Connect with us

HEADLINE

Saat #Savemeratus Mengusik “Orangtua Asuh” di Deklarasi Geopark

Diterbitkan

pada

Sejumlah aktivis menggelar jumpa pers menyikapi deklarasi Geopark Nasional Meratus. Foto : Rico

BANJARBARU, Kemeriahan deklarasi Geopark Nasional Pegunungan Meratus (GNPM) oleh Pemprov Kalsel, Minggu (24/2) di Kiram Park, Kabupaten Banjar, telah usai. Namun, pesta tersebut tak memberikan kepuasan bagi sejumlah aktivis yang tergabung dalam gerakan #Savemeratus. Hal ini lantaran sejumlah hal masih menjadi pertanyaan yang mengambang bagi mereka. Terutama masa depan Meratus agar aman dari tangan-tangan industri tambang.

Sebab, pada deklarasi yang juga menghadirkan Slank dan roker lawas Inka Christie tersebut, #Savemeratus melihat kehadiran Forum Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Pertambangan Kalimantan Selatan di sana. Sementara, masyarakat adat di lingkungan Meratus justru tak dilibatkan. Ada apa sebenarnya?

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan yang menjadi bagian gerakan #Savemeratus bahkan menyatakan, GNPM belum bisa menjawab kebutuhan dan perjuangan mereka, terutama Masyarakat Adat Dayak Meratus.

Direktur Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono dalam jumpa pers menyikapi deklarasi GNPM yang digelar di kantornya, Senin (25/2) mengatakan, langkah Pemprov tersebut masih belum bisa membendung ancaman Pegunungan Meratus dari industri Tambang, Perkebunan Sawit, dan monokultur sekala besar.

Dalam pernyataan sikapnya, Walhi mempertanyakan langkah Pemprov Kalimantan Selatan dalam penentuan dan penetapan Geopark Meratus. Sebab langkah tersebut dari awal perencanaan dan penetapan, tidak melibatkan masyarakat sipil dan masyarakat sekitar lokasi Geopark Meratus.

“Kita juga mempertanyakan keterlibatan Forum Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Pertambangan Kalimantan Selatan dalam Geopark Meratus,” ungkap Direktur Walhi Kalsel Kisworo yang disapa Cak Kis.

Point lainnya, Walhi Kalsel mendesak Pemprov Kalsel dan Pemerintah Pusat untuk segera mencabut izin-izin tambang, perkebunan sawit dan industri monokultur sekala besar di Meratus. Pemerintah diharapkan lebih mengutamakan kebijakan yang lebih ramah lingkungan, berdasarkan potensi lokal, kearifan lokal dan mengutamakan keselamatan serta kesejahteraan masyarakat adat Dayak Meratus.

Selain itu, Kisworo juga mendesak Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat untuk segera mengakui hak-hak Masyarakat Hukum Adat Dayak Meratus dan wilayah adatnya, karena dari dahulu sebelum Negara Merdeka sampai sekarang masyarakat adat Dayak Meratus sudah terbukti mampu mengelola wilayahnya, hidup dan berkehidupan, tapi sampai sekarang belum diakui oleh Pemerintah.

“Yang terakhir kita mendesak agar Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, dalam setiap menentukan Kawasan di pegunungan Meratus melibatkan Masyarakat Sipil dan Masyarakat Adat Dayak Meratus,” ujarnya.

Hal sama disampaikan Manajer Data dan Riset Komunitas Sumpit, Udin Kaur. Ia mengatakan, 36 geosite pada GNPM cuma seluas 21.000 haktare dari kalkulasi luas Pegunungan Meratus seluas 1 juta haktare. Alhasil, kata Udin, GNPM bukan solusi jitu melindungi Pegunungan Meratus dari tambang dan industri ekstraksi.

“Bicara Meratus itu, bicara kawasan keseluruhan. Geopark ini bicara spot-spot tertentu saja, tidak menjawab kebutuhan Meratus. Permasalahan Meratus enggak bisa dijawab lewat geopark,” ucap Udin.

Tidak hanya Walhi Kalsel, pernyataan ini juga turut didukung oleh 31 organisasi lainnya yang bersatu dalam Gerakan #Savemeratus diantaranya Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) Hulu Sungai Tengah, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel, Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI) dan organisasi lainnya.


Laman: 1 2

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->