Connect with us

Kota Banjarmasin

Jelang Lebaran, Jasa Penukaran Uang Mulai Marak di Banjarmasin

Diterbitkan

pada

Jasa penukaran uang mulai marak jelang lebaran Foto: Ammar

BANJARMASIN, Banyak hal yang hanya ditemui di bulan puasa. Selain pasar wadai, jasa penukaran uang sebagai bekal lebaran adalah salah satu dari keunikan khas Ramadhan. Saat ini, para penjual jasa penukaran uang sudah mulai bercokol di sejuumlah lokasi. Salah satunya bisa dilihat di depan Kampus ULM, Banjarmasin yang di bahu jalan. Terdapat beberapa penjual uang receh tersebut dengan berbagai pecahan nominal dari Rp 2 ribu sampai Rp 20 ribu.

Ridwan, salah seorang penjual jasa penukaran uang mengatakan dia hanya bekerja saat datang bulan Ramdhan, terutama menjelang lebaran. Untuk kerjaannya tersebut, ia mendapat sebesar Rp 10 ribu per pecahan. “Jadi kalau beli (menukar) Rp 100 ribu dengan pecahan Rp 5 ribu, maka harus membayar Rp 110 ribu,” katanya.

Dia mengatakan, biaya Rp 10 ribu yang dipatok setiap penukaran per Rp 100 ribu tersebut sebagai konsekwensi jasa antre di bank. “Tidak ada yang dirugikan semala saya berjualan ini,” ungkapnya.

Di sisi lain, praktek seperti itu seringkali iucap sebagai riba. Hal tersebut jika memang dimaknai secara langsung bahwa bisnis tersebut sebagai jual beli uang semata.  Tokoh NU, KH Syarbani Haira, mengatakan jasa tukar uang memang hukumnya riba.

Namun, Syarbani mengatakan praktek jual-beli uang kartal bisa dilihat dari dua pendekatan: substansi dan prosedural. Secara substansi, kata dia, jual-beli uang kartal nominal Rp 100 ribu dibayar Rp 110 ribu, hukumnya riba. Menurut Syarbani, syariat Islam jelas mengharamkan riba karena berdampak buruk dan merusak perekonomian umat.

“Ini sejalan dengan pendapat para ulama yang menyatakan setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu tergolong riba,” katanya.

Untuk menghindari riba, maka praktek penukaran uang mesti sepadan nominalnya. Uang kartal Rp 100 ribu, misalnya, ditukar dengan uang kartal Rp 10 ribu sebanyak 10 lembar. “Itu apabila secara substansi,” katanya.

Adapun secara prosedural, ia mengakui praktek semacam ini syarat dengan jual jasa. Tapi untuk menghindari riba, Syarbani berkata antara kedua belah pihak mesti sepakat dulu bahwa nominal uang yang ditransaksikan tidak berkurang dan bertambah. Setelah itu, kata dia, pihak yang membutuhkan uang pecahan kecil mesti memberi hadiah yang nominalnya sudah disepakati.

“Jika model ini yang dilakukan, maka kedua belah pihak terbebas dari hukum riba. Kedua belah pihak sama-sama senang dan keduanya mendapatkan pahala,” ujar Syarbani.

Apalagi, niat untuk mencari uang pecahan kecil itu berniat baik untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak atau orang yang tidak mampu. Menurut dia, niatan ini cukup bagus karena memberi kegembiraan dan saling berbagi kepada sesama muslim di hari raya.

Ia berujar uang pecahan kecil dalam jumlah banyak memang agak sulit didapat, sehingga ada orang yang melihat peluang ini untuk dijadikan ladang bisnis. “Akan tetapi perlu diketahui bahwa bisnis ini adalah riba,” ujar Syarbani.

Menurut dia, ada Fatwa MUI yang menyatakan tidak boleh menukar satu jenis (mata uang) dengan nilai lebih, baik itu dengan cara tertunda (tidak tunai) atau kontan (tunai). Selain itu, Syarbani mengacu hadist Nabi menyatakan jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam.

Maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). “Barang siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa,” kata dia.(ammar)

Reporter: Ammar
Editor: Chell</div<


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->