Connect with us

VOA

Aksi 22 Mei: Amplop Dolar, Hoaks Penembakan Masjid & 3 Hal Lain Perlu Anda Tahu

Diterbitkan

pada

AFP/AP (Courtesy Fhoto)

Rusuh Aksi 22 Mei menjadi buah bibir, cuitan di media sosial, dan memenuhi layar kaca rumah-rumah Indonesia, setidaknya dalam 24 jam terakhir hingga tulisan ini diturunkan.

Berikut lima hal penting yang mungkin terlewat dan perlu Anda ketahui.

 

Kronologi, Korban, Tersangka

Demonstrasi menolak hasil Pemilu 2019, bermula pada Selasa (21/05) di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di Jakarta Pusat.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkapkan aksi berjalan ‘aman’, hingga kemudian sekitar pukul 23.00 WIB, ‘muncul 300-400 orang yang melempar polisi yang berada di depan kantor Bawaslu’. Selain batu, bom molotov ikut dilempar.

Menggunakan water canon, polisi pun berusaha memojokkan mereka ke kawasan Tanah Abang dan Kebon Kacang. Kerusuhan pun tak terelakkan.

Mobil dibakar oleh massa pada 22 Mei.

Rusuh pun kemudian terjadi di sejumlah titik lainnya di Jakarta, pada Rabu (22/05) dini hari.

Di Kawasan Petamburan, sekelompok pemuda menyerang Asrama Brimob dan membakar kendaraan pribadi yang terparkir.

Massa lainnya membakar ban bekas di jalan-jalan kawasan Jatinegara, Jakarta Timur.

Polisi menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyatakan, hingga Rabu (22/05) kerusuhan di berbagai titik di Jakarta ini telah menewaskan enam orang dan melukai setidaknya 341 orang.

Dari sejumlah lokasi, polisi pun menangkap dan menetapkan 257 tersangka yang diduga provokator aksi.

 

Apa kata Jokowi dan Prabowo?

Dalam pidatonya di Istana Bogor, Rabu (22/05), Presiden Joko Widodo mengingatkan bahwa berbagai perselisihan dan sengketa terkait pemilu, ada wadahnya: “bisa diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi (MK)”.

“Tetapi saya juga tidak memberikan toleransi kepada siapapun juga yang akan menganggu keamanan yang akan menganggu proses demokrasi dan persatuan negara yang kita cintai ini, terutama perusuh-perusuh,” tegas Jokowi.

Presiden pun meminta “TNI dan Polri menindak tegas (perusuh) sesuai dengan hukum yang berlaku.”

Presiden Joko Widodo meminta TNI dan Polri menindak tegas perusuh.

Sementara itu, meski kerap dituding netizen sebagai ‘pihak yang bertanggungjawab’ atas rusuh Aksi 22 Mei, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, membantah.

“Yang bertanggung jawab adalah tentu mereka-mereka yang lakukan provokasi, mereka yang lakukan kekerasan,” kata Juru Bicara BPN, Dahnil Anzar Simanjuntak, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (22/05).

Meskipun BPN lah yang menyerukan aksi ‘people power’, Dahnil mengaku pihaknya tidak ada sangkut-pautnya dengan rusuh, karena Prabowo telah memilih ‘jalur konstitusional’: menggugat hasil pemilu ke MK.

Prabowo Subianto meminta pendukungnya untuk tidak melakukan kekerasan.

Prabowo Subianto sendiri di kediamannya, Rabu (22/05), juga meminta “kekerasan tadi malam dan juga yang terjadi subuh tadi yang telah mencoreng martabat dan marwah bangsa Indonesia jangan boleh terjadi lagi.”

Di samping calon wakil presidennya Sandiaga Uno, Prabowo menyebut jika kekerasan terus terjadi, dirinya khawatir “rajutan dan anyaman kebangsaan kita bisa rusak dan sangat sulit untuk kita rangkai kembali.”

“Saya imbau pihak kepolisian, pihak TNI, dan semua pihak untuk menahan diri agar tidak melakukan kekerasan fisik,” pungkasnya.

 

Terima amplop dan settingan?

Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian mensinyalir massa Aksi 22 Mei adalah ‘massa bayaran’, setelah menemukan amplop berisi uang dari sejumlah perusuh yang ditangkap di depan Bawaslu dan Petamburan.

“Uang totalnya Rp6 juta, yang terpisah amplopnya. Mereka mengaku ada yang bayar,” kata Tito di kantor Kemenko Polhukam, Rabu (22/05). Amplop-amplop tersebut berisi uang sekitar Rp200.000-500.000.

Polisi juga mengamankan uang senilai US$2.760 atau sekitar Rp40 juta dari tersangka terduga provokator. Uang ini disebut diberikan oleh “otak kerusuhan”, meskipun belum diungkapkan siapa otak tersebut.

