Connect with us

HEADLINE

Isu Save Meratus Perlahan Tenggelam, Persoalan Lingkungan Harus Dikembalikan ke Akar Masalahnya

Diterbitkan

pada

Antropolog ULM Banjarmasin Setia Budhi (kiri), Abdani Sholihin aktivis LK3 Banjarmasin (tengah) dan jurnalis senior Budi Kurniawan (kanan) dalam Diskusi Akhir Tahun "Pasang Surut Aktivis Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan", Minggu (31/12/2023). Foto: wanda

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU – Pertanyaan akan makna tagline Save Meratus kembali ditujukan kepada aktivis-aktivis lingkungan hidup di Kalimantan Selatan.

Sejatinya tagline Save Meratus banyak dikenal masyarakat di Banua, usai peristiwa banjir besar tahun 2021 silam yang menyapu sebagian wilayah hulu Kalimantan Selatan.

Usai peristiwa itu, masyarakat berbondong-bondong mengkampanyekan tagline Save Meratus, masyarakat menaruh harap dan banyak perhatian pada kelestarian lingkungan.

Gerakan peduli lingkungan hidup turun ke jalan untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya kerusakan, juga menuntut pertanggungjawaban para pemangku pengambil kebijakan.

Baca juga: Penggilingan Padi Elektrik Kelompok Tani Harapan Baru Lebih Hemat dari Mesin Diesel

Namun, banjir tahun 2021 hanya menjadi salah satu dari bencana, di samping bencana lain seperti kebakaran hutan dan lahan hingga pencemaran lingkungan di Kalsel.

Pasca peristiwa banjir lambat laun tagline Save Meratus masih berdiri kokoh, lalu apa yang terjadi dengan gerakan peduli lingkungan hidup di Kalsel?.

Hal itu dipertanyakan oleh Antropolog Universitas Lambung Mangkurat, Setia Budhi, dalam Diskusi Akhir Tahun “Pasang Surut Aktivis Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan”, Minggu (31/12/2023) lalu.

Sebelum bicara persoalan peduli lingkungan hidup, dijelaskan dia, masyarakat harus mengetahui siapa pemain atau pelaku yang terlibat dalam isu lingkungan tersebut.

Baca juga: Memanen Harapan Baru Gapoktan Kayuh Baimbai dengan Electrifying Agriculture!

Biasanya mereka adalah orang yang tergabung dalam organisasi seperti Mapala, Walhi, Lembaga Adat hingga organisasi kemahasiswaan atau NGO lain yang bergerak di bidang lingkungan hidup.

“Saya lihat ketika ada isu besar tentang lingkungan hidup, ambil saja contoh banjir besar 2021 lalu, kita kemudian menjadi tidak asing dengan Save Meratus, aktivis bergerak menyelamatkan kerusakan lingkungan. Namun, saya memandang pergerakan itu temporer, dilakukan spontan saat satu waktu tertentu saja, lalu kemudian sesudah itu kenapa berhenti?,” tanya Antropolog ULM, Setia Budhi.

Menurut dia persoalan lingkungan hidup harus dikulik hingga ke akarnya bukan hanya di permukaan saja.

Dosen FISIP ULM Banjarmasin ini menilai para aktivis lingkungan hidup Kalsel saat ini sedang mengalami pasang surut berdasarkan isu yang mencuat.

Baca juga: Pusat Perbelanjaan di Banjarmasin Jadi Magnet Libur Tahun Baru 2024

“Harusnya kita mengulik lagi terkait peristiwa itu kenapa terjadi banjir, akar masalahnya dimana, sampai di situ teman-teman penggerak belum masuk kesitu, yang saya bilang pertahanan jebol di situ. Padahal isu lingkungan hidup tak bisa berhenti apalagi masalah pencemaran lingkungan saja,” tegas dia.

Menyikapi hal itu, Setia Budhi menerangkan supaya kesenjangan tak terlalu jauh, perlu mengikuti pelatihan, kemudian merekrut teman-teman peduli lingkungan dan membuat program peduli lingkungan agar terus berkelanjutan.

“Kesenjangan antara Gen Z dengan generasi sebelumnya juga kerap ditemui dalam pergerakan peduli lingkungan hidup. Ini menjadi masalah bersama karena melemahnya kaderisasi. Mungkin karena terlalu sibuk dengan media sosial, sehingga lupa dengan kehidupan masyarakat,” jelas dia.

Sementara itu, jurnalis senior Budi Kurniawan mengatakan kesenjangan generasi terjadi lantaran penggunaan bahasa narasi lama masih kerap digunakan aktivis dalam mengkampanyekan pergerakan lingkungan hidup.

Baca juga: Demi Ambil Duit Rp50 Ribu, EP Kehilangan Nyawa di Pantai Walet

“Misalnya terkait perubahan iklim yang kerap dibahasakan dengan narasi yang lama, sehingga sulit dipahami. Narasi-narasi lama itu menjadi PR kawan-kawan aktivis untuk menurunkan tensinya dengan substansinya yang sama tapi cara menyampaikan yang diubah, itu PR besar kawan-kawan aktivis,” ucap Budi Dayak -biasa disapa-.

Di sisi lain juga, katanya, generasi saat ini memiliki rasa keingintahuan yang minim sehingga menjadikan isu lingkungan menjadi hal yang biasa.

“Generasi lebih muda itu rasa ingin tahunya bebeda dengan generasi sebelumnya, padahal semua bisa dikulik lagi lebih dalam dengan rasa penasaran itu mereka harus belajar lebih peduli,” kata jurnalis sekaligus aktivis lingkungan ini.

Terus menjaga isu lingkungan Kalsel diperhatikan pemerintah perlu peran secara kelembagaan. Maka itu peran dari Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan, sambung Abdani Sholihin seorang aktivis LK3 Banjarmasin, harus terus berkesinambungan dan tidak tertinggal isu kekinian.

Baca juga: Pertamax Turun, Ini Harga BBM Pertamina Terbaru per 1 Januari 2024 di Kalimantan

“Kalau kawan Walhi bekerja di bidang lingkungan, kita mendukung pada penguatan untuk menjaga nilai-nilai untuk kehidupan untuk itu sendiri,” jelas Abdani Sholihin.

Termasuk kata dia menjaga narasi dalam ranah pentingnya alam bagi kehidupan masyarakat. Juga bicara tentang alam dalam perspektif agama.

LK3 Banjarmasin sedari dulu menjadi penguatan bagi masyarakat. Jika Walhi bicara soal pelanggaran lingkungan dan sebagainya, maka LK3 kata dia, berperan sebagai penguat dasar aktifitasnya. (Kanalkalimantan.com/wanda)

Reporter : wanda
Editor : bie


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->