Connect with us

NASIONAL

Program Bela Negara Masuk Kampus, Antara Militerisasi Sipil Dan Hak Warga Negara

Diterbitkan

pada

Para personil Bela Negara dan anggota Resimen Mahasiswa ikut serta dalam acara Peringatan HUT TNI ke-74 di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Foto: Reuters via VOA

KANALKALIMANTAN.COM, JAKARTA – Rencana Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan program bela negara ke dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia memicu pro-kontra. Pasalnya, program tersebut sekaligus berperan sebagai wadah perekrutan Komponen Cadangan (Komcad) – sumber daya nasional dari kalangan sipil yang dapat dikerahkan untuk memperkuat TNI.

Direktur Riset SETARA Institute, Halili, menilai rencana itu merupakan upaya pemerintah memiliterisasi kampus. “Itu bagian dari penguatan kembali militerisme dalam kehidupan sipil,” kata Halili dalam wawancara Zoom dengan VOA (21/8).

Menurutnya, masih banyak kanal lain untuk membela negara dan menunjukkan jiwa patriotik, ketimbang membentuk Komponen Cadangan. “Seharusnya yang diperkuat itu adalah kesadaran sipil atau peningkatan kapasitas sipil untuk bahu-membahu, menunjukkan patriotisme, seperti yang misalnya John F Kennedy katakan, ‘Jangan pernah tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi coba tanyakan apa yang kamu sudah berikan pada negara’, itu sifatnya saya kira lebih ke kultural dan lebih civilian, instead of pendekatan militeristik yang selalu pendekatannya hitam-putih,” tambahnya.

Bagi dosen jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Universitas Negeri Yogyakarta itu, kekhawatiran akan militerisasi kampus berangkat dari residu militerisme pasca jatuhnya Presiden Soeharto serta penguatan campur tangan militer pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Belum lagi, peristiwa pemberangusan forum-forum akademik di sejumlah kampus beberapa waktu terakhir. “Begitu masuk militer, cara pandang hitam putih ini menurut saya akan semakin menggerus kebebasan akademik di perguruan tinggi,” ungkap Halili.

Akan tetapi, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Nizam, meyakinkan bahwa program itu tak lain sebagai bentuk pemenuhan hak warga negara oleh pemerintah. Hak yang dimaksud adalah hak untuk menjadi anggota

Komponen Cadangan seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara.

Dalam Pasal 6 ayat (3), setiap warga negara berhak terlibat dalam usaha bela negara dengan cara, salah satunya, mendaftar sebagai calon anggota Komponen Cadangan. Sementara dalam Pasal 8 disebutkan bahwa pembinaan kesadaran bela negara dalam lingkup pendidikan dilaksanakan melalui sistem pendidikan nasional pada setiap jalur, jenjang dan jenis pendidikan. “Ruang-ruang ini dibuka, termasuk di dalamnya juga (mahasiswa) mengambil haknya mengikuti pendidikan militer untuk menjadi Komponen Cadangan,” kata Nizam dalam wawancara melalui Zoom (20/8), “Jadi ini betul-betul win-win bagi mahasiswa maupun bagi bangsa dan negara, baik Kemdikbud maupun Kemenhan.”

Puluhan siswa SECAPA Angkatan Darat menonton bersama Pidato Presiden Joko Widodo saat Hari Lahir Pancasila 1 Juni. (Sumber: Secapa AD).

Terkait kekhawatiran akan adanya militerisasi kampus, Guru Besar Teknik Sipil UGM itu mengatakan bahwa hal itu berlebihan. “Sekali lagi, ini bukan militerisasi kampus. Tidak akan ada pemaksaan di dalam kampus,” tegasnya.

“Yang penting, kita tidak kemudian menjadikan kampus itu seperti zaman dulu ya, (yang) harus berindoktrinasi, tidak boleh berpikiran bebas, kebebasan akademik terhambat, kebebasan mimbar dibungkam. Itu yang harus kita jaga tidak terjadi dan, Insya Allah, itu jauh sekali dari semangat bela negara,” tutur Nizam.

Harapan Mencetak Lulusan Tangguh VS Kekhawatiran Menjadi Alat Penguasa

Dalam keterangan pers 16 Agustus 2020, Wakil Menteri Pertahanan, Wahyu Sakti Trenggono, ingin “agar kita memiliki milenial yang tidak hanya kreatif dan inovatif, tetapi cinta bangsa dan negara dalam kehidupan sehari-harinya.” Pernyataan itu menyusul wacana pembentukan Komcad yang sudah diembuskan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, sejak awal tahun.

