Connect with us

Kota Banjarbaru

Kisah Bertaruh Nyawa Demi Dapatkan ‘Si Galuh’ di Cempaka

Diterbitkan

pada

Para pekerja menggali pasir untuk mendapatkan intan di lokasi pendulangan di Cempaka Foto: dok

BANJARBARU, Raungan suara mesin diesel penyedot tanah dan pasir terdengar begitu sampai di lokasi penambangan intan di jalan Trisakti, Desa Pumpung, Kelurahan Cempaka, Banjarbaru. Deru mesin itu seperti irama lagu sehari-hari yang menemani cerita para penambang intan di tempat tersebut. Semua dilakukan hanya demi mendapatkan ‘Si Galuh’ alias intan yang ada di sana!

Di lokasi, kita bisa melihat lubang-lubang besar bekas galian tambang. Sejumlah penambang terlihat sibuk bekerja di posisi masing-masing. Ada yang melakukan penyemprotan dan penyedotan untuk menggali tanah sumber intan, ada yang menjaga panggungan/penyaring tanah yang disedot, ada yang menjaga penyedot pasir, serta ada yang mendulang intan dengan cara tradisional sisa dari pembuangan panggungan.

Menurut Mujahid (34), salah satu pekerja di tambang, pendulangan di tempat ini biasanya dilakukan oleh 4 kelompok yang masing-masing kelompok berisi 9-12 orang, dan setiap kelompok menggunakan 1 unit mesin.

Anggota setiap kelompok memiliki tugas masing-masing, 10 orang bertugas untuk menggali serta menyedot tanah, 1 orang bertugas untuk menjaga panggungan penyaringan dan sisanya mengumpulkan pasir. Kegiatan ini bisa berlangsung dari jam 10.00-16.00 Wita saban harinya, dilanjutkan dengan proses pemisahan untuk mendapatkan intan ataupun emas.

Mulkani (45) yang juga seorang pekerja di tambang ini mengatakan, selain mencari si galuh -sebutan warga pendulang intan- dan emas, para pekerja mendapatkan tambahan penghasilan dari penjualan pasir yang mereka sedot dari hasil pembuangan proses penyaringan. Dimana dalam sehari bisa mendapatkan 7-8 rit pasir dengan harga jual Rp 150.000 per ritnya, namun tidak semua pasir habis terjual. “Hari ini baru dua rit yang terjual,” katanya kepada Kanalkalimantan, beberapa waktu silam.

Mulkani menambahkan, setelah dibagi-bagi dengan pemilik tanah dan pemilik peralatan, para pekerja mendapatkan penghasilan sekitar Rp 30-50 ribu perorang, tergantung hasil yang mereka dapatkan. Pembagian hasil dilakukan dengan cara 15% untuk pemilik tanah, kemudian sisanya dibagi 2 antara pemilik mesin dan pekerja.

Setelah pembagian dengan pemilik mesin, para pekerja kembali membagi hasil mereka satu kelompok dengan pembagian dengan rata-rata setiap harinya mendapatkan Rp 50.000 per orang, tergantung hasil yang mereka dapatkan.

Tentu saja, bekerja sebagai pendulang intan seperti ini memiliki risiko yang sangat membahayakan alias taruhan nyawa. Menurut Mujahid (34), beberapa kali juga terjadi kecelakaan yang menewaskan pekerja lantaran tertimbun longsor di lubang bekas galian tambang.

Selain menggunakan mesin, ada pula masyarakat yang melakukan penambangan intan secara tradisional. Masyarakat yang mendulang secara tradisional ini hanya mendulang intan dari pasir limbah buangan dari penyedotan dan penyaringan sebelumnya. Pendulang seperti ini bekerja secara individu tanpa berkelompok, alat yang digunakan pun cuma berbekal alat linnggangan.

Aini (50), salah satu warga yang bekerja secara sendirian mendulang intan bercerita, terkait pengalamannya yang pernah mendapatkan intan, emas, dan bahkan uang-uang yang digunakan VOC waktu penjajahan zaman dulu yang dia jual kepada pembeli dari luar negeri.  Hal ini menurutnya wajar karena tambang intan ini sudah ada semenjak zaman penjajahan.

Dia menambahkan, bekerja sebagai penambang intan dilakukan sebagai kerja sambilan, karena dia juga bekerja sebagai penjual batu permata (gemstone) dengan cara membuka toko di depan rumah sendiri ataupun menawarkan langsung kepada para pengunjung yang datang ke tempat ini. (dok.kanalkalimantan)

Reporter:dok.kanalkalimantan
Editor:Abi Zarrin Al Ghifari


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->