Connect with us

Bapak Bangsa

Utang Besar Indonesia pada Bung Kecil, di Antara Jalan Damai dan Konfrontasi

Diterbitkan

pada

Sjahrir memiliki peran besar bagi kemerdekaan Indonesia Foto: berdikari

KANALKALIMANTAN.COM, BANJARBARU – Indonesia berutang besar pada Sjahrir. Pada sosok pria bertubuh kecil bernama lengkap Sutan Sjahrir ini. Lahir di Padang Panjang, pada tanggal 5 Maret 1909, ia anak seorang jaksa lokal yang bernama Mohamad Rasad Gelar Maharajo Sutan, dan ibu bernama Puti Siti Rabiah.

Ketika Sjahrir berusia empat tahun, ayahnya diangkat oleh Sultan Deli untuk menjadi kepala jaksa sekaligus penasihat di Kesultanan Deli.

Pengangkatan jabatan yang sangat bergengsi ini membuat orangtua memiliki dana yang cukup untuk menyekolahkan Sjahrir di sekolah-sekolah berkualitas di Medan dan Bandung. Di Medan, Sjahrir mengenyam pendidikan di ELS & Mulo terbaik di Medan. Setelah lulus tahun 1926, Sjahrir melanjutkan sekolahnya ke AMS paling bergengsi di Bandung.

Punya kesempatan bersekolah di tempat bergengsi dengan kondisi finansial orangtua yang berkecukupan gak bikin Sjahrir takabur, tapi justru dia pertanggungjawabkan dengan optimal. Selama bersekolah, Sjahrir dianggap bintang kelas yang sangat cerdas, rajin baca buku filsafat, dan sangat aktif dalam berbagai macam kegiatan. Dari mulai klub teater, bermain musik biola, sampai ikut klub sepak bola di Bandung.

Sjahrir yang kala itu masih 18 tahun, mendirikan sekolah untuk kaum miskin di Bandung yang diberi nama Tjahja Volksuniversiteit atau dalam bahasa Melayu berarti “Universitas Rakyat Cahaya”. Di lembaga pendidikan ini, entah berapa banyak anak-anak kurang mampu di Bandung yang diajari membaca dan menghitung secara gratis.

Sepak terjang Sjahrir remaja tidak hanya dalam bidang sosial saja, bersama teman-temannya, Sjahrir mendirikan sebuah klub diskusi politik untuk para pemuda di Bandung, yang dinamakan Patriae Scientiaeque. Kegiatannya di klub diskusi itu membawa takdir pertemuan dengan sosok aktivis lain dari klub debat tetangga (Algemenee Studie Club), yang dipimpin seorang mahasiswa Bandung Technische Hogeschool (ITB) bernama Koesno (alias Ir. Sukarno).

Sampai akhirnya, Sukarno (26 tahun) bersama teman-temannya di klub diskusi mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927. Dalam partai itu, Sjahrir (18 tahun) dipercaya untuk mengurus organisasi pemuda PNI yang awalnya disebut Jong Indonesien, lalu berubah nama menjadi Pemuda Indonesia.

Bentuk kepercayaan yang diberikan pada Sjahrir ini ia manfaatkan untuk membuat momentum bersejarah bersama dengan Jong Indonesien pada tahun 1928, dengan mewujudkan Kongres Pemuda Indonesia II yang menghasilkan semangat perjuangan baru, bernama Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.

***
Setelah lulus dari AMS tahun 1929, Sjahrir melanjutkan kuliah di Eropa, tepatnya di Fakultas Hukum Universiteit van Amsterdam. Tidak lama setelah keberangkatan dirinya ke Amsterdam, pemimpin Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff, mengeluarkan perintah menangkap para pemimpin PNI. Termasuk Soekarno, Gatot Mangkupradja, dan kawan-kawan.

Pada masa awal kuliahnya, Sjahrir aktif mengikuti kegiatan sebuah klub studi yang bernama Sociaal Democratische Studenten Club. Klub studi yang diikutin sama Sjahrir ini merupakan bentukan dari Partai Sosialis Demokrat Belanda (Sociaal Demokratische Arbeiderspartij – SDAP).

Pada klub inilah, Sjahrir untuk pertama kalinya membedah secara mendalam gagasan-gagasan politik kelas dunia yang sedang bergelora saat itu, seperti pemikiran Friedrich Engels, Otto Bauer, Karl Marx, Rosa Luxemburg, dan filsuf kelas dunia lainnya. Mendapatkan kesempatan pendidikan di Eropa benar-benar membuat pemikiran Sjahrir menjadi terbuka dari berbagai macam gagasan serta situasi politik internasional yang sedang terjadi.