Gagasan itu lantas disambut baik Dirjen Dikti Kemendikbud, Nizam, yang menuturkan bahwa, “Ketahanan kita untuk siber, dan segala macam (lainnya), kan ya perlu masyarakat sipil, perlu para ahli IT, ahli artificial intelligence (red. kecerdasan buatan), ahli data, dan sebagainya. Jadi harus bersama-sama – kepedulian dan tanggung jawab kita bersama-sama.”

Konsultan pendidikan dan karier, Ina Liem, mengakui bahwa program bela negara memang sangat diperlukan generasi muda saat ini. Meski demikian, hal itu diperlukan dalam kapasitas pendidikan karakter, bukan sebagai mesin pencetak tentara cadangan seperti Komcad. “Sebetulnya, kita kan bukan di zaman perang ya, urgensinya bukan di situ. (Masalah) karakter ini (yang) urgent sekali,” ucapnya saat dihubungi VOA melalui Zoom (20/8).

Anggota Kopassus melakukan peragaan bela diri dari Perayaan HUT Kopassus di Jakarta. Foto: Reuters via VOA

Menurutnya, pendidikan ala militer diperlukan untuk menghasilkan lulusan yang tangguh, memiliki jiwa pemimpin dan kepekaan sosial yang tinggi. Alasannya, banyak orang yang melupakan tanggung jawab terhadap masyarakat sekitar, namun kerap menuntut hak pribadi. “Katanya mau anak-anak sekarang berinovasi. Justru nggak bisa berinovasi kalau tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya, karena inovasi berangkatnya dari problem,” jelasnya. “Tujuannya untuk pendidikan karakter: lebih mementingkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.”

Sementara itu, meski setuju dengan rencana masuknya program Bela Negara ke dalam kurikulum perguruan tinggi, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Soefijanto, mengingatkan bahwa pelaksanaannya nanti harus diawasi ketat. “Jangan sampai mereka menjadi individu-individu yang bersifat militeris, atau malah ada kecurigaan mereka akan jadi fasis. Nah, itu yang sangat bertentangan dengan semangat kampus, kemerdekaan berpikir dan segala macam,” ungkapnya.

Doktor dalam bidang Kurikulum dan Pengajaran dari Universitas Boston AS itu juga berkaca pada pengalamannya dahulu, ketika terjadi konflik keberadaan Resimen Mahasiswa (Menwa) di lingkungan kampus, yang rentan dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Ia khawatir program Bela Negara juga berpotensi disalahgunakan penguasa. “Terutama di perguruan tinggi negeri, itu akan mudah sekali, karena rektornya kan sudah pasti – kalau tidak dipilih oleh mendikbud atau presiden langsung bahkan – itu paling tidak di-approve, sesuai dengan proses pemilihan rektor di PTN, kan seperti itu, baik PTN yang umum maupun yang di bawah Kemenag. Di situ rektornya bisa dititipi pesan ‘Anda kan nanti –’ gitu.”

Saat ini, pendidikan bela negara masih hadir di lingkungan kampus dalam bentuk Menwa. Seperti dikutip dari situs Komando Nasional Resimen Mahasiswa (menwa.org), Menwa bertujuan untuk “menyalurkan potensi mahasiswa dalam rangka mewujudkan hak dan kewajiban warga negara dalam bela negara” juga “mempersiapkan potensi mahasiswa sebagai bagian dari potensi rakyat dalam Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (SISHANRATA).

Selain menjalani pelatihan dasar militer, Menwa biasanya juga terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana. Sejumlah kementerian pun bertanggung jawab atas berbagai aktivitas mereka, dari Kemenhan, Kemendikbud, Kementerian Dalam Negeri hingga Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Hingga kini, Kemendikbud dan Kemenhan masih mendiskusikan lebih jauh kurikulum Bela Negara untuk tingkat perguruan tinggi. Setidaknya, mata kuliah itu sudah diputuskan untuk menjadi mata kuliah elektif alias pilihan, yang dapat diambil pada program Kampus Merdeka – program unggulan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, di mana mahasiswa diberi keleluasaan untuk mengambil mata kuliah di luar program studi masing-masing selama 3 semester. (rd/em)

Reporter: Rivan
Editor: Eva/VOA


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->