Connect with us

Lingkungan

Sedotan Plastik dan Bahaya yang Diremehkan

Diterbitkan

pada

Sedotan plastik menjadi hal yang dianggap remeh Foto: net

BANJARBARU, Diantara banyaknya penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari, ada satu barang yang kehadirannya sering diremehkan. Padahal, kenyataannya penggunaan barang tersebut berkontribusi cukup besar dalam pasokan sampah plastik. Apa itu? Ya, sedotan minuman!

Barang ini memang seoalah menjadi sesuatu yang harus ada. Saat pesan teh es di warung, atau minum air mineral, dan minuman dingin lainnya, sedotan menjadi keharusan bagi konsumen. Restoran, kafe, rumah makan, hingga warung pinggir jalan, lumrah menyediakan sedotan. Ya, ini karena sedotan dianggap remah: mudah dipakai dan dibuang dengan enteng!

Gaya hidup yang demikian hampir merata di berbagai masyarakat. Dalam kompilasi data yang disusun Eco Watch, kurang lebih 500 juta sedotan plastik dibuang setiap hari setelah dipakai sekali saja. Sedotan plastik masuk dalam kategori produk berbahan plastik yang 50 persennya dibuang saat sudah selesai digunakan.

Jumlah ini terbilang fantastis sekaligus mengkhawatirkan sebab, dalam catatan Eco Watch, selama ini hanya lima persen produksi plastik yang bisa didaur ulang. Sisanya dibuang sembarangan. Akibat budaya buang sampah sembarangan yang masih menjadi prilaku sehari-hari, sampah sedotan plastik pun teronggok begitu saja di darat dan lautan.

Bersama-sama kantong plastik, yang dikonsumsi manusia hingga 500 miliar buah per tahun atau 1 juta per menit, plastik bekas menyumbang 60-80 persen dari total sampah laut. Sedotan plastik selalu masuk dalam 10 besar sampah yang mencemari lautan. Saking menumpuknya, dari total luas laut bumi, kini ada 46.000 sampah plastik per satu mil persegi.

Skenario selanjutnya mudah ditebak: polusi ini mengganggu kehidupan satwa laut. 44 persen spesies burung laut, 22 persen mamalia laut, semua spesies penyu, dan beberapa spesies ikan terdokumentasi memiliki sampah plastik di tubuhnya, baik tertelan maupun menempel permanen di tubuhnya. Lebih kejam lagi, sampah plastik membunuh setidaknya 1 juta burung laut, dan 100.000 mamalia laut dan penyu tiap tahun.

Di Indonesia isu bahaya sedotan belum terlalu populer. Di negara maju seperti Inggris, sejumlah lembaga swadaya masyarakat sudah mulai bergerak aktif menyadarkan masyarakat agar tak lagi menggunakan sedotan saat membeli minuman di luar rumah.

Straw Wars, misalnya, menggandeng restoran-restoran prestisius di London seperti Soho untuk tidak menyerahkan sedotan kepada pembeli dan hanya akan memberi jika diminta. Straw Wars tahu jika sedotan bisa didaur ulang, namun mereka juga paham bahwa selama ini konsep ideal hanya teori belaka. Dalam praktiknya konsumen restoran cepat saji meminum “sambil bergerak”, tak peduli pada sampahnya, dan masih sangat jarang ada restoran yang memiliki pengumpulan sampah khusus.

Ketua kampanye Straw Wars Jamie Poulton sekaligus pemilik restoran legendaris Randall & Aubin berkata pada The Guardian jika proyek ini akan mendatangkan keuntungan bagi bisnis lokal, pelanggan, dan lingkungan. Langkah ini didukung organisasi seperti Marine Conservation Society yang selama ini aktif dengan kampanye buang sampahnya.

“Banyak survei yang menunjukkan sampah plastik sekali pakai di laut dan pantai, termasuk sedotan yang diberikan secara rutin kepada konsumen restoran. Limbah sedotan di lautan berasal dari sampah yang dibuang sembarangan di jalanan, lalu ke lautan via sungai dan selokan. Sampah plastik sekali pakai menjadi 60 persen dari total sampah laut yang selama ini ditemukan di pantai-pantai Inggris,” kata Emma Snowden, pegiat Marine Conservation Society.

Gerakan dengan semangat yang sama juga membesar di AS, terutama di California, sejak dimulainya pelarangan kantong plastik pada November 2016. Sampah plastik menjadi sumber polusi utama di perairan pantai California.

Sejarah Sedotan

Dalam catatan Derek Thompson di The Atlantic, sedotan minuman pertama yang tercatat dalam sejarah diciptakan bangsa Sumeria untuk minum bir, kemungkinan agar sisa fermentasi yang solid dan berada di dasar gelas tak terminum. Sedotan tertua ada di makam bangsa Sumeria dari masa 3.000 SM dan berwarna emas dengan lapisan batu lazuli warna biru. Penduduk Argentina zaman logam mengembangkan teknik sedotan sama dengan sebutan “bombilia”.

Pada 1800-an sedotan dari jerami mulai populer karena murah dan lembut, namun masalahnya gampang larut dalam minuman. Untuk mengatasinya Marvin C. Stone mematenkan sedotan minuman modern yang terbuat dari kertas pada 1888. Idenya muncul saat sedang minum julep mint di hari yang sangat panas di Washington DC. Ia gulung kertas di pensil, mengeluarkan pensilnya, dan ia satukan dengan lem. Ia sempurnakan temuannya dengan mesin produksi yang bisa menyatukan kertas dengan lapisan lilin sehingga lem tak larut dalam minuman jenis bourbon.

Sejak saat itu sedotan berkembang sesuai jenis minuman. Pada 1937 Joseph Firedman menciptakan sedotan yang bisa ditekuk ujungnya. Ada sedotan yang bisa berubah warnanya jika minuman terlalu panas, sedotan yang keras untuk permen lolipop, sedotan mini dan biasa disertakan sepaket dalam minuman kotak kemasan, sampai sedotan berlubang besar untuk minuman jenis “bubble tea” atau teh dengan mutiara tapioka.

Sedotan modern rata-rata dibuat dari plastik jenis polypropylene, polystyrene, dan beberapa campuran kimia lainnya yang berkembang di tiap zaman sesuai kebutuhan. Keamanan konsumsi dulu pernah menjadi isu penting sebab produksi sedotan kadang tak sesuai standar dan saat dikonsumsi berisiko menimbulkan penyakit akibat bercampurnya minuman dengan bahan kimia pembuat sedotan.(cel/ muawal/tirto)

Reporter: Cel/muawal/tirto
Editor: Chelll


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->