Sampai pada akhirnya, karena masalah keuangan keluarga, Sjahrir terpaksa harus pindah dan tinggal di rumah ketua klub SDAP sekaligus sahabatnya, Salomon Tas. Sejak saat itu Sjahrir pindah kuliah ke Universiteit Leiden dan mulai belajar mandiri dan bekerja di sebuah perusahaan transportasi.

Sementara itu, pergerakan awal untuk membebaskan Hindia Belanda sudah dimulai oleh para senior Sjahrir, tepatnya oleh gerakan Perhimpunan Indonesia (PI) di Rotterdam yang saat itu diketuai oleh Mohammad Hatta.

Infografis: kanalkalimantan/andy

Singkat kata, Bung Hatta yang saat itu lagi ribet oleh berbagai macam hal, memerlukan sosok pendamping. Berita tentang seorang pemuda berbakat yang bernama Sjahrir membuat Hatta memanggilnya untuk membantu pergerakan dari Perhimpunan Indonesia sebagai sekretaris.

Sementara itu, keadaan perjuangan di tanah air juga sedang terhambat. Terutama pasca penangkapan Soekarno tahun 1929 oleh de Graeff, pergerakan kemerdekaan yang tadinya dimotori oleh PNI semakin ciut.

Terlebih lagi, pecahan PNI yang membentuk partai baru bernama Partindo malah bersikap cenderung kooperatif terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Ketika pergerakan kemerdekaan Indonesia hampir padam sepenuhnya, Hatta & Sjahrir segera membentuk surat kabar yang dinamakan Daulat Ra’jat untuk terus menyuarakan suara pemberontakan pada Hindia Belanda untuk membakar semangat pemberontakan.

***
Maret 1942, Belanda nyerah kepada Jepang. Untuk memudahkan Jepang mendapat dukungan rakyat setempat, para tokoh ang sebelumnya dipenjara oleh Belanda seperti Soekarno, dibebaskan dari pengasingan di Bengkulu.

Setibanya di Jakarta, Sukarno memutuskan untuk bertemu dengan Hatta dan Sjahrir di rumahnya Hatta. Dari hasil pertemuan itu, Sukarno berpendapat bahwa untuk sementara kita perlu mengikuti keinginan Jepang, agar kemerdekaan Indonesia bisa didapatkan tanpa perlu pertumpahan darah.

Sementara itu, Sjahrir menolak bentuk perjuangan yang berkooperasi dengan Jepang dan lebih memilih meneruskan perjuangan secara underground dengan membangun basis massa agar semangat kemerdekaan tetap terjaga dari akar rumput. Akhirnya Sukarno & Hatta memilih jalan untuk berkooperasi dengan Jepang dengan harapan Indonesia dapat merdeka tanpa perlu membuang nyawa melawan tentara Jepang yang bahkan mampu memukul mundur Belanda hanya dalam beberapa bulan.

Menjelang pertengahan 1945, Jepang mengalami kekalahan beruntun di peperangan Pasifik melawan sekutu. Berdasarkan analisis Sjahrir, ini adalah saat yang paling tepat untuk menyatakan kemerdekaan, ia lalu mendesak Bung Karno untuk segera menyatakan kemerdekaan. Akan tetapi, Sukarno yang udah kepalang basah kerja sama dengan Jepang, memilih untuk berkonsultasi sama Jepang dulu biar ga terjadi pertumpahan darah.

Hal ini membuat Sjahrir kecewa dan semakin gemas mendesak tokoh-tokoh besar lain untuk berani menyatakan kemerdekaan, termasuk Bung Hatta & Tan Malaka, tapi semuanya belum berani secara terang-terangan melangkahi kekuasaan Jepang.

Setelah Bom Atom sekutu menghancurkan Hiroshima & Nagasaki (7 & 9 Agustus 1945), analisis Sjahrir sejak berbulan-bulan lalu tentang kekalahan telak Jepang semakin menjadi kenyataan. Lobby demi lobby dia terus mendesak Sukarno & Hatta untuk terus mendeklarasikan proklamasi, tapi “nanti-nanti” terus jawabannya. Sampai hari yang dijanjikan Sukarno akhirnya tiba (15 Agustus 1945) itulah yang sejatinya tanggal proklamasi yang direncanakan.

