Connect with us

Film

FSB: Film Lokal Kalsel Belum ‘Bicara’ di Level Festival dan Luar Daerah

Diterbitkan

pada

Film Kalsel belum mampu berbicara pada level festival Foto: net

BANJARMASIN, Film lokal karya sineas Kalimantan Selatan (Kalsel) tidak pernah tercatat masuk di dalam festival atau bahkan dikenal oleh masyarakat di luar Kalimantan. Setidaknya, itulah yang didapat oleh Ade Hidayat, pembina Forum Sineas Banua (FSB) saat melakukan penelitian di Yogyakarta dan Jakarta.

Ade tidak menemukan satu pun data yang menyebutkan bahwa ada filmmaker dan film Banjar yang melalang buana di festival film hingga ke layar lebar. Hal ini berbeda hal dengan Jogja, Aceh, Babel, Jayapura dan kota-kota di pulau Jawa yang di mana sudah banyak naik ke festival-festival film seperti Europe On Screen, Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF).

Bahkan ada satu film dari Makassar yang berjudul Uang Panai (2016), meski dimodali oleh India dengan dana sebesar Rp 450 juta, yang mampu meraup untung hingga total Rp 19 miliar.

Hasil dari keuntungan film tersebut memang lebih banyak masuk ke kantong investor dan si pembuat film hanya mendapat 10 persen. Tapi Ade berfokus pada output yang didapat oleh film lokal tersebut. Uang Panai, sebagai film lokal berhasill merahi piala Festifal Film Indonesia (FFI) sebagai Film Daerah terbaik.

Hal ini menurut Ade, bahwa para fillmaker Kalsel masih belum mempunyai wadah unjuk gigi dan konten filmnya yang masih sangat jauh dari kedekatan Kalsel itu sendiri. Untuk itulah FSB hadir menjadi wadah apresiasi dan tempat untuk mempertemukan para filmmaker dan penonton.

FSB hadir sebagai apresiator. Oleh sebab itu FSB banyak hasilkan program seperti Ngobrol Film (Ngofi) yang sudah berlangsung sebanyak 26 kali, melaukan pemutaran film alternatif, Festival Aruh Film Kalimatan, hingga Layar Film Banjar.

“Jika tidak ada festival film, saya takut filmmaker kita hanya berani di kandang. Festival bukan sekadar lomba, tapi perayaan. Layar Film Banjar juga merupakan ruang temu filmmaker dan penonton. Media sosial memang ada (untuk filmmaker menanyangkan film), tapi feedback tidak terjadi, makanya kami buat ekosistemnya,” tutur Ade.

Namun tidak semua film lokal yang bisa mereka berikan jalan kepada penonton. Menurutnya jika si pembuat film merupakan orang Kalimantan tapi tidak film berbicara tentang Kalimantan, bahkan tidak mewakilkan Kalimantan sama sekali, untuk apa film tersebut dipertemukan dengan penonton.

Pendekatan filmmaker dengan konten apa yang ingin disampaikan merupakan hal penting. Ade mengaku resah jika ia menemukan film Banjar tapi bahasa di dalam film tersebut menggunakan Bahasa Indonesia.

“Ini kenapa orang Kalimantan yang sehari-hari pakai Bahasa Banjar malah bikin film (Banjar) pakai Bahasa ‘lo gue’. Ada yang salah dengan seniman kita, atau seniman kita yang terlalu memanjakan mereka (filmmaker),” ungkap Ade.

Atas dasar itulah yang membuat Ade yakin bahwa belum ada ekosistem di Banjarmasin khususnya, yang berbicara soal edukasi film dan mengajarkan ihwal mengangkat kebudayaan sendiri ke dalam film.  “Kan seniman membicarakan kejujuran dan keresahannya. Kalau ada seniman tidak bicara tentang kejujuan, kedekatan dengan kontennya. Pasti akan terasa (perbedaannya),” lanjutnya.

Ade mengambil contoh tentang sebuah film dokumenter tentang kerusuhan yang pernah terjadi di Banjarmasin pada tanggal 23 Mei 1997. Ya, film documenter Jumat Kelabu. Film tersebut merupkan langkah yang baik menurut Ade, meski secara teknis si filmmaker tidak mengalami kejadian tersebut.

“Menurut saya itu langkah yang baik. Anak muda yang hanya tahu cover masalah yang hingga hari ini tidak terselesaikan, dia bertanya kemana-mana pun tidak ada yang tahu, akhirnya ya sudah bikin film saja,” jelasnya.

Dijelaskannya lebih lanjut bahwa narasumber yang diambil untuk film dokumenter tersebut tidaklah valid. Kenapa? Karena tidak seimbang. Sebab jika film dokumenter yang berbicara, harus menliput dua sisi sudut pandang. Namun, Ade mengatakan film dokumenter yang hanya mengkover satu sis jugai merupakan satu hal yang wajar.

“Selalu ada pro dan kontra. Kalau salah satunya saja yang diambil dalam film dokumenter, ini akan jadi subjektif. Tapi menurut saya tidak masalah. Mau tidak mau film dokumenter sifatnya propaganda,” ungkapnya.

Sexy Killers

Berbicara film dokumenter, tentu pembahasannya tidak akan lepas dengan salah satu film yang beredar di ranah internet dan melahirkan banyak respon masyarakat pada masa-masa menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April lalu. Sexy Killers merupakan satu dari 12 film karya Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta, dari perjalanannya mengelilingi Indonesia dalam ekspedisi Indonesia Biru, yang dilakukan sejak tahun 2015.

Sebelum merilis di YouTube, film tersebut telah diputar terlebih dulu di 476 titik Nobar (nonton bareng), pada tanggal 5-11 April 2019. Film ini juga ditayangkan di Banjarmasin. Beberapa hari sebelum Sexy Killers siap ditayangkan, Ade yang kenal dekat dengan sang sutradara pun dihubungi. Tidak hanya Ade, Dandhy menghubungi seluruh wadah pemutaran film alternatif.

Sebelumnya FSB pernah memutar salah satu film yang masuk dalam ekspedisi Indonesia Biru, yaitu Asimetris, sebuah film tentang dampak perkebunan kelapa sawit. Ade mengatakan bahwa sang sutradara Sexy Killer ini memang sangat subjektif dalam membuat film dokumenter tersebut, tapi menggunakan data yang sangat valid. Sexy Killers sendiri bukan sesuatu yang baru, ujarnya. Karena sejak awal sudah dipersiapkan untuk ekspedisi Indonesia Biru.

Melalui Ade, Manajer Data dan Kampanye Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA), Budi Kurniawan mengatalan bahwa memang sudah sewajarnya keterkaitan antara satu dan hal lainnya saling berhubungan ketika kapitalis berbicara di dalam sebuah negara. Namun, yang jadi poin masalahnya adalah dampak Indonesia ke depannya.

Oleh sebab itu, jika sedikit mengarah ke pengaruh suara politik di Kalsel, tentu Sexy Killers mempunyai dampaknya, terhadap hasinya, terang Ade. Film Dokumenter Sexy Killers telah ditonton lebih dari 1,2 juta kali, selama dua hari penayangannya di situs berbagi video YouTube, sejak tanggal 13 April 2019 kemarin.(mario)

Reporter:Mario
Editor:Cell


iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->