Connect with us

ACT KALSEL

Kisah ACT Menerobos Wilayah Konflik Sudan Selatan demi Bantuan Kemanusiaan

Diterbitkan

pada

Bantaun kemanusiaan diberikan relawan ACT di Sudan Selatan Foto: ACT

KIRYANDONGO, Sejak Desember 2013 silam, konflik paling parah di Benua Afrika meletus di sebuah negeri bernama Sudan Selatan. Berdiri sebagai negeri dengan kemerdekaan paling muda yang diakui PBB, Sudan Selatan melepaskan dirinya dari Sudan sejak tahun 2011. Namun, hanya berselang dua tahun pascamerdeka, perang sipil meletus. Sampai hari ini, perang itu belum berhenti. Krisis kemanusiaan terus memburuk setiap harinya.

Badan Dunia untuk urusan pengentasan kelaparan (World Food Program) merilis data, sekitar 63 persen dari populasi Sudan Selatan atau sekira 7 juta penduduk berada dalam level kelaparan akut. Sementara itu, tak kurang 2 juta penduduknya terpaksa meninggalkan rumah karena desa mereka hancur atau tak lagi aman dihuni, kini mereka menjadi pengungsi internal di negerinya sendiri.

Tak hanya pengungsi internal, perang sipil Sudan Selatan pun telah memaksa eksodus besar-besaran. Lebih dari 2,5 juta warga Sudan Selatan lainnya melarikan diri dari Sudan Selatan, tanpa harta, tanpa harapan mengungsi ke negara tetangga terdekat, Uganda.

Data PBB pun menunjukkan, Sudan Selatan kini menjadi negeri dengan pemicu pengungsian terbanyak ketiga di dunia. Setelah Suriah dan Afganistan. Ironisnya, lebih dari 65 persen pengungsi asal Sudan Selatan adalah anak-anak berusia di bawah 18 tahun.

Tak pernah terbayang sebelumnya bagaimana cara menembus wilayah Sudan Selatan. Konflik sipil terjadi dalam skala yang besar di negeri itu. Andi Noor Faradiba dari Global Humanity Response – Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengisahkan tentang sulitnya menyampaikan amanah bantuan sampai ke pengungsi Sudan Selatan.

Bahkan merangkum laporan sejumlah lembaga kemanusiaan di Sudan Selatan, konflik di negeri itu bisa menjadi sangat berbahaya bagi para pekerja kemanusiaan. Sepanjang konflik berlangsung, lebih dari 100 pekerja kemanusiaan terbunuh dalam tugasnya, mayoritas merupakan pekerja kemanusiaan lokal.

Namun, amanah bangsa Indonesia tetap harus tersampaikan. Lewat berbagai mitra ACT, tokoh masyarakat, imam, dan sukarelawan yang bermukim di titik-titik pengungsian Sudan Selatan, didapati kesempatan untuk menyapa kamp-kamp pengungsian di Kiryandongo.

Wilayah tersebut terletak di Negara Uganda yang menjadi penampungan eksternal untuk pengungsi asal Sudan Selatan dan beberapa negara Afrika lainnya, termasuk Kongo. Merah Putih berkibar di Uganda, di tengah pendistribusian paket bantuan yang diberikan untuk pengungsi asal Sudan Selatan dan Kongo.

“Kamp Kiryandongo di bagian utara Uganda dibuka kembali tahun 2014 ketika konflik Sudan Selatan meletus. Perkiraan mitra ACT di Uganda, kini ada lebih dari 60.000 jiwa pengungsi menetap di Kiryandongo. Mayoritas pengungsi asal Sudan Selatan, ditambah sedikit populasi dari Kongo, Rwanda, Burundi dan Sudan,” ujar Faradiba.

Pekan pertama Juli 2018, selama satu minggu penuh, proses implementasi bantuan dari Indonesia dirampungkan. Tiga titik sekaligus disapa oleh relawan ACT di Uganda maupun di Sudan Selatan.

“Tidak hanya di Kamp Kiryandongo. Kami juga menyiapkan paket-paket bantuan untuk Distrik Yumbe di Uganda, sampai ke Desa Ikotos di Sudan Selatan dekat perbatasan Uganda. Penerima manfaatnya meliputi pengungsi SUdan Selatan dan Kongo,” tutur Faradiba.

Satu pekan bergerak di Kamp Kiryandongo, Distrik Yumbe dan Desa Ikotos, distribusi bantuan dari Indonesia rampung seluruhnya. Paket bantuan yang didistribusikan berupa makanan pelengkap yang terdiri dari posho (tepung jagung), minyak goreng, dan kacang-kacangan.

“Total paket bantuan cukup untuk 600 keluarga atau setara dengan 4.200 orang penerima manfaat. Prioritas distribusi dikhususkan untuk orang tua, anak-anak, anak yatim, janda, mereka yang sakit atau difabel,” tambah Faradiba.

Namatovu Sharifa, seorang ibu berusia 82 tahun menjadi salah satu penerima manfaat di Kamp Kiryandongo. Ia berasal dari Sudan Selatan, mengungsi ketika perang menghancurkan desanya. Ajaibnya, Ibu Sharifa di usia lanjutnya masih memiliki seorang balita berusia empat tahun!

Ia mengucapkan rasa syukurnya atas bantuan makanan dari masyarakat Indonesia. “Di mana itu Indonesia? Saya sangat terkejut dan bersyukur atas bantuan ini. Terima kasih untuk relawan ACT dan Indonesia yang jauh sekali di sana,” ungkap Sharifa.

Ucapan syukur lain datang dari Marcha Grace (65). Ibu berjilbab panjang ini mengucap syukur sembari berharap bahwa program ini dapat terus berlanjut.

Tak sedikit dari populasi pengungsi asal Sudan Selatan merupakan seorang Muslim yang saleh. Peci, baju gamis, dan jilbab menjadi identitas yang melekat. Namun melanjutkan hidup menjadi pengungsi di Kiryandongo, tak ada yang bisa dikerjakan.

“Mayoritas pengungsi Sudan Selatan menganggur. Negara mereka konflik besar, tak ada yang memiliki bekal edukasi dan skill yang cukup untuk mencari pekerjaan di Uganda. Apalagi Uganda juga memiliki sumber daya dan lapangan pekerjaan yang terbatas. Pemerintah Uganda sudah mengatakan, tak mampu lagi mencukupi kebutuhan pengungsi asal Sudan Selatan,” pungkas Faradiba.(act)

Reporter:Act
Editor: Cell


Uploader Terpercaya Kanal Kalimantan

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->