Tapi karena kondisi keamanan yang sangat tidak kondusif mengingat Jepang baru aja sehari nyerah sama Sekutu, Soekarno lagi-lagi menunda kemerdekaan. Di sisi lain, Sjahrir yang udah mengerahkan ribuan orang dari pelosok Jawa untuk datang ke Jakarta, lagi-lagi jengkel dengan Sukarno.

Para pemuda pengikut Sjahrir ikutan jengkel karena pembatalan ini, dan mendesak Sjahrir untuk langsung mengumumkan kemerdekaan! Walaupun jengkel dengan Sukarno, Sjahrir menolak untuk menyatakan kemerdekaan, karena menurut dia Sukarno tetap orang yang paling layak untuk melakukannya, terutama karena basis pendukungnya yang sangat banyak dan kharismanya yang selangit.

Sjahrir tetap bersabar, agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan sendiri. Puncak ketegangan ini memuncak ketika kelompok pemuda dari Menteng (Wikana, dan kawan-kawan) menculik Sukarno & Hatta ke Rengasdengklok. Ketika dengar berita bahwa Dwitunggal beneran diculik oleh pemuda!

Akhirnya Sukarno-Hatta dijemput balik sama Ahmad Subardjo untuk menyusun teks proklamasi di rumah Tadashi Maeda, Menteng. Keesokan harinya 17 Agustus 1945, akhirnya peristiwa yang dimimpikan oleh para tokoh awal pergerakan Indonesia sejak tahun 1931 terjadi juga. Indonesia akhirnya menyatakan proklamasi kemerdekaan.

Sjahrir, sebagai tokoh arsitek gerakan underground yang selalu bergerak di belakang panggung, memutuskan untuk tidak hadir dalam momentum paling bersejarah itu.

***
Pasca kemerdekaan, Indonesia memiliki 2 PR besar, yaitu: (1) upaya mempertahankan status kemerdekaan dari serangan militer Belanda maupun daerah-daerah terpencil yang masih dikuasai sisa tentara Jepang. (2) Upaya memenangkan pengakuan dunia internasional yang perlu diperjuangkan dalam bentuk perundingan dan perjanjian.

Dalam upaya menuntaskan misi kedua ini, ada 2 prestasi Sjahrir yang bikin dia dikenang sebagai diplomat ulung yang sangat cerdik membaca situasi dunia internasional. Pertama adalah keputusan cerdiknya untuk memberikan bantuan pada India yang saat itu sedang krisis pangan, dengan mengirim 500,000 ton beras pada 20 Agustus 1946!

India yang saat itu masih berada dalam koloni Inggris menyambut baik bantuan itu. Inggris yang memiliki kekuatan politik yang besar di Eropa, mulai menaruh simpatik pada Negara baru “kemarin sore” bernama Indonesia. Dengan sambutan baik Inggris, pada Indonesia.

Jeniusnya lagi, kemungkinan Sjahrir sudah meramalkan India akan segera merdeka dari kolonisasi Inggris dan memiliki kekuatan politik yang cukup kuat. Bener aja, India merdeka dari kolonisasi Inggris 15 Agustus 1947. Jawaharlal Nehru, Bapak Bangsa India sekaligus Perdana Menteri pertama masih ingat bantuan dari Sjahrir, akhirnya mengundang Indonesia berpartisipasi di Konferensi Hubungan Negara-negara Asia di New Delhi.

Di acara ini, jaringan internasional Sjahrir makin berkembang dan akhirnya dia diundang ke berbagai negara untuk memperkenalkan Indonesia. Inilah kenapa strategi diplomasi Sjahrir seringkali disebut “diplomasi kancil”, sekali tepuk 2 lalat mati! Setelah dari India, Sjahrir melanjutkan diplomasinya ke Kairo, Mesir, Suriah, Iran, Burma, dan Singapura untuk membangun hubungan baik dan minta dukungan pengakuan dunia kepada Indonesia. Makin keki banget deh Belanda!

Prestasi kedua Sjahrir adalah trik jitu Sjahrir mensiasati hasil Perundingan Linggarjati. Pada November 1946, delegasi Belanda siap berunding dengan delegasi Republik buat nyelesein sengketa wilayah Indonesia. Dengan segala cara Sjahrir mengupayakan agar Belanda mau berunding, termasuk dengan cara melobby temen-temen dia pas kuliah dulu yang sekarang sudah pada jadi pejabat di Belanda.

