Connect with us

HEADLINE

Vonis Janggal Kasus Pemerkosa Oknum Polisi, Jaringan Perempuan Borneo: Dua JPU Harus Disanksi!

Diterbitkan

pada

Ilustrasi pemerkosaan. Foto: ist

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARMASIN – Jaringan Perempuan Borneo ikut terpantik atas kejanggalan vonis kasus pemerkosaan mahasiswi Fakultas Hukum (FH) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin yang terbukti dilakukan oknum polisi di Polresta Banjarmasin.

Pihaknya mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Komisi Kejaksaan untuk menjatuhkan sanksi etik kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) S dan A.

“Jatuhkan sanksi etik kepada JPU yang menyatakan menerima putusan tanpa mengkomunikasikan putusan kepada korban dan keluarga korban untuk memilih banding atau menerima putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin,” kata Anggota Jaringan Perempuan Borneo, Mariatul Ashiah, dalam rilis“Menanya Ulang Keberpihakan Penegakan Hukum Kepada Korban Kekerasan Seksual”, Selasa (25/1/22).

Mariatul mengatakan, pihaknya juga mendesak Mahkamah Agung (MK) dan Komisi Yudisial (KY) untuk meninjau ulang putusan majelis hakim atas perkara tersebut.

 

 

Baca juga: KPK Sebut Kerangkeng Berisi Manusia Di Rumah Bupati Langkat Adalah Para Pekerja Sawit

MK dan KY turut kami desak katanya, untuk memberikan sanksi etik kepada majelis hakim yang tidak mengimplementasikan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang perempuan berhadapan dengan hukum, dan tidak mengedepankan prinsip perlindungan dan pemulihan bagi korban dan keluarga korban.

Jaringan Perempuan Borneo menilai selain proses hukum yang sangat cepat, aparat penegak hukum di Kalimantan Selatan juga menghilangkan hak korban untuk didampingi penasehat hukum advokat selama menjalani upaya hukum yang diatur ketentuan dalam KUHAP.

“Korban seolah dibuat bungkam tanpa ada ruang untuk berpendapat dan bersikap selama menjalani upaya hukum. Korban mengaku hanya menghadiri dua kali proses sidang, tidak mengetahui apalagi menghadiri sidang putusan dan tidak tahu ihwal Jaksa Penuntut Umum telah menerima putusan majelis hakim,” lanjutnya.

Selain itu, JPU berinisial S dan A mendakwa Pelaku dengan pasal yang tidak tepat yaitu Pasal 286 KUHP tentang persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya dengan ancaman pidana penjara maksimal 9 tahun atau Pasal 290 Ke-1 KUHP tentang mencabuli orang pingsan dengan ancaman pidana penjara maksimal 7 tahun.

“Padahal menurut kami, berdasarkan fakta perbuatan pelaku, pasal yang diberikan tidaklah tepat dan seharusnya Pasal 285 KUHP tentang perkosaan dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun lebih tepat diterapkan pada pelaku berikut sanksi etik kepolisian,” ungkapnya.

Baca juga: Tak Perlu ke Samsat Banjarbaru, Kini Bayar PKB Bisa Pakai Aplikasi Signal

Kendati ada Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, pun katanya, juga tidak menjadi rujukan dan ruang, yang digunakan aparat penegak hukum untuk menjerat pelaku pada hukuman maksimal dan memberikan perlindungan serta pemulihan pada korban dan keluarga korban.

“Kami prihatin atas ketidakberpihakannya hakim dan jaksa di Kalimantan Selatan khususnya dan Indonesia pada kepada korban dan keluarga korban,” katanya.

Tidak ada kata tidak untuk penjahat kemanusiaan, katanya, selain hukuman yang seberat-beratnya karena telah mengabaikan rasa kemanusiaan. Untuk itu sudah saatnya RUU TPKS segera disyahkan.

“Kita tidak ingin menunggu lebih lama lagi dengan semakin banyaknya korban berjatuhan,” tutupnya. (kanalkalimantan.com/wanda)

Reporter : wanda
Editor : bie


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->