Connect with us

Kota Banjarmasin

Custom, Ekspresi Anak-anak Muda Pasca Perang Dunia II yang Menolak “Zona Nyaman”

Diterbitkan

pada

Costum motor menjadi trend yang tak lekang oleh waktu. Foto: net

Bagi John DeWitt, dalam buku Cool Cars, High Art: The Rise of Custom Culture (2001), menyebut bahwa custom tidak bisa dimaknai sebagia kustomisasi kendaraan semata. Menurutnya, apa yang membedakan antara Custom culture dengan semua “car culture” lain yang muncul ketika itu adalah gairah untuk “mengubah, merancang ulang, dan akhirnya, ‘menemukan kembali’ mobil standar, mengubahnya menjadi sesuatu yang unik dan ekspresif.”

DeWitt menekankan, Custom culture jauh melampaui sekadar menempel kendaraan keluaran pabrik dengan beragam aksesori aftermarket yang dibuat massal.

Custom culture bahkan lebih luas ketimbang persoalan bagaimana memodifikasi kendaraan. Ini adalah persoalan identitas dan aktualisasi diri. Dalam buku yang sama, DeWitt mengatakan bahwa Custom culture adalah ekspresi sempurna dari identitas baru anak-anak muda yang tumbuh pasca Perang Dunia II, bahkan memberikan jalan bagi mereka yang ingin keluar dari “zona nyaman” kemapanan orang-orang dewasa. Custom culture juga tentang cara berpakaian, bagaimana rambut ditata, hingga musik apa yang didengarkan.

Gina Misiroglu, dalam American Countercultures (2009) mengatakan, Custom culture dapat didefinisikan secara sederhana sebagai Do It Yourself (DIY). Salah satu cara di antara banyak cara lain yang mendorong anak-anak muda Amerika di era pascaperang untuk berpikir di luar arus utama dan mengekspresikan diri mereka secara kreatif.

Dalam konteks demikian, bisa dipahami mengapa tikus gila Rat Fink dan karya sejenis muncul dan bisa begitu populer. Bisa dipahami pula mengapa Kustom Kulture bisa identik dengan subkultur yang berbeda-beda, sebab ia tidak pernah jadi sesuatu yang kaku, malah sebaliknya: sangat fleksibel.

Ketika pertama kali muncul pada 1950-an, Custom culture identik dengan greaser, subkultur anak-anak muda kelas pekerja, sebagian besar laki-laki, berkulit putih, dan punya minat yang tinggi pada hot rods dan sepeda motor (Jennifer Grayer Moore, Street Style in America: An Exploration, 2017). Karakteristik  fisik yang paling penting dari greasers adalah gaya rambut yang menggunakan pomade atau jelly.

Pada 1960-an, Custom culture jadi lebih identik dengan pembalap drag dan segala atribut yang melekat pada mereka. Sementara pada 1970-an ia identik dengan lowrider, mereka yang mengendarai mobil-mobil ceper yang dilengkapi dengan sistem hidrolik sehingga memungkinkan kendaraan naik turun sesuai keinginan, serta dicat dengan kelir warna warni.

Gaya anak muda di California dan Amerika pada waktu itu perlahan menyebar ke penjuru dunia, termasuk Indonesia. Hingga kini pilihan gaya hidup dalam konteks sebuah kendaraan.(ammar/net/trt)

Repoter: Ammar/net/trt
Editor: Chell


Laman: 1 2

iklan

MUSIC HITS with VOA


Disarankan Untuk Anda

Paling Banyak Dibaca

-->