Kanal
Menggembleng Diri sebagai Mahasiswa Pecinta Alam
Akulah si penjelajah alam, kudaki lereng dan batu karang, dengan bernyanyi aku melangkah, menyusuri sungai dan padang ilalang……
Demikian sepenggal lagu ‘Penjelajah Alam’ karya musisi Sawong Jabo. Jauh di lereng-lereng gunung, kedalaman hutan dan ngarai, betapa terasa kecil dan rapuh diri sebagai manusia. Maka di sanalah, para pecinta alam belajar menempa diri, mengembleng, untuk bisa hidup selaras dengan nafas kehidupan.
Banyak hal, banyak rasa, dan bermacam pengalaman didapat dengan bergabung dalam organisasi pecinta alam. Seperti pula dirasakan para anggota Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) Apache, STMIK Banjarbaru. Utamanya saat melakukan pendakian di sejumlah gunung atau lokasi lainnya.
Ketua Mapala Apache, STMIK Banjarbaru Septyan Dwi Soktana menceritakan, pernah dalam sebuah pendakian beberapa anggotanya terkena lintah. Binatang penghisap darah itu menempel di badan dan susah untuk dilepas. “Untungnya kita sudah antisipasi membawa tembakau dan garam. Itu media yang aman untuk melepas cengkraman gigitan lintah,†katanya.
Suasana dan hal mistis pun sering ditemui. Seperti pada saat pendakian di Halau-Halau, Barabai, beberapa waktu lalu. Tapi untungnya kata Asep, demikian Septian Dwi Soktana dipanggil, pada saat itu tidak ada Mapala perempuan yang ikut. “Sehingga aman saja, tidak sampai ada yang kesurupan,†ujarnya.
Asep juga mengisahkan, pernah dalam suatu pendakian kehabisan logistik berupa air dan makanan. “Di Halau-Halau itu kemarin cuma ada 1 titik yang ada airnya, di Penyaungan bawah, harus turun dulu 1 km melewati lereng. Jadi ada kawasan bebatuan, ada air yang menetes dari bebatuan itu, kami kumpulkan sedikit demi sedikit. Kami ditawarin air sama pendaki lainnya yang berpapasan dengan kami,” ungkapnya.
Di alam, anggota Mapala tidak terlalu repot atau pemilih. Kentang, wortel, kacang-kacangan merupakan beberapa jenis makanan mereka pilih sebagai bawaan, pasalnya jenis makanan ini tidak mudah busuk.
”Pernah juga kami hampir putus asa untuk menuju puncak. Beruntung, kami bertemu dengan beberapa warga setempat yang mendaki juga. Mereka tidak pakai alas kaki, tapi jalan mereka cepat banget, kami sampai kepayahan mengikutinya. Tapi alhamdulillah sampai juga di puncak,” pungkasnya.
Bagi Asep, Mapala adalah tempat untuk membangun kesadaran diri akan kondisi bumi yang sudah sangat tua ini. Belajar untuk menghormati dan menghargai alam, dengan menjaganya tetap lestari. “Jika tidak dijaga, kita sendiri nanti yang rugi,†katanya.
Selain itu, Mapala Apache, STMIK Banjarbaru juga sering turun langsung ketika ada kegiatan bakti sosial untuk menggalang dana bagi masyarakat yang kurang mampu, seperti anak-anak disabilitas dan lainnya.***
Berikut kegiatan yang dilakukan Mapala Apache, STMIK Banjarbaru untuk mendorong rasa cinta pada lingkungan.
-
HEADLINE2 hari yang lalu
BREAKING NEWS: Maling Motor Tergeletak di Pinggir Jalan Trikora
-
HEADLINE2 hari yang lalu
Terduga Maling Sepeda Motor Diringkus Warga di Jalan Trikora
-
HEADLINE3 hari yang lalu
Hujan-hujanan, Bocah di Banjarbaru Meninggal Dunia di Selokan Sempit Depan Rumah
-
Bisnis3 hari yang lalu
Waspada Pinjaman Online, OJK Kalsel: Pinjol Ilegal Cenderung Beri Kemudahan Diawal
-
Kota Banjarmasin2 hari yang lalu
Nyawa Lelaki di Banjarmasin Berakhir dalam Lilitan Ayunan Hammock
-
Kalimantan Selatan3 hari yang lalu
Hilang Saat Tambat Kapal di Alur Sungai Barito