Connect with us

Budaya

Sasirangan, ‘Batik’ Kebanggaan Kalsel yang Harus Dilestarikan

Diterbitkan

pada

Proses pembuatan kain sasirangan yang memerlukan ketelitian untuk motif terbaik Foto: mario

BANJARMASIN, 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Diambilnya hari ini sebagai hari busana batik karena pada tanggal sama pada tahun 2009 silam, UNESCO menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Pada tanggal ini, beragam lapisan masyarakat dari pejabat pemerintah dan pegawai hingga pelajarkan disarankan untuk mengenakan batik.  Begitu juga dengan Banjarmasin, baik di sekolah dan institusi yang ada, semua anggotanya mengggunakan kain batik khas Kalsel, yakni Sasirangan.

Sasirangan sendiri sebenarnya berbeda dengan batik. “Kalau orang luar Kalimantan, pasti bilangnya Batik Sasirangan. Padahal bukan. Soalnya batik kan pakai canting dan malam. Kalau (sasirangan) kita kan dijelujur,” kata Rusdiana, salah seorang pembuat kain Sasirangan di Jalan Seberang Mesjid RT 5 Gg. 1 Syazali St. Hajar, Banjarmasin.

Untuk jenis kain yang digunakan pun cukup beragam. Mulai dari katun, prima, sating, dan sutra. “Ada juga sarimbit, itu kain pasangan suami istri” terang Rusdiana yang sudah berkecimpung dalam dunia pembuatan kain sasirangan ini selama 15 tahun.

“Jadi nanti kainnya dipotong 2 atau 3 meter dulu, baru kita kasih pola. Setelah itu dijelujur, lalu kalau sudah, ditarik kencang, dan lanjut proses pewarnaan. Ditarik kencang supaya saat proses pewarnaan tidak keluar dari pola,” tambahnya.

Dalam proses pembuatan, jelujur adalah proses yang paling banyak mememakan waktu. “Yang paling lama itu menjelujur, butuh waktu paling cepat 2 hari. Kalau proses pewarnaan, cukup sehari. Nanti setelah proses pewarnaan selesai, baru jahitannya dilepas. Lalu setelah itu dicuci, ditiriskan, dan disetrika.”

Untuk proses pembuatan dari awal hingga kain sudah siap jual, biasanya perlu proses hingga 1 pekan.

Sasirangan yang diproduksi dari tempat ini sudah jauh melalalang buana hingga ke Jawa bahkan Malaysia. Kadang mereka juga menerima pesanan motif  ‘by request’. “Kita lihat dulu polanya, kalau bisa, kita kerjakan,” katanya.

Untuk sistem kerja, mereka dibagi menjadi dua shift yaitu jam 9 pagi hingga jam 5 sore dan jam 2 siang hingga jam 9 malam. Rusdiani juga menjelaskan bahwa ada juga jenis kain seperti sutra misalnya, yang agak susah untuk dibuat pola.

“Untuk bikin pola di kain sutra agak susah karena licin. Jadi harus telaten dan hati-hati dalam membuatnya. Biasanya kalau tahun ajaran baru yang banyak pesanan untuk sekolah dan kantor. Sekali pesan bisa 100, 200, atau bahkan 400 kain. Tergantung keperluan. Biasanya untuk pesanan yang banyak akan selesai dalam sebulan. Karena pekerjaan diprioritaskan ke kain pesanan,” ungkap Rusdiani.

Di satu sisi, Rusdiani sangat menyayangkan adanya kain sasirangan yang sekarang bisa dibuat menggunakan proses printing. “Apalagi sekarang kain sasirangan ada yang printing, ini yang orang banyak tidak tahu. Biasanya kalau printing lebih rapi dan cepat jadi. Beda dengan buatan tangan. Cuma sayangnya, nilai seni dari pembuatan kainnya itu jadi hilang.”

Di Hari Batik Nasional ini Rusdiani juga menyampaikan harapannya agar kain sasirangan ini bisa lebih mendunia dan dikenal oleh banyak orang serta tetap bertahan dengan proses pembuatannya yang manual. “Harapannya semoga pemerintah bisa lebih mengenalkan batik ke luar daerah, biar banyak yang tahu,” pungkasnya. (mario)

Reporter: Mario
Editor: Chell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->