Lebih jauh lagi, Polri menduga kericuhan yang terjadi ini “sudah direncanakan, bukan massa spontan, (sengaja) menciptakan rusuh.”

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Muhammad Iqbal menjelaskan di salah satu lokasi kejadian, pihaknya menemukan ambulans yang penuh dengan batu dan alat-alat untuk melakukan kekerasan, misalnya bom Molotov serta senjata tajam berupa parang dan belati.

Namun, Iqbal tidak mau menyebut partai apa yang dimaksud.

Polisi bersiaga di depan kantor Badan Pengawas Pemilu pada 21 Mei 2019.

Massa perusuh juga disebut Polri berasal dari luar Jakarta. “Mayoritas dari Jawa Barat, Banten dan Jawa Tengah”.

Dengan berbagai fakta tersebut, Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko, dalam konferensi persnya, Rabu (22/05), mengindikasikan rusuh 22 Mei terjadi karena ada “pihak yang mendompleng” gejolak politik setelah pengumuman hasil rekapitulasi KPU terkait pemilu presiden.

“Ini jelas-jelas upaya melakukan kerusuhan. Upaya hukum sudah dilakukan kelompok 02, tapi ada kelompok tertentu yang ingin membuat suasana menjadi keruh, ada upaya sistematis ingin membuat suasana ini menjadi tidak baik,” ungkapnya.

 

Hoaks dan medsos lelet

Sepanjang 22 Mei, berbagai berita bohong atau hoaks beredar di lini massa, dibagi lewat Whatsapp, Instagram dan Facebook.

Misalnya video yang dideskripsikan sebagai ‘aksi polisi menembaki demonstran di dalam masjid’.

Dalam video tersebut terlihat sejumlah warga berkeliaran, berlindung di dalam masjid. Kemudian terdengar suara ribut-ribut dan letusan, diiringi narasi bahwa polisi “menembaki masjid”.

Salah satu pendemo melempar batu ke arah polisi.

Plt Kepala Biro Humas Kemkominfo, Ferdinandus Setu, menegaskan bahwa narasi di video itu hoaks, karena suara ledakan dan tembakan yang terdengar di video “berasal dari luar masjid”.

“Dalam kericuhan itu, terdapat banyak bom molotov yang digunakan para demonstran untuk melempari Polisi, dan suara tembakan gas air mata yang digunakan Polisi untuk menarik mundur para demonstran,” ungkap Ferdinandus.

Ada juga sebuah narasi berbentuk seperti berita yang diunggah di Facebook, dengan judul: “Tanggal 22 Mei Pendukung 02 Kepung KPU, Wiranto: Biarkan Saja, Untuk Bahan Berburu Menembak TNI-POLRI”.

Narasi itu dipadukan dengan foto seorang lelaki dengan mulut berdarah. Namun, faktanya tidak ditemukan pernyataan Wiranto seperti yang diunggah di akun Facebook itu.

Dengan berbagai hoaks yang beredar, pemerintah pun memutuskan untuk membatasi akses foto dan video di sejumlah aplikasi media sosial: Instagram dan Facebook, serta khususnya aplikasi berbagi pesan Whatsapp.

“Jadi berkorban 2-3 hari tidak bisa lihat gambar tidak apa-apa, ini semata untuk keamanan nasional,” kata Menko Polhukan Wiranto, di kantornya, Rabu (22/05).

Menkominfo Rudiantara menegaskan bahwa “pembatasan ini bersifat sementara dan bertahap.”

 

#SaveIndonesia dan tagar trending lain

Dan seperti biasa, ketika media sosial lain lumpuh, netizen berpindah ke Twitter yang tidak terpengaruh pembatasan akses oleh pemerintah.

Berbagai tagar menjadi trending topic. Di antaranya tagar #SaveIndonesia dan #TidakAtasNamaSaya, yang dicuitkan puluhan ribu kali.

Lewat tagar #SaveIndonesia, kebanyakan netizen mengekspresikan kekecewaannya terhadap kisruh yang terjadi.

“Indonesia itu damai jangan rusaki negeriku dengan politik berkepentingan dan ambisi kalian cukup!!! berbesar hatilah dalam menerima kekalahan.” Cuit pemilik akun @frederikussibu.

Ada juga yang mencuit foto Thanos, super villain Marvel.

Sementara #TidakAtasNamaSaya digunakan netizen sebagai penegasan agar kata “rakyat” tidak digunakan berbagai jargon aksi.

Misalnya Hilda, dengan akunnya @HildaHandi. Dia menulis, “Rakyat tolak hasil p*lpres? Excuse me, rakyat who ?”

Sementara @alif_aat menyebut bahwa pendemo hanya bersuara demi “ego politiknya” sendiri. “Aksi kalian tidak mewakili agama, rakyat atau keadilan. Pulanglah!” (rh/kk/voa)

Reporter:voa
Editor:kk

 


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->