Connect with us

HEADLINE

Walhi Kalsel : Kalsel Darurat Agraria Alias Darurat Lahan!


33 % Lahan Telah Dibebani Izin Tambang, 17 % Dibebani Izin Perkebunan Kelapa Sawit


Diterbitkan

pada

Direktur Walhi Kalsel Kisworo Dwi Cahyo Foto : Robby

BANJARMASIN, Pengrusakan ekosistem rawa gambut di Kalsel ternyata didukung’regulasi RTRWP Kalsel Nomor 9/tahun 2015 ayat (1) huruf b yang menyatakan sekitar 1.255.721 hektare diperuntukkan bagi perkebunan yang tersebar di 5 kabupaten yang merupakan kawasan rawa gambut nasional rawan kebakaran. Seharusnya pemerintah dapat belajar dari kejadian asap di tahun 2015 yang rata-rata penyebabnya terjadi di ekosistem rawa gambut yang dalam penegakan hukumnya tidak menyentuh korporasi.

Kondisi kritis lahan rawa gambut itu dibeber Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel terkait Hari Tata Ruang Nasional (HTRN) 8 November.

Menurut Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Walhi Kalimantan Selatan, dari 13 Kabupaten/Kota, dengan luas 3,75 juta hektare dengan jumlah penduduk melebihi 4 juta jiwa, 50 % wilayahnya sudah dikuasai izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Sebanyak 1.242.739 hektare atau 33 % lahan di Kalsel telah dibebani izin tambang dan 618.791 hektare atau 17 % sudah dibebani izin perkebunan kelapa sawit.

“Bisa dikatakan Kalsel saat ini sedang darurat agraria atau darurat ruang,” kata Kisworo.

Maka dari itu menurut Kisworo, Pemprov Kalsel harus mengubah model tata kelola pembangunan yang ada menjadi kebijakan yang pro kepentingan rakyat, menjaga bentang alam Kalsel, dengan tak lagi memberi izin bagi kegiatan pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit.

“Saatnya pemerintah lokal memahami, kita ini sedang darurat kejahatan korporasi dan darurat ruang. Karena itu, negara harusnya serius dan komitmen dalam penegakan hukum, membentuk pengadilan lingkungan untuk menjerat para perusak lingkungan. Jika tak mengubah model tata kelola pembangunannya, maka Kalsel akan tertinggal dan dicap sebagai daerah yang tak mendukung upaya serius menghadapi dampak perubahan iklim,” bebernya.

Apalagi kondisi agraria di Kalsel semakin diperparah dengan masih terjadinya perampasan wilayah kelola rakyat, konflik agrari, konflik tenurial di Kabupaten Tanah Bumbu, Kotabaru, Tanah Laut, Banjar, Tapin, HSS, HST, HSU, Balangan, Tabalong dan pengrusakan lingkungan terhadap kekayaan bentang alam (landscape) Kalsel. Seperti sumber energi, hutan, eko

sistem rawa gambut, ekosistem karst, ekosistem laut dan pulau-pulau kecil.

“Fakta ini menunjukkan buruknya model tata kelola wilayah dan pembangunan di Kalsel,” ujar aktivis lingkungan Banua ini.

Aktivis yang biasa di pangil Cak Kis ini menambahkan, walaupun negara melalui Presiden Jokowi berkomitmen untuk program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare dan 9 juta hectare untuk TORA (Tanah Objek Reform Agraria), tapi di Kalsel masih belum maksimal bisa dilaksanakan.

“Masih perlu perjuangan panjang terutama wilayah kelola rakyat di masyarakat adat Dayak Meratus dan wilayah kelola rakyat yang masuk dalam konsesi perusahaan,” katanya.

Tentu ini masih menjadi PR dan agenda besar yang harus segera diselesaikan oleh negara, karena salah satu faktor rakyat menjadi sejahtera adalah alat produksi yaitu salah satunya adalah tanah.

Masih menurut Cak Kis, selama puluhan tahun model pembangunan pemerintah yang berbasis ekstraksi kekayaan alam skala besar oleh korporasi terbukti menghasilkan bencana ekologis, ketimpangan dan kemiskinan, serta konfik sosial dan agraria. Sedangkan model kelola yang telah diterapkan masyarakat adat dan lokal sebelum NKRI merdeka sampai sekarang masih terbukti mampu bertahan dan bahkan kondisi lingkungannya masih lestari.

“Masyarakat Adat Dayak Meratus, masyarakat lokal rawa gambut, nelayan tradisional selama ini telah melakukan praktek terbaik dalam pengelolaan ruang hidupnya,” ujarnya.

Karena itulah, Walhi Kalsel dalam advokasi lingkungan hidupnya menegaskan agar Pemprov Kalsel segera me-review RT/RW Provinsi Kalsel untuk tata ruang wilayah harus dimulai dan berangkat dari desa. Wilayah kelola rakyat Masyarakat Adat Dayak Meratus dan masyarakat lokal rawa gambut, nelayan kecil/tradisional harus segera mendapat pengakuan dari negara dan pemerintah daerah.

“Pemerintah harus komitmen stop izin baru untuk perusahaan ekstraktif skala besar dan monokultur skala besar. Tata ruang wilayah harus berpijak dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan,” pungkasnya. (robby)


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->