Connect with us

Kanal

Melawan dari ‘Jantung’ Meratus, Kisah Kampung Kiyu Menolak Kungkungan Tambang (1)

Diterbitkan

pada

Suasana Kampung Kiyu yang masih asri Foto : Mario

Kampung Kiyu, Desa Hinas Kiri, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) mungkin tenggelam di tengah berbagai berita pembangunan. Tapi, suara dari sekitar 300 jiwa (jika digabung dengan jumlah penduduk Desa Hinas Kiri mencapai 700 jiwa, red), terus menggema terkait keberanian dalam melakukan penolakan kungkungan pengusaha tambang. Sebuah keberanian dan konsistensi, yang justru tenggelam di daerah-daerah lain.

Selama beberapa hari, jurnalis Kanalkalimantan.com, Mario Christian Sumampow, mengunjungi beberapa titik desa yang berada di kaki Meratus tersebut. Mulai Kampung Kiyu yang merupakan bagian dari Desa Hinas Kiri dan Desa Nateh. Berikut hasil liputan yang dituliskan secara berseri:

————————-

HST merupakan satu-satunya atap alam terakhir di Kalsel yang masih bersih dari industri tambang. Tapi, ketenangan itu menjadi terusik saat 4 Desember 2017 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menekan surat izin menambang batu bara untuk Mantimin Coal Mining (MCM) di kawasan  pegunungan Meratus. Tepatnya di Blok Batu Tangga yang tercakup dari Desa Batu Tangga, Nateh, dan Pembakulan di Kecamatan Batang Alai Timur.

Meski sudah mendapat izin, perusahaan asal India ini masih belum bisa beroperasi lantaran Amdal yang tertahan di pemerintah daerah. Jika penambangan dilakukan, habislah sudah kehidupan yang berada di kaki-kaki gunung yang membentang sejauh 600 kilometer persegi ini.

Pegunungan ini terbentang dari Kabupten Banjar, Tapin, Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS), Balangan, Tabalong, Kotabaru, dan Tanah Laut.

Kampung Kiyu berjarak kurang lebih setengah jam perjalanan dari Desa Nateh. Sebelum menjelajah Nateh. Di kampung-kampung kecil inilah, kita belajar tentang bagaimana konsistensi dalam menjaga lingkungan, adat, dan budaya tetap lestari. Di tengah iming-iing dolar yang menggiurkan dari industri pertambangan!

Kepala Adat Desa Ninas Kiri, Haris mengatakan, berbagai langah dilakukan agar kampung dan komunitas adat tetap bisa bertahan. Salah satunya, adalah membuka diri dan menggalang solidaritas bersama para pecinta dan penyelamat lingkungan. Salah satunya dengan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) se-Indonesia yang tengah melakukan kegiatan Temu Wicara Kenal Medan (TWKM) ke XXXI.

“Apa yang kami lakukan, agara para pendaki ini dapat saling menjaga alam dan sesama ketika mulai mendaki satu-satunya pegunungan di Kalsel yang hutannya masih utuh,” ungkapnya.

TWKM ini ujar Haris juga merupakan salah satu langkah dalam hal partisipasi masyarakat dalam melindungi satu-satunya hutan yang masih perawan di Kalsel ini. Melindungi Meratus tidak hanya menjaga agar Meratus tidak terjangkau oleh izin tambang. “Tapi juga menjadi langkah dalam melindungi masyarakat Adat Dayak Meratus, yaitu Dayak Balian yang kehidupan dan prosesi adatnya tidak lepas dari pegunungan Meratus. Apabila hutanya sudah rusak, adatnya pun juga rusak,” tutur Haris.

Pun juga air, merupakan sumber daya alam yang dirasa Yani sangat penting. Jika hutan rusak, air tercemar, tentu akan berdampak besar. Mengingat di pegunungan meratus ada banyak perairan yang menjadi sumber untuk irigasi pertanian, perikanan, hingga sumber air minum. Juga flora dan fauna pasti mengikuti jurang kepunahan.

Bantaran sungai seperti sungai Barabai, Sungai Batang Alai, Sungai Sampanahan, Sungai Amandit, bersumber dari satu aliran sungai yang bersumber dari pegunungan Halau-halau.

Kadis Lingkungan Hidup HST, Muhammad Yani, mengatakan, dengan adanya TWKM ini dapat lebih menyebarluaskan lagi gaung save Meratus. Sehingga isu Meratus ini bisa menjadi isu nasional bahkan internasional.

Dalam kegiatan pelaksanaan pelepasan juga ditampilakan tiga jenis tarian adat ciri khas Dayak Balian Meratus yang dibawakan oleh pemuda-pemudi Kampung Kiyu, yaitu: Tari Bakanjar, Tari Bebangsai, dan Tari Capung. (bersambung)


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->