Connect with us

Kanal

Anggaran KPA Cuma Dijatah Rp 47 Juta

Diterbitkan

pada


BANJARBARU, Rentannya kasus HIV/AIDS di Banjarbaru mestinya tetap menjadi perhatian. Namun kenyataannya, anggaran operasional penyuluhan dan tes HIV pada Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Banjarbaru malah dipangkas tajam pada 2018 hingga menjadi Rp 47 juta. Lantas, apa yang bisa dilakukan dengan anggaran segitu?

Ketua KPA Banjarbaru Edy Sempana mengatakan, ada penurunan drastis anggaran operasional dalam dua tahun terakhir. Tahun 2016, anggaran untuk KPA sebelumnya diplot Rp 300 juta, pada 2017 dijatah Rp 121 Juta. Dan untuk 2018 hanya tersisa Rp 47 juta.

Perlunya perhatian lebih untuk masalah ini, sebenarnya bisa dilihat dari angka HIV di Banjarbaru yang menempati posisi tertinggi ketiga di Kalimantan Selatan. Berkurangnya anggaran KPA, kata Edy, jelas memengaruhi kinerja dari KPA.

“Otomatis kegiatan di luar gedung juga dikurangi. Mulai penyuluhan dan tes HIV (Human Immunodifeciency Virus), kemudian cetak-cetak juga pertemuan guru-guru dikurangi, lomba-lomba pun dihilangkan,” katanya.

Berdasarkan data 2012, angka penderita HIV sebanyak 864 orang. Dengan berkurangnya dana, penyuluhan dan tes HIV akan terkendala, hal tersebut mungkin mengakibatkan bertambahnya penderita HIV. “Jika kita hanya menunggu di Rumah Sakit, si pasien penderita AIDS yang datang berobat tentunya itu sudah terlambat. Semestinya kita lakukan pemeriksaan dini, pengidap HIV terlihat masih sehat, karena perjalanan penyakit tersebut baru akan terlihat pada masa 5-10 tahun kemudian,” terangnya.

Tak hanya itu, upaya deteksi dini akan berkurang. Penyuluhan pada tingkat dasar itu untuk mencegah penularan baru, kemudian pada siswa SLTP dan SLTA hanya melakukan penyuluhan, tidak melakukan tes, karena siswa tersebut masih dianggap di bawah umur.

“Dengan adanya pemangkasan dana, otomatis upaya akan berkurang, kita lebih memprioritaskan deteksi dini penyakit HIV. Agar generasi muda tidak melakukan perilaku beresiko, generasi yang agak tua supaya mereka mau ikut tes, sedangkan siswa SLTA logika kita belum melakukan hubungan seks, jika melakukan hubungan seks pun frekuensinya tidak seperti orang yang sudah menikah ,” tuturnya.

Menurut Edy, dengan cekaknya anggaran otomatis percetakan brosur ketika penyuluhan akan dikurangi. Alhasil, sosialisasi lebih banyak lewat mulut. Tidak ada bahan bacaan yang bisa diberikan, sebab biaya pencetakan juga mahal.

Menurutnya, dana Rp 47 juta sangat minim. Sebab dalam sekali pertemuan bisa menghabiskan sekitar Rp 12 juta. Untuk uang transport dan makan/minum per orang sekitar Rp 50 ribu.

“Maksudnya dengan kegiatan penyuluhan atau kegiatan di lapangan dikurangi, maka mungkin dimasa yang akan datang kita lebih banyak menemukan kasus AIDS dari pada HIV. Beberapa tahun terakhir ini kan lebih banyak menemukan HIV, artinya kita menemukan orang HIV ada dua keuntungan, pertama menolong pasien bahwa dia ditemukannya dini kemudian memberi tahu agar jangan sampai menulari orang lain,” paparnya.***


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->