Connect with us

Bisnis

Mengenal Apa Itu Resesi Ekonomi dan Faktor Penyebabnya?

Diterbitkan

pada

Indonesia resmi memasuki resesi ekonomi Foto: freepik

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU – Resesi ekonomi saat ini menghantui negara-negara di dunia, bahkan Indonesia telah resmi memasukinya. Resesi adalah menurunan aktivitas ekonomi yang signifikan dan berlangsung selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.

Dikutip dari Forbes, resesi ekonomi terjadi ketika produk domestik bruto (PDB) negatif, meningkatnya pengangguran, penurunan penjualan ritel dan kontransi pendapatan dan manufaktur untuk jangka waktu yang lama.

Pada tahun 1974, ekonom Julius Shiskin memberikan beberapa aturan praktis untuk mendefinisikan resesi yakni penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut.

Ekonomi yang sehat tentunya berkembang dari waktu ke waktu, sehingga dua perempat produksi yang menyusut menunjukkan adanya masalah mendasar yang serius, menurut Shiskin.

Definisi resesi ini menjadi standar umum selama bertahun-tahun. Resesi disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama “guncangan” ekonomi yang mengganggu kinerja finansial.

Pada 1970-an, OPEC pernah memutuskan pasokan minyak ke AS tanpa pemberitahuan yang menyebabkan resesi di negara tersebut. Saat ini, wabah virus corona atau Covid-19 yang terjadi hampir di seluruh negara di dunia, menjadi salah satu penyebab resesi di berbagai negara, misalnya Singapura dan Korea Selatan.

Kedua, utang yang berlebihan. Ketika individu atau bisnis memiliki terlalu banyak utang, dan tak mamput membayar tagihan mereka, dapat menyebabkan kebangkrutan kemudian membalikkan perekonomian.

Ketiga gelembung aset. Hal ini terjadi ketika investasi didorong oleh emosi. Misalnya pada 1990-an saat pasar saham mendapat keuntungan besar.

Mantan Pemimpin FED, Alan Greenspan sering mengungkapkan istilah dengan nama “kegembiraan irasional.” Investasi yang didorong oleh emosi ini menggembungkan pasar saham, sehingga ketika gelembungnya pecah, maka akan terjadi panic selling yang tentunya dapat menghancurkan pasar dan menyebabkan resesi.

Keempat, inflasi yang tinggi. inflasi adalah tren harga yang stabil dan naik dari waktu ke waktu. Inflasi bukanlah hal yang buruk bagi ekonomi. Tetapi inflasi yang “berlebihan” dapat membahayakan resesi.

Bank Sentral AS maupun Bank Indonesia, umumnya menaikkan suku bunga untuk menekan aktivitas ekonomi. Inflasi yang tak terkendali adalah masalah yang pernah dialami AS pada tahun 1970-an.

Kelima, deflasi yang tinggi. Meskipun inflasi yang tak terkendali dapat menyebabkan resesi, deflasi dapat menjadi lebih buruk. Deflasi adalah saat harga turun dari waktu ke waktu, yang menyebabkan upah menyusut, yang selanjutnya menekan harga.

Ketika deflasi lepas kendali, orang dan bisnis berhenti berbelanja, mana hal ini berdampak pada ekonomi suatu negara. Deflasi yang tak terkendali pernah dialami Jepang yang menyebakan resesi. Jepang berjuang sepanjang tahun 1990-an untuk keluar dari resesi tersebut.

Upaya Mengatasinya dan Sampai Kapan?

Juru bicara Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari mengatakan bahwa pemerintah telah mencoba upaya terbaiknya agar penyaluran stimulus-stimulus dan anggaran, yang tercakup dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar 695,20 triliun rupiah, efektif di lapangan.

“Stimulus fiskal yang sudah dikeluarkan pemerintah, satu per satu mulai diimplementasikan, tentunya dengan berbagai dinamika di lapangan, mengingat pertama, peristiwa [pandemi Covid-19] ini shocking, kepada kita semua, di mana kita harus cepat-cepat menyiapkan uang dan tata kelolanya juga.

“Jadi saya kira semua pihak mencoba at their best effort untuk melakukan hal ini,” kata Rahayu.

Ia menambahkan, Kemenkeu telah menyiapkan tim yang khusus memonitor dan mengevaluasi penyaluran stimulus dalam program PEN tersebut.

“Per tiga hari kita melakukan konsolidasi dan setiap minggu ini dibicarakan dengan Menkeu untuk dicarikan solusi-solusinya seperti apa.

“Ini supaya penyerapan terjadi lebih cepat dari anggaran yang sudah dialokasikan. Kedua supaya cepat sampai ke beneficiaries atau mereka yang menikmati manfaat [program] tersebut. Kita tidak punya luxury time berlama-lama dan ini butuh kolaborasi bersama,” ujar Rahayu.

Terakhir kali Indonesia mengalami krisis ekonomi masif adalah pada krisis moneter 1997-1998. Enny Sri Hartati mengatakan Indonesia membutuhkan waktu lebih dari lima tahun untuk bangkit.

“Berdasarkan pengalaman kita menghadapi krisis ’97-’98 saja tidak cukup lima tahun untuk benar-benar pulih. Dampak pandemi itu jauh lebih berat daripada krisis ’97-’98.

“Karena krisis ’97-’98 itu hanya beberapa sektor yang berdampak, kali ini dampaknya seluruh sektor,” kata Enny.

Meski demikian, Enny mengatakan pemerintah nampaknya telah mengantisipasi krisis ekonomi akibat pandemi akan berlangsung selama tiga tahun, jika melihat dari sikap pemerintah yang menerbitkan aturan soal relaksasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang membolehkan defisit APBN di atas 3% selama tiga tahun.

Defisit APBN terjadi apabila pengeluaran negara lebih besar dari pendapatannya. Dalam krisis ekonomi, pemerintah mungkin menggontorkan pengeluaran yang lebih besar untuk merangsang daya beli masyarakat lewat program-program seperti bantuan sosial atau pengurangan bunga atas cicilan kredit masyarakat.

“Artinya mereka memprediksi dalam tiga tahun minimal [ekonomi] bisa pulih, artinya ‘pulih’ itu adalah kegiatan ekonomi sudah mulai normal.

“Tapi kalau pulih yang benar-benar mampu untuk akselerasi [pertumbuhan] dan sebagainya, itu tergantung pada respon kebijakan pemulihan ekonomi selama 2-3 tahun [ke depan] ini,” jelas Enny.(Kanalkalimantan.com/berbagai sumber)

 

Editor: Cell

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->