Gayung bersambut, Sjahrir akhirnya berhasil menggelar Perundingan Linggarjati. Walaupun hasil perjanjian Linggarjati dinilai merugikan wilayah Indonesia, tapi dengan cerdiknya Sjahrir mengusulkan tambahan satu pasal, yaitu pasal perundingan tingkat PBBjika saja nanti ada perselisihan di kemudian hari. Tanpa pikir panjang, Belanda setuju-setuju aja karena hasil perjanjiannya membuat untung Belanda.

Ujung-ujungnya, pasal tambahan usulan Sjahrir itulah yang menyelamatkan Indonesia ketika Belanda ngelancarin Agresi Militer I tahun 1947. Berkat adanya pasal ini, Belanda terbukti melanggar perjanjian dan harus menuntaskan persengketaan wilayah ini pada sidang Internasional. Momentum inilah yang membuat seluruh dunia melek bahwa Republik Indonesia sedang ditindas oleh mantan penguasa koloninya. Dunia semakin berpihak pada NKRI. Belanda tersandung keserakahannya sendiri.

***
Sebelum Indonesia merdeka, Sukarno dan Sutan Sjahrir sudah bersimpang jalan dalam menghadapi militer Jepang di Indonesia. Ini persoalan lama memang. Kritik Sukarno itu merujuk kepada perbedaan metode perjuangan di masa pergerakan nasional.

Tapi, Sukarno sadar pentingnya Sjahrir dalam menghadapi Sekutu pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Namun, di masa Demokrasi Terpimpin, Sjahrir adalah lawan politiknya. Sukarno juga tahu soal gerakan bawah tanah Sjahrir di masa pendudukan Jepang—aksi yang butuh nyali lebih.

Sebelum menjadi Perdana Menteri pertama pada November 1945, Sjahrir sangat sering mengecam orang-orang yang bekerja sama dengan Jepang sebagai kolaborator. Sukarno tahu hal itu. Namun, tidak ada pilihan, ia mesti bekerja sama dengan Sjahrir pasca-Proklamasi agar Indonesia tidak dicap sebagai bikinan Jepang jika hanya mengandalkan Sukarno-Hatta yang memang mau menggandeng Jepang.

Sjahrir bebas dari cap “antek Jepang” dan itulah mengapa Sjahrir dianggap tepat untuk menjadi Perdana Menteri. Sjahrir diandalkan untuk meyakinkan dunia Barat atau Sekutu yang memang menjadi lawan Jepang di kancah Perang Dunia II.

Bagi Sukarno, Sjahrir adalah orang berbahaya. Sjahrir dan lainnya sempat ditahan di Jakarta, kemudian Madiun. Kondisi itu semakin memacu tekanan darah tinggi Sjahrir, akhirnya ia sempat delapan bulan dirawat di Rumah Sakit Gatot Subroto sebelum ditahan di Jalan Keagungan.

Lalu, pada Februari 1965, ia dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, Jakarta. Kamar lembab dan sempit adalah tempat Sjahrir. Selain itu, Sjahrir tak diizinkan membawa makanan dari rumah.

Dalam hitungan minggu, Sjahrir kena stroke. Suatu malam Sjahrir ditemukan terkapar di kamar mandi oleh tahanan lain. Namun, tentara yang berjaga tak segera memberi pertolongan medis. Pertolongan untuk Sjahrir harus menunggu pagi.

Esoknya, Sjahrir dibawa ke rumah sakit. Setelah tindakan dari dokter, Sjahrir tak lagi bisa bicara. Istri Sjahrir, Siti Wahjunah alias Poppy, mengusahakan pengobatan suaminya ke luar negeri. Sjahrir akhirnya dibawa berobat pada 21 Juli 1965 ke Zurich, Swiss, atas izin Presiden Sukarno—yang dalam status tetap sebagai tahanan politik. Semua biaya pengobatan ditanggung oleh negara.

Sjahrir berada di Swiss hingga meninggal dunia di tahun berikutnya. Sjahrir yang terbiasa hidup dalam pengasingan sejak muda—Boven Digoel, Banda Neira, Prapat, Madiun—harus mengembuskan napas terakhirnya di pengasingan pula pada 9 April 1966, tepat hari ini 53 tahun lalu.

Meski begitu, di hari meninggalnya, Sukarno meneken SK Presiden RI No. 76/Tahun 1966. Isinya menyatakan Sutan Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional.

Jenazah Sjahrir dipulangkan ke tanah air. Sebuah liang disediakan untuknya di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 19 April 1966. Ketika Sjahrir meninggal dunia, kekuasaan Sukarno mulai meredup. (Kanalkalimantan.com/cel/berbagai sumber)

Editor: Cell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->