancangan Peraturan Menteri,” kata Bayu menegaskan.(cel/dtc)

Reporter : Cel/dtc
Editor : Chell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->