Connect with us

SERI PSIKOLOGI

Memetik Makna di Balik Kematian

Diterbitkan

pada

Rifqoh Ihdayati, S.Psi, MAP Foto: Ist

Oleh: Rifqoh Ihdayati, S.Psi, MAP

Psikolog RSUD Panembahan Senopati

Beberapa hari lalu di kampung saya menetap, ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal dunia. Sebagai orang baru di kampung ini, saya belum mengenalnya cukup dekat. Namun dari mendengar cerita tetangga dan banyaknya orang yang datang takziah, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa beliau adalah orang baik.

Saya bukan orang yang gampang terharu. Termasuk ketika menghadapi peristiwa meninggalnya seorang teman, kerabat, ataupun keluarga dekat sekalipun. Saya percaya, bahwa kenyataan kehidupan dunia ini hanyalah sementara. Dan pada akhirnya, semua akan kembali kepada Allah SWT. Sebagaimana kalimat yang selalu terucap saat kita mendapati kabar duka, innalillaji wa inna ilaihi rajiun..

Saya pribadi, memang sangat mendalami kalimat tersebut. Bahwa kehidupan kekal adalah nanti setelah hari akhir tiba. Pun setiap ada pertemuan, perkenalan dengan orang baru, kita harus siap akan adanya perpisahan.

Tetapi entahlah, ketika saat upacara pelepasan jenazah dilaksanakan, saya merasa perasaan terhanyut. Terlebih saat ustadz yang diberikan kewenangan oleh pihak keluarga menyampaikan sambutan mewakili keluarga mengatakan ”nyuwun pamit” (izin untuk berpisah).

Kalimat tersebut, menggores dalam pada diri saya. Membayangkan, bagaimana jenazah mulai saat ini akan berpisah raga dengan keluarga, siap tidak siap keluarga harus ikhlas melepaskan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, semua milik Allah SWT dan akan kembali kepadaNya.

Secara lebih luas, kalimat tersebut juga memberikan sebuah penyadaran untuk memaknai kehidupan dengan sikap kerelaan dan berbagi. Hal ini dengan sebuah kesadaran, bahwa apa yang kita dapatkan (rizki) bukan semata karena berkat usaha sendiri. Tapi juga karena kemurahan Allah SWT, serta tak jarang dari bantuan orang lain.

Maka sikap kikir, pelit, egoisme, tentu merupakan manifestasi hilangnya kesadaran bahwa ada hak orang lain yang melakat pada apa yang kita miliki. Sehingga sikap berlebihan dalam memanjakan dan menyenangkan diri, merupakan wujud dari perbuatan mubadzir.

Hal kedua, makna innalillahi wa inna ilaihi rajiun mengisyaratkan keteguhan psikologis bagi orang yang mengucapkannya. Saat kehilangan jabatan, disakiti, ataupun ditinggal pergi orang tercinta, kita yakin bahwa semua itu sangat mungkin terjadi. Karena Allah SWT bisa kapan saja mengambil kembali apa yang dipinjamkan atau diamanatkan kepada kita. Untuk itu, Rasulullah SAW melarang menangisi orang yang meninggal secara berlebihan dan menyalahkan pihak lain (bahkan Tuhan) atas kematian tersebut.

Dan tentu saja, terpenting dari kesadaran akan makna innalillahi wa inna ilaiho rajiun adalah memperbanyak ibadah dan amalan selama hidup di dunia. Agar kelak ketika tiba giliran menghadapNya, kita telah siap dengan amal kebaikan. Terus berusaha menjadi pribadi yang baik.(*)

Untuk mengenang almarhum Bapak H Drs Supriyanto, M.Pd.

Reporter:
Editor:Cell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->